1. Kenyataan

180 24 0
                                    

Aku mengerang pelan. Mataku berkedip beberapa kali, menyesuaikan sorot mentari yang mencoba masuk dari celah gorden kamar ini.

Sshhh…” Aku berdesis pelan. Kepalaku masih terasa berputar. Mungkin sisa-sisa pusing yang kemarin masih ad..

Tunggu.

Kemarin?

Aku mengernyit bingung. Ketika pingsan, matahari seharusnya sudah mulai tenggelam. Dan kini, sinar mentari pagi yang menyorot kembali.

Aku gagal untuk melarikan diri.
Aku mencoba bangkit. Telapak tanganku spontan memegangi kepala ketika denyut sakit itu masih terasa.

Aku melihat tubuhku, jubah mandi yang sebelumnya kupakai kini sudah berganti menjadi sebuah baju tidur yang lembut berwarna merah muda.

Siapa yang menggantikannya? Apa mungkin… dia?

Kepalaku menggeleng pelan. Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Bagaimanapun juga, aku harus segera pergi dari sini, keluar dari rumah ini, menjauh sejauh yang kubisa.

Aku mencoba berdiri perlahan, berdiam sebentar menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Kakiku melangkah menuju pintu keluar. Ada dua pintu di kamar ini, dan aku tahu persis dimana pintu keluarnya.

Sebulan setelah malam itu, dia datang mencariku dan membawaku ke rumah ini. Menyembunyikanku dari dunia luar seolah aku bisa menghancurkan dunianya kapan saja aku mau.

Padahal Demi Tuhan, aku sama sekali tidak berniat buruk padanya.
Dua Minggu berada di rumah ini membuatku tahu dengan jelas seluk beluk rumah ini. Dan setelah pintu ini terbuka, aku hanya perlu melangkah…

Cklekk

“Apa yang kamu lakukan disini?”
Aku terpaku. Terlalu terkejut ketika menyadari keberadaannya di depanku. Aku menurunkan tanganku yang masih menggantung hendak membuka pintu.

Dia melirik kearah tanganku lalu menghela nafas. “Kamu harus banyak istirahat.” Dia memapahku kembali ke ranjang dan membantuku merebahkan diri. Telapak tangannya terulur ke dahiku, mengecek suhu tubuh.

“Panasnya sudah turun.” Matanya menyipit ketika lengkungan senyuman hadir. Aku terpaku menatapnya. Dia tampan. Namun sayang, aku sama sekali tidak tertarik padanya, pada seorang pria milik orang lain.

Dia menuntunku untuk kembali ke ranjang dan menata bantal sebelum memerintahku untuk duduk bersandar lewat gerakan matanya.

Kedua tangannya mengambil nampan di atas nakas, sebuah mangkuk dan gelas tertata di atasnya. “Kamu harus makan. Kemarin kondisi tubuh kamu benar-benar lemah. Suhu tubuh kamu tinggi, bahkan dokter menyarankan kamu untuk dibawa ke rumah sakit.”

Keningku mengernyit heran. Sejak kapan ada nampan disana? Apa dia yang membawanya barusan? Mengapa dia terlihat normal?

Dia mengambil sedikit bubur itu, meniupnya pelan dan mendekatkan sendoknya padaku.

“Ayo makanlah..”

Aku menggeleng menolaknya. Tenggorokanku terasa begitu kering, aku membutuhkan air dibanding bubur itu.

“Ha..us.”

Tangannya bergerak mengambil segelas air dan membantuku untuk meminumnya hingga tandas.

Dia tertawa kecil. “Mungkin kita perlu mengisi lagi air di gelasnya.”

Aku terdiam. Aku memang haus, segelas air saja bahkan tak cukup untukku.

“Makanlah..”

Aku menggeleng kembali. “Pulang. Aku mau pulang.” Ada sorot tak suka ketika aku mengatakannya, namun raut wajahnya kembali datar, senyumnya menghilang.

“Kamu tinggal disini mulai sekarang.”

Aku menggeleng, jelas menolak usulnya. “Ini bukan tempatku, ini bukan rumahku.” Mataku menyorot penuh ketegasan padanya. Dia seharusnya tahu itu, bukan? Mengapa aku harus mengulang pertanyaan yang sama setiap harinya?

“Mulai sekarang, ini rumahmu dan ini tempatmu.”

Selalu kalimat yang sama yang dia katakan jika aku meminta pulang sejak dua minggu yang lalu.

“Kamu tidak bisa seenaknya. Kamu bukan siapa-siapa untukku, jelas tidak berhak mengatur kehidupanku.” Aku mengingatkannya berkali-kali mengenai hal ini, apa dia terlalu bodoh untuk mengerti?

“Kamu tanggung jawabku dan aku berhak mengaturnya!” Suaranya mulai meninggi. Rahangnya mengeras, membuktikan padaku jika dirinya memang tengah marah.

Aku memalingkan wajah, enggan untuk menatapnya. “Aku tidak pernah memintamu untuk bertanggung jawab terhadapku. Tolong, jangan membuatnya semakin sulit.”

Alfandi—pria itu berdecak. “Aku membuat semakin sulit katamu? Bukankah seharusnya aku yang mengatakannya?” Ia tersenyum sinis. “Kamu yang membuatnya sulit, Arditha! Tetap tinggal disini dan jauhi dunia luar!” Bentaknya.

“Tapi aku bukan bonekamu! Aku manusia bebas." Mataku terpejam. Keadaan ini begitu menyulitkan untukku. "Kita bahkan tidak saling mengenal. Bisakah kamu lupakan saja kejadian malam itu? Aku… juga akan melakukan hal yang sama.” Suaraku semakin pelan saat melihat sepasang mata itu semakin menajam menyorotku penuh emosi yang terkumpul.

Kalimat terakhir jelas hanya sebuah gurauan. Rasa takut dan trauma tentang malam itu saja bahkan masih kurasakan hingga sekarang.

Kedua bibirnya mengatup, lalu menipis karena geram. “Kamu menolak pertanggung jawaban dariku, Ardhita?” Itu jelas bukan pertanyaan, bibirnya mengatakan seolah itu bentuk pernyataan yang berhasil dia simpulkan.

Aura kemarahannya menguar semakin pekat dan alarm peringatan berbunyi nyaring di kepalaku. Aku mundur perlahan, berusaha menjauhi diriku dari jangkauannya yang bisa saja lepas kendali.

Aku memejamkan mata sejenak sebelum menatapnya kembali dengan penuh keberanian. Aku tetaplah aku, dengan keras kepala ini. “Jika itu berarti kebebasan, maka jawabnya adalah iya.”

Dia berdecih, senyum remeh tersungging di bibirnya.

Aku membuka mulut kembali, “Lagipula, tidak ada yang perlu di pertanggung jawababkan. Aku baik-baik saja dan malam itu hanya sebuah kesalahan. Aku akan memaafkanmu, jika kamu menukarnya dengan kebebasanku.” Aku bernego.

Tawa yang terdengar begitu menakutkan memenuhi seisi ruang. Dia menatapku kembali setelah puas tertawa mengejekku.

“Kesalahan katamu?” Dia berdecih. “Ahh.. kupikir kamu wanita baik-baik, makanya aku perlu bertanggungjawab padamu. Sepertinya aku terlalu berbaik hati padamu, pada seseorang yang tidak tahu diuntung.”

Aku tersenyum lantas mengangguk. Dia bebas berpikir apapun tentangku. “Karena aku bukanlah wanita baik-baik, jadi… kita bisa saling melupakan.”

Dia mengangguk-angguk. Ada sorot geli di matanya ketika menatapku. Senyum aneh penuh makna hadir di wajah memikatnya.

“Kamu tidak mengenalku.”

Aku mengangguk menyetujui ucapannya. “Ya, dan kamu juga tidak mengenalku. Sungguh, tidak ada yang terjadi setelah malam itu.” Aku mencoba menjelaskan kembali padanya. Membuatnya percaya padaku adalah jalan satu-satunya agar dia memberikan kebebasan yang kuimpikan sejak dua minggu yang lalu.

Kepalanya menggeleng tidak setuju. “Tidak, tidak, aku mengenalmu, Ardhita. Begitu mengenalmu, hingga ku tau…” Kedua matanya melirik pada perutku lalu tersenyum kecil.

“Kamu tengah berbohong padaku.”
Aku tercekat saat sebuah telapak tangan mengelus perutku pelan.

“Bayiku… tumbuh di perut kecilmu, Ardhita.”

“Dan aku pun tidak butuh maaf darimu.” Lanjutnya membungkamku.

*

*

*


The World of The MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang