IV. Universal Girlfriend

2.2K 133 14
                                    

Winter's POV

Menunggu Karina berbenah seperti melihat kertas terbakar api, segera namun tidak terburu-buru. Barang sepuluh menit setelah ia membuang pakaian dari atas sampai bawah keluar dari bilik kamar mandi, cukup untukku menghabiskan sisa Woo-Woo  yang masih hidup. Tempatnya berantakan, sama halnya denganku, berantakanㅡtidak setelah Karina mendesakku dengan objek lonjong silikon yang ia bawa itu.

Tidak terasa, wangi sabun Sugar Raspberry menyeruak dari ujung kamar, menandakan perempuan itu telah menyelesaikan aktivitas rutinnya. Karina keluar dalam keadaan basah, butiran air tak sungkan berlari-lari di sekitar kulitnya.

"Giliranmu," katanya. Angkuh sekali nadanya.

Karina masih dingin, bahkan adegan yang ia rencanakan sendiri tak cukup membuatnya bersikap selayaknya, atau setidaknya, seperti 'teman' kepadaku. Ia mengurai lilitan handuk itu dan sekali lagi mempertontonkan kemolekan tubuhnya.

"Kau lihat ini?"

"Aku melihat semuanya."

"Kau suka?"

Melihat dada perempuan terekspos begitu saja, belum lagi bagian di bawah sana yang tak kalah usil. Apalagi yang harus kukatakan, menyadari betapa canggihnya seorang Karina membuat lawan mainnya terkagum-kagum tak bisa banyak omong. Aku mengangkat bahu pura-pura tak tahu, lebih jelasnya tak mau memberikan jawaban spesifik seperti yang ia inginkan, ya, aku juga perlu mengambil bagian dalam mini-games  ini, bukan?

"Such a pervert," ujarnya terkekeh.

Barangkali, kuyakin aku tak mampu bergerak terlalu banyak. Terlalu sibuk menyerap energi yang ia mancurkan dari arah mata yang tertuju pada bayanganku di cermin. Dirinya yang kusebut berlian hidup itu takkan pernah kulepaskan begitu saja, pikirku sesaat sebelum ia mulai buka mulut.

"Kau menjebakku."

"Aku tidak menjebakmu."

"Dengan memberikan nama palsu, oh siapa namanya? Winter?"

Sekali lagi terkancing, atau mungkin ini istilah yang disebut dengan 'wanita selalu benar', but hey, aku juga wanita!

"Kalau sudah tahu, kenapa tidak langsung sanggah saja?"

"Aku juga perlu terlibat dalam mini-games  yang kau buat, baru namanya adil."

"Adil?"

Ia dengan tepukan bedak di sekitar wajahnya, bertanya, "apa yang kita lakukan tadi, kutanya, kau suka atau tidak?"

Cih, pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku menyuㅡuh, maksudku aku membencinya. Aku bahkan tidak ada waktu menyentuhnya atau dia yang tidak memperbolehkanku menyentuhnya. Keadilan macam apa yang ia bicarakan? Apa ia punya pengacara?

"Tidak menjawab artinya suka."

"Aku tidak suka," jawabku.

"Hmm? Kenapa?"

"Kau tidak seperti yang kuharapkan," ujarku lagi, "mereka yang bersikap menarik di atas panggung, tetapi tidak di kasur. Itu kau salah satunya."

Jika aku bisa membunuh diriku sendiri akan kulakukan sekarang. Kusadar itu terlambat sesampainya perempuan itu kembali menjatuhkan tatapan yang, hmm, entah harus kukatakan itu mengerikan atau menakjubkan.

"Begitu?"

"Begitu...?"

"Caramu memperlakukan seorang pacar, begitu?"

"P-pacar? Hei, kau itu hanya kupu-kupu malㅡ"

"Mulai sekarang aku pacarmu."

Sampai disitu ingatanku sebelum aku kolaps dan terbangun melihat kamar kosong, seolah-olah ia bersembunyi di balik lemari atau pintu kamar mandi. Tetapi, tidak. Ia benar-benar hilang, pergi meninggalkan kotak marijuana itu dan sedikit manifes di pangkuanku.

The Night When We Do TribadesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang