Mencoba memahami

9 1 0
                                    

Aku meletakkan dua box barang-barangku di samping kasur dan segera memakai kaos polos dari lemari. Aku menyusuri lorong gelap di rumah ini, remang-remang cahaya matahari membantuku melihat arah. Ketika aku sampai di ujung lorong, aku melihat ada pintu berwarna hitam tertutup di sebelah kiri. Jaemin mengatakan aku harus belok ke kiri, mungkin maksud dia adalah pintu ini. Aku membuka pintu itu perlahan dan benar, ada tiga orang termasuk Jisung sedang berkumpul.
Mereka semua menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan seksama.
"Halo perkenalkan namaku Jeno"
"Oh duduk sini"
Mereka tidak terlihat sibuk. Dari yang aku lihat, mereka hanya duduk berkumpul sambil minum teh di meja makan tanpa atap ini. Dari rumah yang sangat besar, dapur mereka tidak memiliki atap.
"Katanya ada yang harus di bantu?" Aku mulai bertanya.
"Udah enggak, tadi kami kerepotan pas papi ngecek tapi udah beres kok. Kenalin aku Haechan, si bocah kurus ini Mark dan yang paling imut namanya Jisung."
"Aku udah kenalan kok tadi mas"
Oh, jadi namanya Haechan, aku rasa dia yang memimpin bagian belakang seperti yang dikatakan Jaemin. Dari gelagatnya, dia terlihat cekatan dan tanpa ragu. Sementara temannya Mark, terlalu pendiam dan malu-malu. Kalau Jisung, menurutku dia hanya anak kecil pelepas lelah dengan keimutan nya.
"Jadi sebenarnya kita ngapain disini?" Spontan pertanyaan itu keluar dari mulutku.
"Kita cuci baju, beresin rumah yah walaupun ga bakal selesai dalam sehari, kita juga tugas buat masak dan hal-hal lain." Tugas mereka kelihatan lebih masuk akal daripada yang dilakukan oleh Jaemin dengan oli di hampir semua kaosnya.
"Kamu tidur di depan kan ya?" Haechan mendekatkan wajahnya.
"Iya sama Jaemin"
"Wah, hati-hati" Haechan berbisik.
Ketika aku mengucapkan namanya, Mark kelihatan sangat takut seperti ada yang menghantuinya. Haechan pun terlihat was-was. Aku jadi ragu, di dalam rumah ini, tidak ada yang bisa aku percaya. Rasa penasaranku meningkat ketika dia menyuruh ku untuk hati-hati.
Sebelum aku mulai mengajukan pertanyaan lagi, Haechan sudah angkat bicara.
"Bagusnya kamu dapet bagian belakang sama kita. Tapi kayaknya sih kamu bakal di depan, secara kamu kebagian sekamar sama si Jaemin itu, beneran aku kasih tau buat hati-hati, Jaemin itu anak kesayangan papa dan papi."
"Kalian gapapa ngomong gini di depan Jisung?" Aku ragu ini adalah sebuah rahasia yang seharusnya tidak sampai di telinga Jaemin.
"Oh haha gapapa, kalo Jaemin denger juga gapapa, yang aku maksud hati-hati itu sama papa dan papi. Karena Jaemin adalah anak emas, jangan sampe kita kelihatan melukai dia di depan mereka."
Setelah mendengar ucapan Haechan, rasanya setiap hari adalah perang dirumah ini. Ada satu hal yang aku yakin dengan pasti.
"Kalian anak adopsi juga semuanya?"
"Iya, dan yang paling pertama di adopsi ya si Jaemin itu" dari caranya menyebutkan nama Jaemin aku rasa mereka tidak begitu dekat dengan anak ini.
"Apa Jaemin juga yang jemput kalian?"
"Bener, seperti kamu hari ini."

Perbincangan kami memakan waktu cukup lama sampai tak terasa langit sudah gelap. Aku membayangkan kabar Jungwoo di panti asuhan, meskipun kami miskin, bagiku panti itu sudah seperti rumah. Baru hari pertama, aku yakin betul hidupku yang kemarin lebih nyaman.

"Jeno, kita mau nyiapin makan malem buat semuanya, kamu bantu ambil piring dan susun di meja ya." Haechan memerintah ku.
"Eh dia mana tau susunannya, mending bantu bawa makanannya aja" Mark menahanku untuk menyusun piring dan memberikan ku piring berisi lauk pauk. Segera aku melakukan sesuai yang mereka mau.

-dinner time-
Aroma makanan bercampur dengan aroma oli dan keringat. Kami yang berada di dapur dari tadi harus beradaptasi dengan aroma tersebut. Jaemin terlihat lusuh, berbanding terbalik dengan tampilannya saat menjemputku tadi. Tunggu, aku terus memperhatikannya. Oh astaga, ayo alihkan pikiranmu Jeno.
"Jeno, kamu ga makan?" Papa Johnny menegurku, suaranya menusuk dadaku membuat jantungku berdegup kencang lantaran aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk. Jaemin hanya menatapku sekilas seolah tidak peduli, sementara papa masih menungguku untuk merespon.
"Iya pa ini mau makan" aku mengangguk.
"Jeno, kamu ga perlu takut. Kita semua keluarga. Santai aja seperti saudaramu yang lain, lihat? Apa mereka kelihatan grogi?"
Mataku melihat satu persatu wajah mereka yang makan dengan lahap. Mereka terlihat tenang.

Lima belas menit berlalu, papa dan papi pergi meninggalkan ruang makan terbuka ini. Jaemin bangkit dan melemparkan rokok kepada Haechan.
"Ya, kalian ga bisa bayangin wajah polosnya Jeno, berharap banget dapet papa mama hahahaha sampe di simpen-simpen fotonya anjir hahahaha" Jaemin memecah kesunyian. Dia menunjuk ku dan menertawai ku. Kelihatannya Mark tidak bisa ikut tertawa bersama Jaemin. Dia hanya diam di sudut meja makan menunduk di balik jaketnya.
"Mark, masih marah sama aku?" Jaemin memukul meja ketika bertanya. Wajahnya berubah menjadi angkuh menatap Mark.
"Balikin motorku" Mark menghentak Jaemin.
"Sorry Mark, motornya udah dipake buat nganter kemaren."
"Nganter apaan?" Mulutku lancang begitu saja.
"Narkoboi" Jaemin menjawab dengan singkat dan menatapku sinis.
"Jadi papa dan papi adalah pengedar?" Meskipun aku tau jawabannya iya, aku tetap ingin memastikan.
"Enggak" Jaemin mencemooh ku ketika menjawab.
"Gak salah njir" Haechan menimpal dibalik asap rokoknya. Dia menambahkan,
"Kamu pikirlah kenapa kita tinggal di daerah terpencil gini? Selain bersembunyi dari kecurigaan?" Suaranya penuh dengan martabat. Dia seperti seorang boss yang siap membunuh. Walaupun tugasnya hanya di bagian belakang.

"Anak-anak! Ngapain masih pada ngumpul? Cepet beresin. Papa mau pergi malem ini sama papi." Papa Johnny memanggil kami dari pintu hitam itu, aku kelabakan, tidak punya tugas yang harus dilakukan. Anak-anak lain sudah tau tugas masing-masing mereka tidak membutuhkan perintah lagi.

Malam ini, malam pertama aku tidur bersama Jaemin.
"Hari ini cukup sibuk buatku, ntar malem papa papi pergi nganter pesenan, dan aku harus berjaga kalo misal mereka ketangkep." Jaemin mengeluh sambil merebahkan tubuhnya.
Aku menggaruk bibirku dalam kegelapan, cahaya bulan masuk menembus jendela kamar, membuatku bisa melihatnya sedikit jelas.
"Jaemin, pake bajumu" aku merasa tidak nyaman melihatnya tidak berbusana. Mungkin karena hawa panas di padang gersang ini membuatnya berani untuk memakai sempak saja.
"Ah santai lah, kamu ngapa si tegang banget Jen?"
"Jadi, sebenernya aku disini buat apa?" Melihat yang lain sibuk sementara aku buta arah, ada baiknya dia harus memberitahu ku.
"Cadangan, gantiin si anak sakitan itu" Jaemin menjawab sambil mengibaskan rambut hitamnya, menatap ke jendela.
Dia selalu siaga dengan handphone ditangannya, menunggu kabar dari papa papi.
"Di bawah lemari jati itu, ada lubang menuju bawah tanah Jen, kalo hidup kita dalam bahaya, kita harus masuk ke bawah situ. Dirumah ini cuman ada dua lubang. Satu dikamar kita, satu lagi di dapur tepat dibawah meja makan."
Tidak ada satu detik pun dirumah ini hidup terasa nyaman dan aman. Setiap detik semua penghuni harus siap menghadapi tantangan.
Kringgg kringggg
Hp Jaemin berbunyi.
"Halo pa, gimana?"
"Oh oke oke pa, aman?"
"Siap pa"
Jaemin langsung menutup telefon dan mengambil HT kemudian lari secepat kilat. Ada apa sebenarnya?

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mimpi Buruk NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang