Rumpang Pada Rampung : 01

66 4 1
                                    

Apa yang diharapkan dari anak usia dua puluhan, tetapi masih senang berdiam tanpa melakukan tindakan? Rasa-rasanya dunia pun muak menerima hadirnya. Tidur dini hari, lalu bangun tengah hari dengan secangkir kopi. Terlihat membosankan dan ... suram.

Helaan napas berkali-kali lolos dari rongga hidungnya, sehingga menyebabkan udara yang berat. Dilihatnya pemandangan yang membosankan. Hanya sebuah pohon jambu yang nyaris tak memiliki daun karena dimakan ulat. Mau tumbuh buah kalau kata ibunya.

"Teteh, coba gera ibak atuh, isin. Awewe-awewe gugah beurang, haju gugah teh lain langsung ibak, malah ngopi."
(*Kakak, coba cepat mandi, malu. Perempuan-perempuan bangun siang, terus bangun bukannya langsung mandi, malah ngopi).

Ocehan dengan bahasa daerah itu, nyatanya sudah menjadi makanan sehari-hari.

Nayanika Eunoia Arunia, yang menerima ocehan itu hanya diam seraya menganggukkan kepalanya.

"Teh, Emak mah isin ih ka tatangga. Ngagaduhan anak awewe, tapi kalakuan siga lalaki. Begadang, gugah beurang, ngopi, teu tiasa masak, teu tiasa beberes bumi. Rek jadi naon atuh, Teh?"
(*Kak, Mama malu sama tetangga. Punya anak perempuan, tapi kelakuan kayak laki-laki. Begadang, bangun siang, ngopi, gak bisa masak, gak bisa beres-beres rumah. Mau jadi apa, Kak?)

Nika terkekeh. Perempuan dengan segala 'kewajibannya', katanya. "Jadi orang sukses, Mak. Tunggu aja."

Sebetulnya, Nika sendiri enggan seperti ini. Lulus kuliah langsung pulang ke kampung halaman, menjadi pengangguran, lalu hidup urakan. Namun, untuk menjadi manusia yang ambisius pun, Nika terlalu malas memulai.

"Ngan kitu wae. Tuh, di hareup gang ibu-ibu keur ngarumpi. Ngomongkeun Teteh. Ceunage percuma kuliah di universitas anu kasohor, tapi jadi pengangguran. Anak Pak Haji jeung Bu Haji, tapi kalah begajulan. Nyeri hate Emak mah ngadanguna oge."
(*Gitu terus. Tuh, di depan ibu-ibu lagi ngerumpi. Ngomongin Kakak. Katanya percuma kuliah di universitas yang tersohor, tapi jadi pengangguran. Anak Pak Haji dan Bu Haji, tapi malah begajulan. Sakit hati Mama ngedengernya).

"Biarin atuh, Mak. Terserah mereka mau ngomong apa tentang Nika. Toh, yang tahu Nika, ya Nika sendiri, orang-orang mah tahunya cuma dari apa yang mereka lihat dan mereka dengar aja. Itu pun gak tahu lihat dan dengar dari mata dan telinga siapa," ujar Nika.

"Nya, muhun, Emak ge paham, tapi angger weh, Emak mah nyeri hate lamun anak Emak diomongkeun kitu."
(*Iya, tahu, Mama juga paham, tapi tetap aja, Mama sakit hati kalau anak Mama diomongin begitu).

Nika paham apa yang dirasakan oleh ibunya. Hanya, manusia tidak mampu mengontrol manusia lainnya. Sebab, terkadang mengatur dirinya sendiri pun, manusia itu tidak sanggup.

"Wios, Mak, tong didangukeun. Masihan pituangeun henteu pan, ngan masihan komentar hungkul bari jeung teu ditaur oge. Tingalikeun weh, sanggupna nepi mana coba. Emak mah tong sieun, hirup mah tos aya anu ngatur. Ulah khawatir Nika rek kukumaha oge. Kusabab Nika mah ngagaduhan Allah, anu gaduh sagala alam dunya. Ayena weh keur kieu oge. Sok tingalikeun, ka hareupna mah Nika bakal sukses. Pan jalmi anu arek naek pangkat mah kitu, loba pisan cobaan anu Acan dicobian."
(*Gak apa-apa, Bu, gak usah didengerin. Ngasih makan nggak, cuma ngasih komentar aja itu pun gak dibayar. Liatin aja, bakal sampai mana mereka. Ibu gak usah takut, hidup udah ada yang ngatur. Jangan khawatir Nika bakal kayak gimana juga. Sebab Nika punya Allah, yang punya segala alam dunia. Sekarang aja lagi begini juga. Liatin, ke depannya Nika bakal sukses. Kan manusia yang akan naik pangkat seperti itu, banyak banget cobaan yang belum dicobain).

Ibu berjalan ke arah Nika. Memeluk serta mencium pucuk kepala putrinya. "Teh, cig ku Emak mah didoakeun. Sing panjang umur, gede milik, hade nasib, hade sagala kahirupan tur dunya jeung akherat," ujarnya seraya menangis.

Nika mengangguk. Tangannya mengusap punggung sang ibu, yang ikhlas merawatnya selama dua puluh dua tahun ini.

Mak, selalu ada rencana lain di setiap rencana. Gak apa sekarang dipandang sebelah mata, tapi nanti akan Nika buat mereka memandang kita dengan dua matanya. Bahkan, bila perlu dengan mata kaki, mata ikan, dan mata-mata lainnya.

***

AN:

Hai, selamat malam. Aku bawa sesuatu yang semoga aja bisa dinikmati dengan suguhan yang alakadarnya, hehe.

Rumpang pada Rampung, adalah cerita ketiga sepertinya yang aku tulis di sini. Hanya tulisan ringan sebetulnya, tapi sedang diusahakan untuk menyatu dengan kehidupan.

Gak tau akan rutin posting kapan. Hanya, semoga sering ya. Author note nya gak akan panjang-panjang. Karena bingung mau ngomong apa.

Yang lagi nonton bola, semoga jantungnya selamat. Aku gak cukup kuat untuk melihat, untuk itu aku diam di tempat. Hehe.

Enjoy, ya.

Rabu, 29 Desember 2021.
Kota hujan✨

Rumpang Pada RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang