3. Pernikahan (bukan) impian

115 17 1
                                    

Aku berkedip. Seorang wanita berkebaya putih dengan rambut disanggul terlihat begitu menawan dan memikat. Anting-anting yang terpasang di kedua telinganya membuatnya terlihat semakin sempurna. Namun sayang, tak ada senyuman disana.

“Wahh.. kamu terlihat cantik, nak.” Seorang wanita paruh baya berkomentar mengenai pantulan diriku yang tergambar jelas di cermin.

Aku membenarkan dalam hati. Aku memang terlihat sangat cantik. Begitu anggun dan berkelas meski hanya berdandan sederhana, berbeda jauh dari penampilan keseharianku. Tangan Ibu Surti-lah yang berhasil mengubah upik abu sepertiku menjadi seorang puteri.

“Terima kasih, Bu.” Lirihku.

“Senyum dong, kan mau nikah. Nggak baik calon pengantin cemberut begitu.” Godanya.

Andai dia tahu kenyataannya. Mungkinkah dia masih mau menatapku dengan penuh perhatian seperti ini?

Aku berusaha menarik bibirku ke atas. Jelas menampilkan senyuman aneh yang terlalu dipaksakan.

Acara ini, pernikahan yang selalu kuimpikan, ternyata berakhir tak seperti mimpiku.

Tiga hari setelah malam itu, dia menghilang. Aku tak tahu kemana perginya dan para pekerja di rumah ini pun tak ada niat untuk memberitahu.

Tiga hari kuhabiskan hanya dengan melamun, meratapi nasib yang menimpaku. Terkurung di dalam sangkar emas miliknya, tak sekalipun diperbolehkan untuk terbang bebas. Semenyedihkan itu hidupku.

Kemarin, dia datang. Membawa kejutan yang sama sekali tidak kuharapkan kedatangannya. Beberapa rombongan mobil datang bersamanya, ruangan rumah ini disulap sedemikian rupa hanya dengan waktu satu hari.

Bak legenda Candi yang terbuat hanya pada satu malam, kini semua terlihat berbeda. Semua terasa asing untukku.

Setiap sudut rumah berhiaskan kain perpaduan hijau dan putih yang tertempel di langit-langit. Dia bilang, hari ini kita menikah.

Aku tersenyum miris, mengingat betapa lucunya kehidupanku. Hanya satu malam aku mengenalnya, namun aku terjebak dengan dia selamanya.

Masa depanku hancur hanya dalam kurun waktu yang singkat. Hidupku berubah dalam sekejap mata. Semua salah dia, namun dia enggan disalahkan.

Cklekk


Pintu terbuka dari luar. Alfandi masuk dengan tuxedo-nya yang terlihat begitu menawan. Dia berjalan mendekat padaku dengan senyum puas di wajahnya. Ya, dia pasti senang karena semuanya sesuai dengan rencana.

Dia tetap pada tanggung jawabnya dan bersama dengan seseorang yang dicintainya.

Dan aku, tersembunyi dari dunia luar dengan status sebagai perebut dis sisiku.

“Kamu terlihat cantik.”

Aku diam, enggan menjawab.

Alfandi menarik daguku membuatku mendongak menatap langsung matanya.

“Sebentar lagi kita menikah.” Dia tersenyum. “Setengah jam lagi, kamu akan jadi istriku.”

Aku bergeming. Sama sekali tak menghiraukan ucapannya meski mata kami masih bersitatap.

“Bisakah… kita batalkan ini semua? Demi Tuhan, aku tidak akan menuntut apapun padamu.”

Mencoba peruntungan kembali, aku mengucapkannya dengan penuh keraguan.

Rahangnya mengeras. Cengkraman tangannya menguat di daguku dengan mata yang memicing tajam. “Don't you dare me, Ardhita.” Ancamnya.

Hanya satu kalimat, namun memampu membuat keberanianku menciut. Hampir sebulan aku tinggal di dekatnya membuatku paham bagaimana sifat dominannya. Tidak suka dibantah, egois dan kasar.

The World of The MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang