21 ~ Tidur Panjang pt.II

2 0 0
                                    

Malam saat kejadian itu terjadi, seorang pria dengan selinting tembakau dengan ujung terbakar sedang berpikir keras bersama sel-sel otaknya. Hisapan demi hisapan asap di bibirnya terasa sangat tidak berarti dengan pikiran yang amburadul memikirkan banyak hal, termasuk uang. Stok keuangannya sudah mulai menipis meski sudah mendapat pasokan baru, ia butuh lebih dari cukup untuk menunjang hidup dirinya dan rekan yang lain di kota seperti Seoul.

Anggota timnya memang tidak berkurang, tapi target yang semakin sedikit akibat ketatnya penjagaan, serta sistem soal uang tidak semudah beberapa tahun lalu. Dari arah pintu belakang, salah satu anggota andalannya datang dengan 2 kaleng soda di tangan kiri. Ia meletakkan satu kaleng oren itu di hadapan ketuanya,

"Sudah dengar berita malam ini?"

"Hhmmm"

Hanya terdengar geraman dari pria yang masih fokus dengan putungnya.

"Masih yakin dia orangnya?"

Tidak ada jawaban. Jae hanya menunjukkan cengir kudanya, ia berpikir kalau ketua sudah sadar bahwa Alina bukanlah pengganti Mayumi - adik angkatnya yang telah tiada. Dari awal ia tidak setuju dengan adanya anggota baru bagi Scorpion, apalagi untuk menggantikan Mayu. Baginya tidak ada yang cocok untuk menggantikan Mayu, sang pemilik mata jeli dan tingkat kefokusan tinggi, ia bahkan bisa mengingat aktivitasnya seharian penuh. Dulu sebelum perempuan itu dipanggil oleh Tuhan, dia adalah pioner bagi kejayaan Scorpion dan dasar bagi setiap keberhasilan misi kriminalis Seoul saat itu.

Jae meninggalkan ketua sendirian, jika ia berpikir akibat kejadian itu Lina tidak pantas masuk apalagi menjadi mata baru bagi kelompoknya, maka Mr. Song tidak berpikir demikian. Jauh didalam hatinya, ia malah semakin yakin kalau Lina adalah orang yang tepat untuk posisi itu. 

Mana mungkin gadis biasa dapat terlibat dalam penembakan di tempat sepi, dia pasti telah diincar dan bukan orang sembarangan. Kalau benar apa yang diberitakan TV mengenai gadis itu masuk dalam sindikat teroris dia pasti bekerja sendiri, dan jika ia mengikuti dirinya kemarin pastilah hal itu membahayakan Scorpion. 

Meskipun Mr. Song masih berniat merekrutnya sebagai anggota, itu sama saja mengambil barang dari orang lain tanpa diketahui orang tersebut. Karena untuk memanfaatkannya ia harus memiliki Lina seutuhnya.

***

Dua hari telah berlalu, gadis berwajah pucat itu masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang dimana-mana. Ia harus diinfus, tranfusi darah, apalagi selang untuk patient monitor. Dokter yang menanganinya terus-terusan mengatakan bahwa detak jantungnya masih lemah dan sebagian tubuhnya belum berfungsi dengan baik.

Setiap hari ada saja beberapa polisi yang datang untuk mengecek keadaan, meski hanya sebagai pencitraan bahwa penyelidikan masih berlanjut. Padahal dewan tim penyelidikan sudah sepakat untuk tidak melanjutkan kasus yang melibatkan warga asing. Lina masih diperiksa hari itu, lagi-lagi polisi yang datang menanyakan hal sama sejak kemarin,

"Kapan bocah ini sadar dok?" tanya seorang polisi senior kepada dokter yang sedang mengganti kantong darah.

"Saya tidak tau pak, seharusnya pasien sudah bngun 24 jam setelah pengambilan peluru, tapi untuk kasus ini mungkin dia sedang dalam masa kritis,"

"Huh merepotkan saja orang arab ini," keluhnya terpaku kalau orang yang berjilbab atau bercadar disangka orang Arab, padahal itu melambangkan kalau mereka orang Islam.

"Sudah-sudah, kita kan cuma diperintahkan untuk mengontrol dia sudah siuman atau belum, lagian dia bukan Arab, dia Indo tau senior," balas polisi lain yang bertampang lebih menarik daripada si senior.

"Memang dimana-mana Islam itu merepotkan saja," oceh si senior sambil berdiri dengan wajah kesalnya.

"Hey sudah tutup mulutmu!"

"Apa? Memangnya kau siapa berani sekali menyuruh senior, aku lebih banyak makan garam daripada kamu tau,"

"Ya-ya-ya, makan garam yah? Pantesan kulitmu sudah keriputan, beda sama aku yang makan gula jadi tetep manis deh," kata polisi muda sambil menaruh senyum andalan di kalimat terakhir.

"Heh apa kamu bilang? Lagian masa muda dulu juga aku lebih manis,"

"Kau tidak sadar yah? Itu kan dulu,"

"Memangnya kenapa? Aku tidak boleh mengingat masa lalu gitu? Dengar ya nanti aku adukan ke kapten kalau kamu itu sembrono padaku,"

"Adukan saja, dari dulu juga bilang begitu,"

"Heh kali ini aku serius,"

"Ah bohong-bohong..."

***

Suara langkah kaki terus menjauh hingga akhirnya menghilang. Kedua telinganya masih bisa mendengar dengan normal, begitu juga indra perabanya. Terkadang ia masih bisa mendengar suara-suara disekitarnya, namun mulutnya tidak bisa terbuka untuk bicara. Hampir setiap hari pendengaran itu menangkap suara langkah kaki, berisik roda berjalan, bahkan suara-suara klakson mobil jauh disana. Kulitnya pun masih bisa terasa sedang disuntik, disentuh, serta terkadang pipinya terasa dihusap halus oleh seseorang. Namun, ia tidak bisa melihat karena kedua matanya terus menutup setiap hari, ia hanya bisa menduga siang dan malam dengan kulit tangan yang terasa hangat karena diraba sinar mentari.

Ya... Lina memang sedang tidur, tapi tidak sepenuhnya benar-benar tertidur, hanya saja tubuhnya terasa kaku dan matanya enggan terbuka, namun batin, pikiran, bahkan telinganya masih sadar, benar-benar sadar karena masih bisa digunakan, hanya saja sadar yang mengambang. Ia tidak bisa mengendalikannya. Dan tidur panjang itu sama sekali tidak nyaman bagi fisik dan batinnya.


>> bersambung

One Hundred Ways to SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang