Perkataan Lance benar, dia sungguh kembali. Theo kembali di gubuk miliknya, dengan kepala pening dan dorongan untuk muntah. Segera ia berlari ke belakang gubuk, menimba air dari sumur secepat mungkin dan mengosongkan isi perut. Theo mengutuk Lance dalam hati. Pria itu tanpa aba-aba mengirimnya kembali, tidak menyelesaikan perkataan ambigunya.
"Apa maksud pria itu? 'Siapa yang tahu, mungkin saja bisa jadi kenyataan.' Dilihat dari manapun Sion cuma bocah biasa," gumam Theo sambil menyeka bibirnya. "Apa bocah itu kujual saja ya? Mungkin itu maksud sebenarnya?" pikir Theo, yang mana langsung ia kacaukan, "Theomund, jangan berpikir macam- macam. Apa kau mau hidup sebagai kriminal?"
Pemuda itu hendak kembali masuk sampai ia mendengar suara. Seperti seseorang tengah memeras kain basah. Theo mengikuti suara itu dan sampailah dia di depan gubuk. Manik kehitamannya menangkap bocah siluman setengah manusia setengah anjing yang sedang berjinjit. Dengan susah payah menyampirkan selembar baju pada tali jemuran. Setelah berhasil, bocah lelaki itu hendak mengambil baju terakhir di dalam keranjang. Berbalik, ia menyadari kehadiran Theo dengan kedua manik lilacnya.
"Theo!" sapa anak itu, kemudian berlari mendekati Theo. Dengan wajah khawatir dia mendongak, mencari jejak tidak nyaman yang mungkin saja ditunjukkan pemuda di depannya, "Apa Theo baik-baik saja?" Pemuda yang ditanyai terdiam, dengan mata sedikit melebar. Dia tidak menduga Sion akan bertanya soal kondisinya.
"Apa... ," batin Theo, "Apaan? Kenapa pula dia khawatir?" Berdehem, Theo menjawab kalau dia tidak apa. Telinga dan ekor berbulu si bocah terangkat, terlihat senang. Setelah memastikan sekali lagi, Sion mengangguk, "Syukurlah. Kalau begitu, saya akan kembali menjemur pakaian."
Theo kembali menyaksikan anak itu berjinjit penuh kesulitan untuk mencapai tali. Air dari pakaian terciprat membasahi wajah dan surai putihnya. Akan tetapi Sion tetap terlihat senang, ekornya bahkan berayun ke kanan dan ke kiri. "Anak itu," pikir Theo, "Kenapa gaya bicaranya sopan sekali? Seperti tuan muda sa... Eh, sebentar." Cuma pikiran iseng, tapi siapa sangka Theo malah mengingat sesuatu yang penting.
Malam ketika dia mati, samar Theo mendengar panggilan 'Tuan Muda.' Panggilan itu jelas bukan untuk Theo. Dia terlalu miskin untuk menjadi tuan muda. Karena malam itu tidak ada orang lain selain dirinya dan Sion... .
Theo seketika mendapat pencerahan.
Tuan muda yang dimaksud adalah Sion. "Untuk seseorang yang bisa melempar belati dari jauh dan tepat sasaran, orang yang membunuhku pasti bukan orang biasa," pikir Theo, sementara senyum lebar mengembang di bibir, "Orang berpengalaman, pengawal handal, memanggil Sion tuan muda. Hehehehehehe.... ."
Ah, jelas kini maksud dari Lance, "Jadi ini alasan kenapa pria itu menyuruhku bersikap baik pada Sion. Dia anak keluarga kaya. Dengan menjaganya sampai pengawal datang, aku bisa mendapat imbalan! Hehehehehe... ." Di sisi lain, Sion samar mendengar Theo tertawa sendiri. Dengan rambut berantakan dan pandangan tidak fokus. Jika orang lain melihat, Theo bisa dianggap tidak waras lagi. Anak itu seketika khawatir, kalau dalam perjalanan pulang semalam, Theo tidak sengaja melukai kepalanya.
***
Hari kedua setelah Theo kembali ke masa lalu. Kali ini dia kembali diusili oleh Gracey. Nona nakal itu dengan sengaja mengganti air minumnya dengan air dari kolam ikan. Membuat Theo muntah dan kini tenggorokannya terasa aneh.
Dia marah tentu saja, tapi segera terpendam ketika dia mengingat kembali Sion, Sang Pengubah Nasib. Tinggal delapan hari, Theo hanya perlu bertahan selama itu sampai Sion ditemukan. Dan ia akan mendapat bayaran, lalu pergi dari Wilayah Timur.
"Seharusnya, sudah dua minggu sejak aku memungut Sion. Berarti aku belum menjadikannya alat untuk mencuri. Dia hanya mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi tetap saja, pasti ada kesan buruk. Apa yang harus kulakukan untuk menghapus kesan buruk itu. Oh?" pikiran Theo terhenti di sana. Ia menemukan ide.
Tanpa sadar Theo mulai berjalan sendiri. Singgah di beberapa toko yang menjual makanan manis, secara acak membeli beberapa kue dan roti yang sering ia lihat dimakan oleh anak- anak.
***
Sion terkejut dengan tumpukan kue dan roti manis di atas meja. Gubuk mereka jadi penuh aroma manis, tapi Sion tidak keberatan. Ia suka makanan manis. Terpisahkan oleh meja kecil tanpa kursi, Theo dan Sion saling duduk berhadapan.
"Theo, kenapa membeli sebanyak ini?" tanya Sion, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan makanan. Melihat reaksi itu, Theo memuji dirinya dalam hati. Anak-anak mudah dibujuk, apalagi tipe penurut seperti Sion.
Dengan ini Theo yakin. Semua kesan buruknya di mata bocah itu akan lenyap. Rencana yang mudah. Meski harus menguras sebagian uang, Theo rela. Saat pengawal datang nanti, dia yakin imbalan yang didapat pasti lebih banyak. Susah dahulu, senang kemudian.
"Yah, aku tidak tahu yang mana kesukaanmu. Aku takut kau tidak menyukai yang kupilih, jadi aku membeli beberapa. Apakah kau senang?" tanya Theo, dengan santai menyandarkan wajah di tangan sembari tersenyum. "Tentu saja," batinnya, "Anak ini pasti senang. Ah, lihat ekor putih itu bergerak dengan riang."
Sion kemudian mengambil satu roti isi selai kacang, kemudian melahapnya dengan cepat. Habis dalam tiga suapan, tangan kecilnya kali ini meraih kue kering. "Hei, pelan-pelan. Tidak akan ada yang merebutnya darimu," ucap Theo, tertawa kecil melihat betapa lahap anak itu makan.
Wajah Sion memerah mendengar hal itu, dengan canggung dia tersenyum dan meminta maaf. Lagi, siluman kecil menyuapkan kue kering ke dalam mulut. Tapi, kali ini lebih lambat.
Makin lambat sampai dia berhenti mengunyah. Melihat hal itu Theo jadi bingung. Apa dia tidak suka kue kering? Pemuda itu hendak bertanya ketika suara gemetar Sion terdengar, "A- apa tidak masalah untuk... menghabiskan sebagian besar uang untuk saya?" Theo terhentak dengan nada gemetar itu. Dia tidak lagi dengan santai bersandar, kekhawatiran melingkupi hatinya. Ada apa dengan Sion? "Ten- tentu saja! Anggap itu permintaan maaf dan rasa terima kasih karena kamu sudah bekerja ke- Eeeeh!"
Jawaban Theo terhenti tatkala Sion mulai menangis. Siluman kecil itu segera menyeka air mata dengan lengan. Terus menyeka tapi air mata tak kunjung berhenti terjatuh. "Ma-maafkan saya," alih-alih berhenti menangis, Sion malah sesenggukan.
"S- Sion? Kenapa? Apa yang terjadi? Ke- kenapa kau menangis?" Theo yang tidak pernah pandai berurusan dengan seseorang yang menangis menjadi panik. "S-saya... sangat senang. M-maafkan saya. I-ini pertama kalinya seseorang... peduli tentang ke- kesukaan saya," jawab Sion, sedikit kesulitan karena sesenggukan. "Terima kasih, Theo."
Theo terdiam. Seakan lidahnya menjadi beku, tak ada satupun kata meluncur dari bibir. Ucapan terima kasih beserta senyuman yang tulus itu, entah kenapa menusuk si pemuda. Anak ini... menangis karena kue. Katanya, ini pertama kali seseorang peduli tentang apa yang ia sukai.
"Apa-apaan?" pikir Theo. Tanpa sadar ia bergeser ke arah Sion. Tangannya perlahan terangkat, kemudian dengan ragu menepuk pelan kepala anak itu. "Berhentilah menangis," bujuk Theo, "Makanlah, semuanya milikmu."
Dengan begitu, Sion mengangguk. Mulai menyuapkan roti ke dalam mulutnya. Kembali membiarkan keheningan menguasai, meninggalkan perasaan aneh dalam dada Theo.
***
Note:
Aku gabut, jadi upload wkwk. Terima kasih udah mampir ke sini! Dan kalau nemu typo atau sesuatu yang tidak nyambung, jangan sungkan untuk komen. Biar langsung kuperbaiki, hehe.
Thank you!
Luv,
TamTaDam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Days Before I Die
FantasyTheo si penyihir muda tingkat rendah yang hidup penuh kesialan. Mendapati dirinya telah mati. Hal yang lumayan membuatnya lega. Karena setidaknya pemuda itu telah melewati rasa sakit oleh sekarat. Sudah tiba waktu untuk istirahat. Setidaknya itu yan...