2 - Dan Mungkin, Tidak Ada Cara untuk Meluruskannya

65 11 0
                                    

Akmal punya misi saat dia mendatangi Indonesia dan meninggalkan kediamannya di Belanda. Sudah nyaris tiga tahun di sana. Dia mencoba menyelesaikan program studi S2 di sana sembari bekerja dengan mengerjakan sejumlah riset. Dolar-dolar di rekeningnya kian bertambah seiring waktu. Kemakmuran di negeri orang itu memang begitu ia dambakan sekarang.

Ibunya memintanya datang, setidaknya setelah bertahun-tahun tidak kembali karena sekolah dan pekerjaan. Ibunya tak pernah rela dia berlama-lama di sana dan melupakan Indonesia, tanah kelahirannya.

Sebulan sebelum kepulangan, ibunya menelepon tiada henti. Dia baru saja keluar dari dapur menyiapkan seekor utuh chicken roasted dan menyajikannya untuk keluarga berkebangsaan Indonesia yang telah memberinya tempat tinggal di sana sejak lama. Sejak pertama Akmal datang, istrinya masih mengandung lima bulan, sekarang anaknya sudah nyaris tiga tahun.

"Ayahmu sakit, nak, kembalilah," ucap ibunya di telepon. Akmal menekan-nekan kepalanya sendiri selagi duduk lemas di atas kasurnya. Dia baru saja menelepon balik ibunya selepas selesai makan malam tadi. Walau perbedaan waktu mereka enam sampai tujuh jam, ibunya bahkan tidak pernah tidak mengangkat telepon. "Dia masuk rumah sakit lagi dan harus rawat inap. Datanglah walau cuman sebentar, setidaknya biarkan ayahamu melihat wajahmu itu."

Akmal selalu lupa waktu. Dia selalu merasa baru kemarin dia mendatangi negeri itu dan dia tak pernah merasa puas untuk meraih lebih banyak lagi. Walau dalam benaknya, pada akhirnya dia pasti kembali tapi setelah dia cukup matang dan sanggup memasuki perusahaan manapun yang dia inginkan. Bukannya dia juga anak kurangajar yang mengabaikan orang tuanya, mungkin untuk sebentar saja dia harus mengurunh egonya dan kembali ke pelukan orang tuanya. Terasa berat untuk pulang, dan terasa berat pula untuk bisa pergi lagi.

Akhir tahun, satu-satunya tiket yang bisa ia pesan berhenti di Bali. Dia dengan seorang lagi temannya dari Indonesia melakukan penerbangan itu bersama-sama.

"Menginaplah di Bali semalam," kata Ruben saat mereka sampai di pesawat. "Teman sekolah kita mengadakan pernikahan di Bali, kita bisa datang."

"Kamu tahu aku datang ke Indo untuk mengunjungi ayahku yang sakit, kan? Rasanya tak pantas aku datang ke pesta  lebih dulu."

"Kita bisa istirahat dulu, lah. Aku sudah pesan kamar di hotel itu. Kamu bisa bareng aku, lalu besoknya kamu ambil penerbangan paling pagi ke Semarang, ke tempat orang tuamu."

Akmal tidak lagi menyahut, itu artinya dia setuju. Ruben menepuk bahunya sekali.

"Ayahmu pasti baik-baik saja," katanya mencoba menenangkan Akmal.

Itu pukul dua siang saat mereka akhirnya sampai di hotel di Bali. Hotel itu cukup ramai karena banyak tamu pernikahan yang menginap di sana. Akmal bahkan dikejutkan dengan keberadaan beberapa teman SMA yang dia kenal. Mereka nyaris menghabiskan waktu seharian untuk mengobrol termasuk juga soal kegiatan Akmal di Amsterdam.

Ternyata itu adalah Meli, adik kelasnya saat SMA yang akan menikah. Akmal bersama teman-teman lamanya tak sengaja berpapasan dengan perempuan itu saat mereka di restoran hotel. Meli sempat menyambut candaan orang-orang itu yang mencoba menggodanya.

"Ini dia nih, primadona sekolah kita," kata salah seorang. "Nggak nyangka sih Mel, kamu bakal menikah sama si doi. Nggak salah sih, dia kan pewaris perusahaan gede. Ck ck, beruntung banget." Obrolan itu tak kian surut. Meli hanya bisa cengar-cengir walau dia sudah gatal untuk mengangkat kakinya dari sana.

"Aku duluan, ya, sampai ketemu nanti malam," Meli pun punya kesempatan untuk kabur.

Meli mengutuk dalam hati, sebenarnya ide mengundang teman-teman SMA-nya adalah ide salah satu temannya. Dia tidak menyangka bahkan beberapa laki-laki yang tidak dia sukai juga diundang ke sana. Benar-benar cari masalah. Meli mempercepat langkahnya untuk segera menemui Indira yang ia yakini pasti sedang mengurung diri di kamar.

Deep Down, I CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang