02.| seriusan?

870 178 445
                                    

Gila.

Ini gila. Bagaimana mungkin? Apakah Elan sedang bermimpi? Oh, ataukah dia sedang berada di dunia dongeng? Apapun itu, yang baru saja dikatakan Ranya tidak masuk akal. Elan seolah dipaksa percaya bahwa kucing bisa melahirkan seekor gajah.

"Cubit. Coba cubit gue, Nya."

Ranya memutar bola mata malas. Si cadel itu masih tidak mau mengerti.

"Cubit gu—ADAWW SAKIT, NYA!"

"Udah puas?"

Elan meringis, mengusap lengannya yang sedikit memerah. "Jadi, l-lo..."

Elan menggantung ucapannya sambil menunjuk seseorang yang katanya saudara Ranya—pelaku yang telah menandaskan isi kulkasnya dalam sekejap—dengan ekspresi aneh.

Elan menatap Ranya dan si cowok bergantian. Seolah tidak peduli pada keterkejutan Elan setelah apa yang terjadi, Ranya masih menatap cowok yang saat ini sedang sibuk menghabiskan berbungkus-bungkus biskuit cokelat. Mengabaikan Elan.

Saat ini, mereka sedang berada di lantai dua rumah Ranya, duduk berhadapan di salah satu sudut ruangan.

"Awalnya gue juga bereaksi sama seperti lo saat ini. Tapi setelah dipikir-pikir, di dunia ini tuh emang banyak hal yang nggak bisa dimengerti akal sehat manusia. Lo ngerti maksud gue kan, del?" Ranya menoleh, menatap Elan dengan ekspresi serius.

Elan hanya mengangguk walau setengah yakin. Setelah Ranya bilang bahwa cowok yang ia kira maling itu saudaranya, Elan tidak langsung percaya begitu saja. Seingatnya, Ranya tidak memiliki siapa-siapa selain mendiang neneknya. Makanya, Elan memaksa Ranya untuk jujur. Lalu setelah mengetahui kebenarannya, Elan masih tidak percaya. Bagaimana mungkin seseorang bisa keluar dari dalam buku?

Ya, sosok cowok yang sekarang ada di hadapannya ini benar-benar muncul dari sebuah buku. Buku yang beberapa saat lalu Ranya perlihatkan padanya. Buku bersampul ukiran kayu abstrak yang terlihat lusuh. Elan menyentuhnya, meraba setiap lekukan ukiran disana. Namun, aura mistis yang terpancar dari buku itu membuat Elan tidak kuat memegangnya terlalu lama. Semakin dilihat, buku itu seolah akan menyedot Elan ke dalamnya.

Elan bergidik, beralih menatap siluman buku—ya untuk saat ini Elan akan menyebutnya begitu—yang tidak berhenti mengunyah itu.

"Heh siluman, lo sesuka itu ya sama makanan manis?"

Cowok itu masih mengunyah, tidak peduli pada ucapan Elan. Pantas saja, beberapa hari belakangan isi kulkasnya berkurang perlahan-lahan dan dia mendengar suara-suara aneh yang ia kira tikus atau hewan apapun yang bersarang di dapurnya. Ternyata, siluman ini pelaku sebenarnya.

Ranya sempat bilang pada Elan kalau makhluk itu mencuri makanannya karena Ranya tidak sempat mengisi snack di kulkas dan malah meninggalkan dia dengan perut kosong di rumah sendirian.

"Omong-omong, kok lo diem aja? Oh, lo bisu?"

Cowok itu tetap cuek, malah sibuk membuka bungkus kesekian biskuit cokelatnya. Ranya diam saja, tidak mau ambil peran meladeni tingkah Elan.

Elan berkedip, seperti mendapat sebuah hidayah.

"Dia nggak ngelrti bahasa gue kali ya?" Elan bermonolog. "Monyonghaseo, Siluman!"

"Annyeonghaseo, bego!" koreksi Ranya, sewot.

Elan melengos. Dilihat dari wajah, cowok ini mungkin keturunan orang korea. Soalnya raut wajahnya persis seperti oppa-oppa dalam drama korea yang sering Ranya lihat.

"Tunggu-tunggu... kalo dia benelran siluman, belralrti pasti punya kekuatan—OHMAYGAT..." Elan berhenti bicara, membuat Ranya menoleh hanya untuk tersentak setelahnya karena Elan tiba-tiba menariknya menjauh dari sana.

"Apa sih, narik-narik?!" protes Ranya saat Elan baru saja melepas tangannya. Mereka berdiri agak jauh dari sana.

"Nya, lo sadalr apa yang sedang lo lakukan sekalrang?"

Ranya mengangkat bahu. "Emangnya apa yang gue lakuin?"

Elan menghela napas. "Lo balru aja mengundang malapetaka Nya, kalo dia benelran kelualr dalri buku, i mean INI BUKU BENELRAN ANYA!"

Ranya terkesiap, baru sadar ekspresi Elan seserius itu.

"Nya, lo tahu itu mustahil kan? Seenggaknya lo was-was sedikit dong. Gimana kalo dia makhluk jadi-jadian yang nanti akan mencelekakan lo?"

"Lah, baru nyadar lo?"

Elan berdecak, mengabaikan ucapan Ranya. "Gimana kalo tindakan lo saat ini nantinya jadi bumelrang buat dilri lo?"

Ranya terkekeh geli mendengarnya.

"Di situasi kayak gini lo balru aja ketawa?!" Elan menaikkan volume suaranya, jadi sedikit emosi.

"Makhluk kayak dia? Mau mencelakakan gue?"

Ranya menatap orang yang sedang mereka bicarakan, sisa-sisa cokelat bertebaran di sekitar sudut mulutnya.
Ranya tergelak."Lo sedang mengada-ngada? Nggak mungkin banget."

Elan memijit dahinya, frustasi. Ranya masih keras kepala seperti biasanya.

"Nya, kita nggak tahu apa yang bakal terjadi kedepannya. Lo nggak tahu asal-usul dia kan?"

Perkataan Elan yang satu ini sanggup membuat Ranya bungkam seketika. Elan yang melihat ekspresi Ranya hanya menghela napas lelah. "Gue mau lo tetep waspada sama dia. Gue akan memantau kalian belrdua. Nggak ada plrotes apapun, ini pelrintah!" ucap Elan telak, melangkah pergi meninggalkan Ranya yang masih melamun.

Pikiran Ranya bercabang, menimbang peringatan yang Elan berikan. Namun, pikiran-pikiran itu langsung lenyap seketika saat makhluk berbahaya yang Elan bicarakan tersenyum, mendekat pada Ranya sambil merengek.

"Minum, Ranya." katanya, menarik ujung baju Ranya manja.

Ranya mengelus rambutnya, ia terkekeh.

"Mana mungkin?"

to be continued.

O_o

2021.08.16
—ifira.

YORE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang