Bab 1: Hari ini Aku Mati

68 10 8
                                    

"Runtuhnya Kerajaan Tenggara menelan banyak korban jiwa. Tidak diketahui alasan mengenai runtuhnya kerajaan tersebut. Selain kehilangan prajurit secara misterius serta jendralnya, tidak ada hal aneh lain yang terjadi sebelum wilayah itu runtuh. Beberapa sejarawan yang berkunjung ke reruntuhan terkejut mendapati Kerajaan Tenggara membeku dan hancur. "Tidak mungkin karena badai salju, bencana ini terjadi di pertengahan musim semi," ujar Michael, sejarawan muda dari Wilayah Selatan."Koran Pagi Timur, lima tahun yang lalu.

***

"Apakah aku sudah mati?"

Theo berpikir demikian, menutup mata sementara tubuhnya melayang pelan dalam kegelapan tak berujung. Pemuda itu tidak tahu kini ia tengah berada di mana, tapi aneh. Ia tidak panik alih-alih dia justru merasa tenang. Theo menyimpulkan mungkin begitulah efek dari kematian. Tidak peduli di mana dan apa yang terjadi sekarang, karena semua telah berakhir. "Toh, tidak akan ada yang bersedih, aku tidak perlu khawatir," batinnya.

Jadi, bagaimana Theo bisa berakhir mati?

Hari itu, Theo sekali lagi mendapat perlakuan tidak baik dari rumah bangsawan tempatnya bekerja. Rumah Keluarga Walter. Nona pertama mereka, Gracey Walter, dikenal dengan kepribadian aneh. Hobi menyiksa orang, baik secara mental maupun fisik.

Karena Theo cuma seorang tukang sapu di rumah itu, Nona Gracey sering menjadikannya target. Juga, fakta bahwa ia salah satu korban selamat dari runtuhnya Kerajaan Tenggara lima tahun silam. Yang mana merupakan musuh Kerajaan Timur, Theo sungguh mainan sempurna. Tidak akan ada yang peduli meski ia disiksa sedemikian rupa. Toh, dia warga dari wilayah musuh.

Dan hari itu yang paling membuat Theo tidak tahan. Sehingga dia memutuskan untuk membeli arak yang lebih banyak dari biasanya. Mabuk sampai ia meracau tidak jelas, bahkan ketika Theo sampai di gubuk tuanya di puncak gunung.

"Seharusnya aku tidak pulang malam itu," pikir Theo, sedikit menyesali apa yang telah ia lakukan. Pemicu dari kematian Theo adalah seorang bocah siluman yang ia pungut dari jalan sekitar sebulan yang lalu.

Sion, anak yang menurut Theo aneh. Dia memungut anak itu untuk mengurus gubuk reot miliknya. Memberinya sedikit makanan (yah, Theo miskin jadi tidak ada gaji yang lebih pantas), menyuruh Sion membersihkan dan mencuci bajunya. Theo berpikir anak itu akan kabur pada malam hari. Mengingat kebiasaan minum Theo yang membuatnya jatuh tertidur seperti mayat begitu sampai di rumah. Akan mudah untuk kabur.

Tapi tidak, Sion tetap tinggal. Seakan rela diperbudak oleh pemuda gagal dengan kehidupan yang berantakan. Atau bisa jadi karena Sion adalah siluman anjing, jadi dia akan setia pada siapapun yang memberinya rumah? "Anak aneh," pikir Theo "Kenapa dia tidak kabur saja, ya? Juga... untuk apa pula dia menangis malam itu?" Bayangan Sion berderai air mata sambil memanggil namanya kembali berputar.

Malam itu, hampir saja Theo memecahkan kepala si bocah siluman dengan botol arak. Theo benar-benar di luar kendali. Semua emosi dan segala perasaan yang ia pendam selama ini membuncah. Tapi, untung saja, tepat sebelum ia menjadi pembunuh. Seseorang melempar belati tepat di punggungnya. Menghentikan aksi pembunuhan itu, dan menidurkan Theo untuk selamanya. Theo tanpa sadar bergumam, "Hal baik aku tidak mati sebagai pembunuh."

"Tapi kau mati sebagai pemuda yang mempekerjakan anak di bawah umur. Apakah itu terhitung sebagai hal baik?"

Seketika Theo membuka mata. Entah sejak kapan ia berbaring di sebuah ruang (yang kali ini) berwarna putih. Dan entah sejak kapan pula ia tak sendiri dalam kekosongan ini.

Menoleh, Theo mendapati seorang pria tinggi dengan tampang rupawan dan tubuh tegak. Terbalut setelan jas hitam dengan dalaman kemeja merah gelap, kontras dengan kulit putih pucat. Sebuah bros batu ruby berbingkai perak terpasang di saku jas, berkilau seakan telah direndam dalam air. Surai abu gelapnya tersisir rapi ke belakang, sementara kedua manik merah cemerlang menatap Theo.

Ten Days Before I DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang