#4

1.2K 195 11
                                    

Chapter Four

❝His Sun.❞

.
.
.

***

Cw: manga spoiler, alur tidak jelas.

Bangunan tua dengan struktur besar masih kokoh walau kian hari termakan usia. Tanah selesa mencetak samar kala kaki menyapa. Malam ini terlihat begitu tenang. William hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk beristirahat dan duduk manis bersantai menatap gemerlap gemintang setelah berhasil mengambil perhatian seluruh Inggris. Kejahatan mereka selalu berhasil membuat benang biola milik Sherlock Holmes terputus dengan kasar.  

Dunia harus segera berubah. Tidak ada seseorang yang bisa melakukannya kecuali pria itu sendiri. Kalimat tersebut selalu berbisik halus di gendang telinga. Sherlock Holmes tidak memiliki minat untuk bergelut dalam politik.

Pria dengan helai langit kelam itu hanya ingin memuaskan hasrat keingintahuan saja. Maka dari itu, William dengan senang hati mengambil kesempatan ini dengan membuat sebuah panggung kejahatan.

Hela nafas terdengar pelan. Nebula merah pekat dengan lembut menyembunyikan diri dari semesta. Bibir dengan halus mengukir senyum teduh. Raja Kriminal sudah lama terkubur. Tenggelam dalam samudera gelap bersama panggung rusak. Membiarkan riak air menyelimuti hati dengan kesendirian berkepanjangan. Semuanya sempurna. Begitu sempurna hingga membuat mantan Konsultan Kriminal mengucapkan syukur alhamdulillah.

Tidak ada penyesalan yang tertinggal.

Seharusnya begitu. Tetapi renjana selalu meraung keras setiap detik berjalan. Teriakan pilu berdengung nyaring pada gendang telinga. Akal budi sudah memberikan perintah dengan tegas. Pada akhirnya semua percuma. Sebab akal budi dalam diam menyetujui semua ucapan perasaan.

William tidak mengerti. Atma damai terasa begitu kosong. Jurang besar berusaha dengan keras untuk memaksa dirinya terjatuh lebih dalam. Tidak. Pria jangkung tersebut hanya menolak untuk mengerti. Dia tahu. Lebih mengerti dari siapapun.

Rembulan di langit kelam terlihat kesepian. Tidak peduli meski lautan perhiasan berhamburan tak berarah menemani dalam materi gelap.

Separuh jiwa sudah lama melebur. Cahaya terang Mentari tidak akan pernah terlihat. Dengan kejam meninggalkan semesta sendirian dalam materi gelap. Meski Rembulan merotasikan diri pada poros hingga ribuan waktu, dia tidak akan pernah menemukannya kembali. Jika diberi kesempatan, dia ingin kembali ke rumah. Dia akan memeluk Mentari dengan erat. Tidak akan pernah melepaskan meski seluruh semesta menentang.

Tetapi itu hanyalah angan semata.

Rembulan dengan perlahan akan meredup. Detik sudah memberikan peringatan sejak lama. Tetapi sudah terlambat. Dia meninggalkan Mentari sendirian melawan semesta. Rembulan tidak bisa hidup sendiri. Sebab dirinya membutuhkan Mentari untuk memantulkan cahaya agar bisa bertahan hidup.

"Jadi dia, eh, yang sudah berhasil merebut hatimu. Cantik juga."

Suara berat bersahabat dengan tidak sopan memasuki gendang telinga. Mengganggu ketenangan malam untuk berbagi kisah. Bola mata merah pekat dengan perlahan terbuka. Menunjukkan diri kepada dunia hina dengan berani. William terkekeh pelan. Surai emas menunduk halus. "Dia adalah Mentari-ku," ucapnya seraya tersenyum kecil.

"Kau tidak tampan. Yang tampan adalah orang itu." suara madu mengudara dengan lembut. Menggema di seluruh lorong dengan nyaring. Tanpa sadar bahwa gendang telinga sedikit berdengung sebab terlampau rindu. Nebula merah pekat sedikit melebar. Cahaya terang dengan segera memasuki penglihatan.

Rasa sakit dengan perlahan menyerang. Kepala William rasanya hampir pecah akibat pening menusuk. Dengan kasar menjalar ke setiap saraf kepala mengakibatkan nyeri berkepanjangan. Bibir kerap mendesis setiap detik berjalan. Apa yang baru saja terjadi? Pria jangkung dengan helai mahkota emas yakin bahwa dirinya baru saja berbicara dengan Sherlock Holmes. Tetapi mengapa dirinya mendengar suara madu?

Tidak. Hal tersebut mustahil.

Sebab sang gadis sudah tidak ada di dunia. Seperti Mentari yang meninggalkan Rembulan sendirian.

"Tetapi aku seperti pernah melihatnya. Dimana, ya?" gumam suara tersebut. Dengan halus membisikkan kalimat kepada gendang telinga. Mengirimkan sinyal berupa radar kepada otak dengan keras. Serangan mendadak berakar kuat pada seluruh saraf. Keringat dingin bisa pria tampan tersebut rasakan.

"Oh, aku ingat! Dia orang sinting yang menggangguku dua tahun yang lalu!" serunya lagi. Ah, ini membuat William menggila. Rasanya seperti plak yang menempel pada dinding pembuluh darah akan meledak hancur. Membentuk gumpalan darah mengakibatkan aliran darah ke jantung tersumbat hingga terjadi hal yang tidak diinginkan. Jantungnya sudah siap untuk berhenti jika detik memerintahkan.

"Bego, suaramu terlalu keras! Kemudian, jangan berbicara tidak sopan seperti itu. Dia adalah Professor Moriarty!" sahut suara berat.

Suara itu.. Lucian?

"Orang sinting dia adalah Professor? Meragukan sekali."

Bola mata merah pekat mengerjap pelan. Dengan perlahan berusaha untuk menyesuaikan retina dengan cahaya terang. "Lucian?" panggil William. Suara berat hampir tidak terdengar terlampau serak. Kala mata sudah beradaptasi; nebula merah pekat secara tidak sengaja bertabrakan dengan perhiasan semesta.

"Kau yakin orang sinting ini adalah Professor, Lucian? Maksudku, dia tertidur di tempat terbuka seperti ini, lho."

"Sudah kubilang, tidak boleh berkata sembarang!"

Pria jangkung dengan helai mahkota emas terdiam. Nafas sudah tertahan lama semenjak dua bola bersinggungan. Debaran dengan jelas terdengar. Perasaan emosi secara tidak sopan meledak. Mengisi kekosongan jiwa lama dengan letupan euforia. William tidak bisa menjabarkan perasaannya. Di sini, detik ini juga, Mentari nya berdiri gagah. Secara alami menyinari dunia dan kembali memberikan kehidupan kepada Rembulan.

"Sudah selesai berbicaranya?" tanya pria tampan dengan helai mahkota emas. Bibir mengukir senyum lebar. Terlihat begitu lembut dan halus pada waktu sama.

William tidak mengerti. Ini semua tidak masuk akal. Apa dia baru saja melintasi waktu dan kembali ke masa lalu? Jika benar begitu, bolehkah dirinya tetap berada di sini? Pria dengan helai mahkota emas tersebut mengucapkan sumpah. Dia tidak akan meninggalkan Mentari sendirian. Tidak untuk kedua kalinya. Kali ini mereka akan bertarung bersama-sama.

Sebab Rembulan tidak akan pernah bisa hidup tanpa Mentari.

.
.
.

TBC

31 Desember 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

31 Desember 2021

See ya!

Older | William James MoriartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang