1 - Tak Akan Mencinta Sampai Kapanpun

205 21 0
                                    

Pesta yang meriah, berlangsung di Bali. Indira mungkin tak pernah terbiasa dengan keramaian itu. Dia bahkan lebih suka menikmati soda di bar yang ada di paling belakang pesta saat semua orang sibuk mengobrol, tertawa dan bersenang-senang. Sepupunya menikah lebih dulu, Meli, sekaligus teman untuknya saat dia ingin menghabiskan waktu. Jika Meli menikah itu artinya tidak ada lagi yang akan menemani kegilaannya bersama, seperti berlibur tanpa membawa apa-apa hanya sedikit uang dan keberanian. Berkat itu dia pernah menjelajah Kalimantan juga Nusa Tenggara. Dia pernah menghabiskan waktu untuk menyendiri di Bukittinggi, tentu saja bersama Meli. Jika dia stress, sudah seharusnya dia stress, bahkan sebelum pernikahan diresmikan, Meli masih tidur di kamar hotelnya dan bercerita soal segala omong kosong, hal-hal menyedihkan sampai mereka menangis tersedu-sedu sambil memeluk satu sama lain dan jatuh tertidur.

Apa hari-hari seperti itu akan ada lagi? Siapa yang akan menikmati hari-hari itu bersamanya? Siapa yang akan saling menyelamatkan saat mereka ssaling diamuk orang tua? Indira membayangkan akan ada lebih banyak hari-hari kesepian menemaninya.

"Sudah aku bilang, kan?" kakak laki-lakinya, Savi, tiba-tiba muncul. Dia bahkan bersikeras menggunakan kemeja bunga-bunga dan celana pendek di acara itu. Walau memang pernikahan ini menghadap laut dan disambut angin yang kencang serta banyak sekali pasir, Savi selalu muncul lebih dulu dengan tingkah lakunya yang unik. Dia mungkin baru saja membuka bajunya di mulut pantai dan berselancar ria, lihatlah sisa-sisa air laut di rambutnya itu. "Kamu juga setidaknya harus menemukan satu."

"Kamu tahu motoku, kan, aku tidak akan menikah sampai kapanpun. Itu melelahkan."

"Benar, untuk orang yang menggilai ketenangan hidup sepertimu, aku menghargainya. Tapi kamu tidak mungkin tidak mengenal seorang laki-laki pun dalam hidupmu dan tidak pernah jatuh cinta."

"Aku tidak akan pernah jatuh cinta."

"Karena cintamu meninggalkanmu di sana?" Dia mengerdik ke arah Meli.

"Kamu bercanda?"

"Kamu nggak homo?"

"Savi!"

"Oke, orang mungkin untuk menyukai satu atau dua jenis kelamin, tapi tidak sama sekali? Terdengar seperti kebohongan yang hebat."

Indira tersenyum sinis, "percayalah, aku tak memiliki hasrat seperti itu, sedikit pun."

"Baiklah," Savi tersenyum kemudian menepuk bahunya sekali. "Aku akan memercayaimu, setidaknya aku tidak akan menemukanmu menyembunyikan seorang pria tidak dikenal di dalam kamar hotelmu," dan dia tertawa sejadinya sebelum pergi mengambil segelas soda baru dari bartender.

Indira tak pernah menikmati acara itu. Dia ingin turut bahagia melihat senyuman Meli, tapi tidak bisa. Entah karena dia iri atau memang dia tak ingin kehilangan sahabat dekatnya.

Dia menekan kepalanya sendiri mengambil kunci kamarnya yang diletakannya di atas meja dan beranjak dari sana. Mungkin lebih baik untuk tertidur sekarang dan terbangun besok pagi. Lagi pula, setelah hari ini dia akan kembali melanjutkan hidupnya yang membosankan. Kembali ke Jakarta mengerjakan tugas-tugas di kampus, menunggu kapan semua beban itu selesai.

Dia tak pernah menyukai hidupnya. Ayahnya seorang jendral angkatan dan cukup keras padanya, cukup mengekangnya. Di umur yang masih kecil rambutnya selalu dipotong cepak dan dia harus sekuat ke tiga kakak laki-lakinya. Terkadang semua pelarian itu bagi Indira adalah perjalan tiada tujuan di luar sana. Sekali lagi, dia berharap bisa lari. Tepatnya, seperti tujuh tahun yang lalu.

***

Indira pernah mencium bau saus sewangi itu sebelumnya. Ayahnya pernah membawanya ke suatu restoran di hari ulang tahun Ferry, kakak ke duanya. Sebuah restoran di hotel berbintang lima dan seekor lobster yang cukup besar di atas meja kemudian mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

Deep Down, I CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang