Rumpang Pada Rampung : 02

31 2 0
                                    

"Anjing!"

Nika menghentikan langkahnya saat mendengar makian tersebut, dahinya mengerut dan ditolehkan pandangan ke arah suara. Aarav Abian Adelio—adiknya—, terlihat sedang menatap ke arah laptop, dengan air wajahnya suram.

"Kamu kenapa, sih, Rav?" tanyanya seraya melangkahkan kaki mendekat ke ruang tamu, di mana adiknya berada.

Aarav menoleh ke arah Nika, digesernya laptop yang layarnya menampilkan sebuah informasi berisikan pelecehan seksual.

"Sumpah aku gak ngerti lagi. Anak usia lima belas tahun udah berani ngelakuin hal bejat itu? Makin gak waras dunia ini," dumalnya.

Nika sendiri membaca dengan saksama. Memang, akhir-akhir ini ia banyak mendengar tentang pelecehan seksual. Dan hal itu banyak terjadi tidak hanya di satu lingkungan, tetapi banyak. Mulai dari perguruan tinggi, pesantren, bahkan oleh aparat pun ikut melakukan hal yang sama. Namun, ini yang paling parah. Anak usia lima belas tahun memperkosa sekaligus membunuh korbannya.

"Aku yang laki-laki aja kesel banget liat berita ini, apalagi kaum kalian, Kak," ujar Aarav.

Nika mengangguk. "Bahkan kalau ada bahasa lebih tinggi dari kesal, marah, kecewa untuk mengekspresikan rasa, aku akan menggunakan kata itu."

"Anjing, emang!"

"Adek, kok kasar ngomongnya?"

Suara itu mengalihkan perhatian Nika dan Aarav. Keduanya menoleh ke arah suara, yang ternyata itu datang dari sang ibu.

"Aya naon? Kenapa kalian serius gini pagi-pagi?"
(Ada apa?)

Nika menyerahkan laptop Aarav kepada sang ibu. "Mak baca aja sendiri."

Setelah beberapa waktu, ibu Nika terlihat marah. "Biadab! Mau jadi apa generasi selanjutnya kalau kelakuannya di masa mudanya begini?!"

"Yang melahirkan peradaban, gak pantes untuk dilecehkan. Apalagi menjadi pemuas nafsu para manusia biadab! Gak ada toleransi atas pelaku, Emak gak ikhlas kalau si pelaku gak dihukum dengan hukuman yang setimpal. Jangan sampai hukuman ringan karena masih tergolong anak di bawah umur. Emak gak Rida."

"Beberapa waktu lalu, dosen yang melakukan pelecehan terhadap mahasiswinya, lalu ustaz pesantren memperkosa banyak santriwatinya, ada lagi polisi yang ikut memperkosa kekasihnya, nanti siapa lagi? Di sini terlihat jelas kalau yang berpendidikan pun, belum tentu mampu memanusiakan manusia," ujar Nika mengungkapkan keresahannya.

"Makin sakit emang dunia ini," cetus Aarav.

Nika dan ibunya mengangguk setuju.

"Yang paling parah, sih, si ustaz itu. Di sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa gak ada pakaian perempuan yang mampu menutupi nafsu laki-laki," tambah Aarav.

"Iya. Daripada sibuk menyalahkan pakaian perempuan, bukannya lebih baik para laki-laki yang menjaga pandangan?" tanya Nika.

"Bener, Emak setuju. Banyak orang di luar sana yang bilang kalau orang tua harus bisa menjaga anak perempuannya, tapi mereka lupa buat mendidik anak laki-lakinya. Para orang tua di luar sana merasa kalau anak perempuan benar-benar harus dijaga, tetapi melupakan kalau anak laki-laki pun turut harus dilakukan hal yang sama. Harus dikasih edukasi, dikasih pendidikan tentang bahaya seksual sebelum adanya ikatan halal. Korban gak sepatutnya dikurung, yang dikurung harusnya si pelaku."

Nika dan Aarav setuju. Banyak sekali di luar sana yang beranggapan bahwa perempuan harus bisa menjaga diri. Namun, konsep menjaga dari satu arah saja tidak cukup. Harus dilakukan kerja sama di mana tidak hanya perempuan yang menjaga, laki-laki pun harus melakukan hal yang sama. Karena apa gunanya jika yang menjaga satu pihak saja, sementara pihak lain yang tingkat bahayanya sangat tinggi masih berkeliaran di luar sana?

"Makanya itu, Emak gak mau kalian berdua menjadi korban dan pelaku. Kamu, Teh Nika. Harus bisa menjaga diri kamu sendiri, menjaga apa yang seharusnya kamu jaga, jangan biarkan hal yang berharga dalam diri kamu hilang begitu aja. Dan kamu, Dek Aarav. Kamu pun turut menjaga. Menjaga diri kamu agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang gak baik. Emak mungkin gak bisa dua puluh empat jam mengawasi kalian berdua, tapi Emak punya Allah yang senantiasa Emak andalkan untuk mengawasi kalian berdua."

Nika dan Aarav mengangguk.

"Kalian itu sama, yang membedakan adalah jenis kelamin dan kodratnya saja. Selebihnya, kalian sama. Sama-sama manusia yang tak luput dari salah, pun dengan Emak dan Abah. Tapi Emak dan Abah selalu mengusahakan mendidik kalian dengan benar. Emak gak mau kalau di akhir nanti akan ada penyesalan, Emak gak mau kalian menuntut atas apa yang Emak dan Abah didik di masa ini."

"Iya, Mak."

"Kalian udah dewasa. Tujuan dan langkah selanjutnya untuk kehidupan kalian, mungkin udah kalian persiapkan. Emak hanya berpesan, tolong hidup dengan baik, dengan bahagia," tambah ibu Nika, yang selanjutnya memeluk kedua anaknya dengan sayang.

Udah lama, ya, gak bersua di lapak ini. Bukan hanya di lapak ini, sebetulnya, di lapak lain pun jarang dibuka, wkwk.

Tapi, gak apa-apa. Yang penting sekarang aku siap menyapa. Kalian, apa kabar? Jaga kesehatan, ya. Dunia lagi gak waras. Jadi, tolong kalian aja yang tetap waras. Hehe.

Oh, iya, jika dibaca dari part sebelumnya, gak ada hubungan yang berkesinambungan memang. Terasa seperti ada plot hole, tapi aku sengaja bikin itu. Oke, semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.

I love you, guys🥰

Kota hujan, 17 Februari 2022

Rumpang Pada RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang