Bab 1

4 0 0
                                    

Aku menoleh ke arah Mas Edi yang duduk di sampingku, rasanya tidak percaya mendengar kalimat yang baru saja dia ucapkan. Namun, melihat raut wajahnya tampak serius, dada ini berdebar tidak keruan, beberapa pertanyaan muncul dalam benak.

Apa aku tidak salah dengar? Apa dia serius mengucapkannya, bahkan di usia pernikahan kami yang baru satu bulan? Bukankah dulu, dia sampai
rela berkorban agar dapat menggelar pernikahan kami? Kupikir ....

Seketika, bayangan tentang masa-masa lalu berputar dalam ingatan. Cerita yang kadang membuatku ingin tertawa sendiri bila mengenangnya.

Awalnya, aku bahkan sempat merasa geli saat mengetahui dari Mita—adikku, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Ayu. Kabar yang beredar, pria itu juga menjadi rebutan banyak gadis di desaku. Ayu itu cantik dan masih sangat belia, bahkan dia disukai oleh banyak pemuda yang bukan hanya dari desa ini.

Aku belum lama pulang dari merantau di Jakarta kala itu. Ketika
pagi-pagi aku sedang membereskan kamar, tiba-tiba Mita berteriak
dari ruang tamu. “Mbak! Ke sini, Mbak!”

“Ck.” Aku berdecak. Mita orangnya memang heboh.

“Mbak! Ke sini, geh, Mbak. Cepet!” Dia berteriak lebih keras lagi.

Meski malas, akhirnya aku bergegas keluar kamar, lalu menghampiri Mita yang berada di dekat jendela, sedang mengintip keluar dengan posisi badan menungging.

Tangan kirinya langsung menarik lengan kananku agar lebih
mendekat kepadanya. Ternyata dia dapat merasakan kedatanganku
meski tidak menoleh.

“Itu, Mba, yang namanya Edi, pacarnya Ayu.” Mita menunjuk ke luar jendela.

Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mita. Dari balik kaca berbingkai kayu warna hijau muda berjajar tiga itu, aku melihat seorang laki-laki yang usianya aku perkirakan lebih dari 25 tahun.
Dia sedang mengendarai motor RX-King dan melintas di jalan depan
rumah.

“Ayu ... Ayu. Cantik-cantik, kok, mau, sih, sama orang kayak gitu? Padahal dia, kan, banyak yang suka. Kok, yang dipilih, ya, yang kayak gitu?” Tanpa sadar kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

“Tapi banyak yang suka sama dia tau, Mbak?” Mita bangun dari posisi yang menungging. Aku pun ikut berdiri tegak, lalu meninggalkannya untuk kembali ke kamar.

Dalam memoriku berputar cerita Mita kemarin tentang seorang laki-laki yang kabarnya memacari banyak gadis sekaligus. Anehnya, para gadis yang dia pacari berada di satu kampung yaitu kampungku ini. Entah jika ternyata di kampung lain banyak juga, tetapi Mita tidak tahu. Laki-laki itu orang kampung sebelah yang hanya terhalang satu desa dari sini.

Ayu, Upik, Nunik, Mbak Marni adalah beberapa nama yang disebut Mita sebagai gadis korban pesonanya. Namun, kata Mita, yang paling sering didatangi olehnya adalah Ayu, bahkan laki-laki yang katanya hitam manis itu sudah akrab dengan bapaknya Ayu. Dia sering terlihat membonceng Pak Sarno—bapaknya Ayu dengan RXKing hitamnya.

“Ck.” Aku hanya menggelang heran, tepatnya tidak begitu memedulikan cerita Mita saat itu. Aku memilih segera merebahkan diri, lalu menutup badan dengan jarit bekas Mbah Putri yang sudah mulai usang, mengistirahatkan badan dan pikiran agar besok bisa
bangun pagi dengan tubuh segar.

***
Aku duduk di teras, sesudah beres-beres rumah dan mencuci
baju. Aku ingin istirahat sebentar sambil menikmati semilir angin,
lalu akan menggantikan tugas Mita menjaga adik bungsu kami.

Jika sedang di rumah, tugas bersih-bersih dan mencuci baju semua anggota keluarga menjadi bagianku. Mamak memang tidak menyuruh
melakukan itu semua, tetapi aku tidak tega melihat beliau kelelahan
memasak sambil mengasuh adik bungsu yang suka rewel.

Jani dan Mita sudah bisa mengurus diri sendiri, tetapi Weni yang masih berusia dua tahun, selalu membuat Mamak kerepotan. Ada saja hal yang membuat anak itu rewel dan merengek minta ini itu.

Saat sedang santai sembari memandang ke arah jalan, aku
melihat laki-laki yang kata Mita bernama Edi itu, lewat menaiki
motornya dengan penampilan rapi seperti kemarin. Dia menoleh ke
arahku, lalu tersenyum. Aku bergeming sambil terus menatap hingga
punggungnya menghilang di balik pohon waru pinggir jalan. Ini
kejadian yang ketiga selama hampir sebulan aku berada di rumah.

Pertama, kala itu dia melihatku sedang mencabuti rumput yang
tumbuh di halaman dekat parit tepi jalan. Dia menoleh ke arahku, lalu
membunyikan klakson. Aku sempat menoleh ke arahnya, tetapi dia
sudah melewati tempatku berjongkok.

Keesokan harinya, aku mendapati dia di depan warung Mbah Mingun, mbahnya Ayu, yang terletak di sudut kiri seberang rumahku. Waktu itu dia sedang berbincang dengan bapaknya Ayu.

Saat aku melewatinya hendak masuk ke warung Mbah Mingun, dia melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku mengangguk menanggapi sapaan senyumnya yang kata Mbak Marni beberapa hari lalu, menghanyutkan. Bukan apa-apa, aku hanya menghargai sapaannya.

Apa kerjaannya hanya berdandan rapi terus main ke sana-sini? Atau kerjanya memang di sana? Entah kenapa aku bertanya-tanya sendiri sembari tanpa sadar menunjuk ke arah utara. Arah yang selalu dituju oleh Edi setiap pagi.

***
“Emang, Mbak udah kenal sama Mas Edi? Kapan kenalannya? Di mana? Kok, dia ke sini nyari Mbak?” Setengah berbisik, Mita memberondongku dengan pertanyaan setelah tiba-tiba masuk kamar.

Aku bangkit dari rebahan, lalu duduk di tepi kasur. Bukannya aku
kaget dengan kehebohan Mita, tetapi terkejut karena dia menyebut
nama Edi yang mencariku.

“Mas Edi? Nyariin aku?” tanyaku heran. Mita mengangguk sambil terus manatapku seolah menagih jawaban atas pertanyaannya
barusan.

“Enggak kenal.” Aku menggelang. Mita merangsek ke sampingku, seolah tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.

“Tapi, dia nyari Mbak.” Dahi Mita berkerut saat menatapku
lekat.

“Dari mana dia tau kalo ini rumahku? Terus, mau ngapain? Kenal juga enggak.” Aku berusaha menepis pikiran bahwa saat itu dia sengaja mengamatiku, lalu sekarang berusaha mendekatiku juga seperti yang dia lakukan kepada para gadis cantik di desa ini.

Mita beringsut mengubah posisi duduknya. Remaja yang badannya hampir sama besar denganku meski masih duduk di bangku kelas dua SMP itu, kini menghadap ke arahku. “Ck, Mbak ini kayak enggak tau Mas Edi aja. Siapa, sih, yang enggak kenal sama dia? Dan siapa, sih, gadis di desa kita yang enggak dia kenal? Dia bisa
langsung kenal sama siapa aja yang dia mau.”

Aku bergeming mendengar celotehan Mita. Emang siapa, sih, dia? Sebegitu tenarnyakah? Dengan tampangnya yang ... tiba-tiba hatiku tergerak ingin menemuinya.

Aku bangkit menuju cermin yang menempel pada pintu lemari
pakaian untuk merapikan rambut ikalku yang berwarna cokelat, lalu
hendak keluar kamar. Namun, Mita menyambar lengan kiriku hingga
langkahku terhenti seketika dan aku meringis kesakitan. “Aduh!
Apaan, sih, Mit?”

“Mbak Rani mau ke mana? Nemuin Mas Edi? Tadi, katanya enggak kenal. Kok, mau nemuin? Mau jadi yang keberapa?” Nada suara Mita terdengar bukan hanya seperti protes, tetapi sindiran sekaligus cibiran yang lengkap dengan kedua sudut bibir ditarik ke
bawah.

“Katamu, dia nyariin aku. Nanti kalo aku enggak nemuin, dikira
sombong. Katamu dia bisa kenal siapa pun dan kapan pun dia mau.”
Mita menyengir, lalu tangannya melepaskan lenganku yang sejak tadi
dia cengkeram.“Ya, udah, kamu ke dapur, sana! Bikin minum untuk
Mas Edi, ya.”

Aku sengaja menekan suara saat menyebut nama laki-laki itu.
Nama yang akhir-akhir ini menjadi akrab di telingaku karena sering
dibicarakan tidak hanya oleh Mbak Marni yang terkenal cantik dan
pintar itu, tetapi juga Upik, anak Pak Kiayi Syafar, dan tentunya oleh
Ayu juga.

Mita memoncongkan bibirnya yang lebar sebagai tanda protes atas perintahku. Meskipun, setelah itu dia beranjak ke dapur.

Aku berjalan hendak ke ruang tamu, tetapi menyempatkan diri
mengintip kekamar Mamak yang berada tepat di samping kanan
kamarku dan Mita. Kamar kami berhadapan dengan ruang tengah
tempat menonton televisi. Aku melihat Mamak melalui celah tirai
yang kusingkap. Beliau tampak berbaring dengan posisi miring
menghadap ke arah Weni.

Biasanya, meski waktu masih menunjukkan jam tujuh malam,
Mamak sering tertidur saat menyusui Weni. Nanti sekitar jam sebelas
malam, beliau bangun lagi untuk salat Isya. Jika terlalu lelah, biasanya
Mamak akan terbangun jam tiga dini hari dan jarang tidur lagi sampai
pagi.

Aku menutup pelan pintu kayu berwarna hijau muda yang mulai
memudar itu, lalu melangkah menuju ruang tamu untuk menemui
laki-laki yang katanya sedang tenar itu.

Titik Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang