Bintang-bintang masih bersandar di langit memancarkan cahaya sendiri. Mereka setia menemani sang rembulan hingga ujung malam tiba, dan siang menemui awal mulanya. Mereka tampak kecil bagai butiran-butiran bijih besi di hamparan pasir pantai yang terkena matahari. Semakin gelap malam melahap tak kunjung menyusutkan keramaian Seoul di saat spesial seperti itu.
Meski waktu sudah hampir merujuk angka jam 10 malam namun tak membuat langkah demi langkah yang telah dipacu orang-orang tenggelam begitu saja. Mereka yakin malam itu merupakan malam yang panjang tak peduli lagi dengan putaran jarum jam yang terkadang membuat jantung dan langkah kaki tidak berjalan beriringan. Salju-salju mulai menumpuk membuat suasana semakin dingin menggelitik ke telinga orang-orang yang tidak memakai tutup telinga.
Jalanan juga masih ramai dengan lalu lalang mobil dan bus kota yang mengangkut penumpang hingga sampai tujuan. Dari halte 58 yang berdiri di wilayah Samseong sebuah bus kota berhenti dan menurunkan sebagian penumpangnya. Seorang pria turun dari sana dengan langkah cepat ke arah utara dan memasuki sebuah gerai fastfood besar yang ramai pengunjung.
Ia memesan makan malamnya dan duduk di bangku dekat jendela besar yang terpasang dari langit-langit hingga lantai resto. Sambil menikmati makanan dan pemandangan di luar sana Ia sesekali bermain dengan ponselnya. Berkali-kali kedua mata coklat itu terus mengawasi keadaan di luar jendela, nampak seperti ada sesuatu yang diincar atau ditunggu kehadirannya.
Setelah menghabiskan setengah makanannya, gerakan mata itu mulai melambat hingga memudar, Ia tak lagi bermain dengan bola mata coklatnya ke arah luar. Ia mulai tenang dan khusyuk menghabiskan makanan di depannya.
"Dia tidak datang, berarti bukan Dia orangnya,"ujarnya dalam hati. Mungkin ini saatnya mengakhiri jam yang terbuang sia-sia.
Awalnya Ia pikir gadis itu hanya kebetulan searah dengan jalannya, tapi ada sebuah perasaan aneh yang melingkupi dirinya hingga Ia membuat suatu tanda di halte dekat Hotel Green Grass. Dan hanya ada dua jawaban, jika gadis itu benar-benar mengikuti dan memperhatikan dirinya maka cepat atau lambat sebuah petunjuk yang Ia tulis di peta kota akan membawa Lina datang atau paling tidak mendekati resto dimana lelaki itu sedang berada. Namun jika Ia hanya gadis biasa yang kebetulan ada di belakang langkahnya, maka tidak ada harapan untuk menunggu lebih lama. Dan jawaban kedua lah yang sedang dikhawatirkan lelaki bernama Song itu.
Detik mulai berganti hingga sampai titik dimana kesabaran lelaki itu mulai pudar. Apa yang dinanti kehadirannya belum juga nampak eksistensinya. Sampai lelaki bernama marga Song itu benar-benar menghabiskan makananya. Dan untuk kesekian dan terakhir kalinya, Ia menggerakan matanya keluar jendela-
Damn!
Tak percaya akan apa yang dilihatnya jauh disana, sebuah senyum lebar mengembang di wajahnya. Disana dari arah jarum jam 9 tepat dibawah pohon maple yang kehilangan daun di musim dingin, seorang perempuan muda bersandar di batang pohon sedang menempelkan ponsel di telinga kiri sambil meminum sekaleng cola. Kedua matanya mengarah tepat dimana Mr. Song sedang berada, rasanya gadis itu sudah mulai menemukan keberaniannya dibanding beberapa saat yang lalu di kereta.
Sedangkan di dalam resto lelaki yang masih mengenakan jaket coklat itu merasakan sebuah keyakinan dalam dirinya. Ia berjalan keluar sambil menyalakan patung rokok, tatapannya ditujukan pada gadis dibawah pohon sana. Namun Lina tidak menghiraukan tatapan itu, Ia masih melakukan hal yang sama seperti di kereta. Dari sudut pandang dekat jalan raya, Ia masih melekatkan penglihatannya pada pria berjaket coklat. Lama kelamaan asap dari putung yang dihisapnya semakin tebal dan Ia melangkah pergi meninggalkan resto hingga sosoknya sama sekali hilang di kedua sudut mata Alina.
Gadis itu diam di tempat, Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau itu yang terakhir kalinya sebelum pulang ke hotel. Keraguan yang tadi sempat menyelubungi sudah tidak lagi bersemayam di hatinya. Kini langkahnya sudah benar-benar harus berhenti dan tidak ada lagi tawar-menawar dengan diri sendiri.
Sebenarnya Ia kecewa karena langkahnya terpaksa diketahui oleh orang yang bersangkutan, tapi setidaknya Lina sudah berhasil menunjukan bahwa Ia belum selesai. Mana mungkin Ia akan menerima kata 'selesai' dengan mudah. Itu sama saja menyerah dan mengumpulkan jawaban kosong saat waktu yang tersisa tinggal 5 detik.
Kuncinya hanya satu, yaitu NEKAT. Dengan selesainya langkah terakhir Lina malam itu, ia bisa kembali dengan hati dan juga pikiran yang tenang.
>> Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
One Hundred Ways to See
AdventureBerawal dari kisah pertemuan Alina dengan sudoku man di gerbong kereta bawah tanah, Seoul menjadi saksi bisu benang-benang keterkaitan takdir Alina. Tentang usaha Mr. Song alias sudoku man untuk meyakinkan dirinya bahwa Alina akan menjadi "mata" bar...