Bab 3: Sumur dan Ikan

71 7 4
                                    

Hari ketiga menuju kematian yang entah bisa dihindari atau tidak. Kali ini, tidak seperti biasa, Theo bangun pagi. Pemuda itu memutuskan untuk membantu Sion mengerjakan pekerjaan rumah. Meski kepalanya agak pusing karena tak terbiasa bangun cepat, dia rela.

Semua demi mempertahankan kesan baik di mata bocah itu. Dan juga, ada sebersit rasa penasaran merambati kepala. Membuat Theo tidak bisa tenang karena terus memikirkannya. Terkait kejadian kemarin, tentang apa yang dikatakan Sion sambil menangis.

Apa maksudnya 'tidak pernah ada yang peduli tentang apa yang ia sukai?'

Bukankah dia seorang tuan muda? Harusnya semua bawahan wajib tahu tentang apapun yang berhubungan dengannya, kan? Lalu—

"Theo, selamat pagi!"

Theo terlonjak kaget, hampir saja dia menjatuhkan keranjang baju yang hendak dibawa ke sungai. "Uh, ya. Selamat pagi," balasnya. Sion tersenyum senang, berpikir akhirnya Theo mau mengubah kebiasaan buruk bangun siang.

Kebiasaan tidur sampai siang pemuda itu benar-benar buruk. Dulu ketika Sion pertama kali tinggal dengan Theo. Dia tidak sengaja menjatuhkan panci di pagi hari karena sedang berusaha memasak. Suaranya sangat keras, sangat mengejutkan sampai sekujur bulu di tubuhnya berdiri tegak.

Sion sangat takut kalau suara itu membangunkan tuan penyelamat. Tapi setelah dia bersiap untuk dimarahi, tidak ada teriakan atau panggilan sama sekali. Penasaran, ia mengecek Theo dan menemukan si penyihir tetap berbaring dengan tenang. Tidak terganggu, bahkan nafasnya pun teratur.

Begitupun di hari-hari berikutnya, jika Sion dengan ceroboh membuat suara yang keras pada pagi hari. Theo tetap tidur tenang, damai seperti mayat. Sion meyakini bahwa seandainya ada pencuri yang masuk, dan posisi matahari belum berada di atas kepala. Theo tidak akan bangun, bahkan jika si pencuri berusaha membangunkannya.

Sungguh kebiasaan yang buruk, ah tidak. Kebiasaan yang membahayakan.

Oleh karenanya Sion sungguh gembira dengan perubahan Theo.

Pandangan Sion jatuh ke keranjang baju yang dibawa si penyihir, mengalihkan perasaan suka cita. "Theo, biar saya yang cuci. Berikan keranjangnya," pinta Sion sambil mengulurkan tangannya. Namun, Theo justru menjauhkan keranjang baju. "Hari ini, biar aku yang mencuci baju," jawab Theo, "Pekerjaan yang lainnya juga. Pergilah bermain."

Sion membeku dengan mulut terbuka. Menambah kesan dramatis, ekor dan telinga berbulunya berdiri tegak. Bocah itu sangat terkejut. "T- tapi, selama ini saya yang mengerjakan semuanya. Theo pasti kesulitan, tolong biar saya saja," pinta Sion lagi sedikit terbata.

"Sion, aku tinggal sendirian sebelumnya. Apa kau lupa? Tidak perlu khawatir dan pergilah bermain sana," ucap Theo sambil menepuk pelan kepala Sion. Mendorong secara halus agar bocah itu menyerah. "Oh, lembut sekali. Kemarin aku tidak sadar karena dia menangis," pikir pemuda itu, sedikit teralih karena kelembutan surai si siluman kecil.

Sayang, tekad Sion si siluman kecil tidak mudah patah, "Kalau begitu, saya akan membantu! Saya masih baru dengan kota ini, jadi selain Theo saya tidak mengenal siapapun. Tidak ada gunanya saya pergi keluar, jadi biarkan saya ikut membantu!"

Theo menghela napas, sepertinya memang tidak ada pilihan lain.

***

"Theo, kenapa kita malah ke sungai?"

Tanya Sion, begitu mereka sampai di sungai kecil dalam hutan dekat kaki bukit. Sungai itu jernih, dengan satu dua daun yang gugur terbawa alirannya. Sinar mentari menembus kanopi hutan, terpantul pada permukaan air. Membuat ilusi seakan ada permata bertebaran di dalam sana.

Ten Days Before I DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang