27.| salman

378 73 823
                                    

Ranya masih tidak percaya. Tidak-tidak, lebih tepatnya dia tidak mau percaya.

Cewek itu tidak mau percaya pada fakta bahwa kehadiran Geiger di dunia ini adalah untuk dirinya.

Semua ini benar-benar sangat tidak masuk akal. Kepala Ranya pening memikirkan segala hal yang terjadi pada hidupnya.

Bagaimana bisa seseorang menumbalkan orang lain untuk menyelamatkan hidupnya?

Dan seseorang itu adalah neneknya sendiri. Rasa kecewa, malu dan pedih bersatu hingga membuat Ranya membenci dirinya sendiri. Sekaligus takdir buruk dalam hidupnya.

Ranya menggigit bibirnya, menekan tohokan tajam di dalam dada. Fakta yang baru saja dia ketahui ini berhasil meremas hatinya. Membuatnya perlahan hancur bersamaan dengan bulir bening yang lolos menuruni pipi.

Cewek itu memeluk kedua kakinya lalu menenggelamkan wajah di sana, menangis sejadi-jadinya dengan napas yang tersendat.

Setelah kejadian di mana dirinya diperlihatkan sebuah peristiwa lewat alam bawah sadarnya di pondok kayu waktu itu, Ranya berhasil menggabungkan kepingan-kepingan memori masa lalunya yang merujuk pada terkuaknya misteri tentang asal-usul Geiger.

Dulu sekali, waktu Ranya masih kelas enam sekolah dasar, neneknya pernah mengatakan bahwa Ranya harus berhati-hati pada usianya yang kedua puluh nanti.

Nenek bilang bahwa ada bahaya besar menantinya. Lalu Nenek bercerita tentang mimpi bodoh yang selalu dia ungkit-ungkit setiap ada kesempatan.

Mimpi bahwa Ranya akan meregang nyawa pada usia kedua puluhnya, dan Nenek tidak dapat menyelamatkannya. 

Nenek selalu mewanti-wanti Ranya untuk selalu berhati-hati di mana pun dia berada di usianya yang kedua puluh, karena hal itu bisa terjadi kapan saja.

"Tapi Nek, kenapa Nenek nggak mau selametin Ranya nanti? Nenek udah nggak sayang Ranya lagi?" tanya Ranya kecil pada suatu hari.

Juwita tersenyum getir, ia meraih tubuh kecil cucunya ke dalam pelukan. Wanita itu mengutuk dirinya sendiri. Akibat ulahnya, takdir anak dalam pelukannya ini akan berakhir tragis.

Kesalahpahaman di masa lalu, bahwa Juwita—si peramal masa depan lewat mimpi—tidak ambil tindakan saat melihat takdir seorang anak yang akan tewas tenggelam, berhasil membuat sebuah kutukan dilontarkan pada cucunya.

Padahal Juwita hanya tau kronologinya, bukan waktu kejadiannya. Hingga pada saat peristiwa tragis itu terjadi, Juwita sudah terlambat menyelamatkan nyawa anak tersebut.

Seorang ibu yang kehilangan anak itu lantas menyalahkan Juwita. Memberi kutukan tak bermoral yang berakibat buruk pada takdir Ranya.

Kutukan bahwa kehidupan cucunya akan terus dikejar maut tak terduga. Tidak peduli apapun alasan kematiannya.

Juwita menyadari bahwa kutukan tersebut tidak mau hilang walau dirinya sudah menyelamatkan nyawa cucunya berkali-kali berbekal penglihatan yang dia punya.

Dan jalan satu-satunya adalah mencari cara untuk mematahkan kutukan tersebut.

"Nggak gitu sayang," Juwita mengusap rambut Ranya lembut. "Bukannya Nenek nggak mau nyelametin Ranya, Nenek hanya tidak bisa."

Lebih tepatnya usaha Nenek akan sia-sia dan hidupmu akan tetap dalam bahaya. Batin Juwita melanjutkan.

"Tapi kenapa, Nek?"

Juwita melepas pelukannya, mengamati cucunya yang sudah beranjak remaja. "Ranya inget nggak, waktu ikan koki Ranya nggak sengaja jatoh?"

YORE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang