Berkat ide dari Sion, ikan yang mereka tangkap tidak membusuk sia-sia. Menghasilkan uang, malah. Theo akhirnya memutuskan untuk kembali menangkap ikan bersama Sion, kemudian menjualnya lagi. Hal ini berlangsung selama enam hari ke depan.
Pada enam hari itu, Theo tidak kembali ke Rumah Keluarga Walter. Tidak ada yang mencarinya selama ini. Membuat pemuda itu menyimpulkan kalau tidak terjadi apa-apa. "Toh, aku cuma tukang sapu. Mereka tentu tidak mau repot mencari," pikir Theo, "Apa aku perlu datang dan mengundurkan diri? Meh, tidak perlu."
Sudah lama Theo tidak menjalani hari-hari yang damai. Dia tidak lagi pergi 'minum' tiap malam, kepalanya tidak lagi sakit ketika pagi tiba. Hatinya merasa tenang, jauh dari penindasan Nona Gracey. Jadi, tak perlu lagi kembali ke rumah terkutuk itu.
Theo terlalu menikmati kedamaian, sampai ia lupa kalau hari di mana ia harus menghindari kematian tiba.
Sore itu, ikan mereka habis terjual. Theo berpikir untuk merayakannya malam ini dengan makan sup daging sapi. Maka mereka berkeliling pasar untuk membeli daging dan beberapa bumbu masakan lain.
"Theo, bolehkah saya bertanya tentang pekerjaan lamamu?" tanya Sion tiba-tiba. Pandangannya tetap fokus ke depan, sambil membawa keranjang berisi sayuran. Berhati-hati agar tidak menabrak warga yang lewat.
"Kau selalu minta izin untuk hal sepele. Silahkan," jawab Theo. "Uhm, kau mendaftar untuk jadi penyihir di istana. Apakah kau menjadi peramu ramuan? Kalau iya, kenapa kau tidak mencoba untuk membuat ramuan sendiri untuk dijual?"
Dengan tersenyum masam Theo menjawab, "Pertama, aku tidak mendaftar jadi peramu. Aku mendaftar sebagai penjaga kebun sihir. Untuk pertanyaan kedua tidak perlu kujawab, sudah jelas aku bukan seorang peramu. Sekarang giliranku, kenapa kenapa kau selalu berbicara dalam bahasa formal? Apa kau ini tuan muda atau semacamnya?"
Sion berhenti berjalan, dengan polos ia menjawab, "Saya terlihat seperti itu?" Theo ikut berhenti, menatap Sion dengan tatapan 'kau serius?'
Theo berjongkok, menyamakan tingginya dengan Sion. Diletakkannya kantung kertas belanjaan di tanah, kemudian dengan cepat ia mencubit pipi bocah itu. "Memang benar bodoh dan polos itu beda tipis. Dari cara makan, tidak. Caramu bicara saja sangat sopan sampai membuatku merinding! Aaah kau pasti benar-benar hidup senang. Sampai sulit untuk menyamar ketika di luar!"
"Sh- shaya... tidhak bwegitu!"
"Huh? Apa maksudmu?"
"Jhujur shaya lwebih shenang di sini!"
Theo berhenti mencubit, menurunkan tangannya perlahan. Ada jejak merah tertinggal di pipi Sion, tapi seakan tidak peduli, anak itu justru menatap Theo lekat. Seakan ingin mengungkapkan janji sakral. "Saya lebih senang di sini, dibandingkan dengan rumah lama saya. Saya tidak kesepian, saya punya Theo."
Theo terdiam, mana kala hatinya teredam kehangatan secara tiba-tiba. Selama ini dia berpikir kalau tidak ada yang ingin bersamanya. Karena dia telah dibuang oleh keluarga kandung, Theo merasa dia ditakdirkan untuk hidup sendiri. Apalagi setelah beberapa tahun ini penyihir muda itu menjalani semuanya sendirian. Tanpa teman, tanpa sandaran.
Theo tidak pernah berharap pada siapapun lagi. Dia selalu menganggap kalau sedarahnya saja berlaku buruk, apa lagi orang lain. Perkataan Sion sungguh... tidak ia harapkan.
Namun telah terkatakan, dan ia merasa sedikit aneh dengan perasaan tiba-tiba ini. Tapi, Theo tak akan bohong. Mungkin karena terlalu lama dalam kesendirian. Kalimat sederhana itu membuatnya senang.
Tapi ini berbading terbalik dengan rencananya. Theo tidak ingin berharap, dia sudah tahu konsekuensi harapan yang tak terwujud. Dengan terpaksa, dia harus puas hanya dengan pernyataan dari Sion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Days Before I Die
FantasyTheo si penyihir muda tingkat rendah yang hidup penuh kesialan. Mendapati dirinya telah mati. Hal yang lumayan membuatnya lega. Karena setidaknya pemuda itu telah melewati rasa sakit oleh sekarat. Sudah tiba waktu untuk istirahat. Setidaknya itu yan...