Mas Edi menyambutku dengan senyuman dan tatapan lekat hingga aku merasa kikuk. Semenjak memasuki ruang tamu sampai duduk, dia terus saja menatapku sembari tersenyum. Selama beberapa detik, kamihanya diam. Sementara senyum di bibirnya
terus mengembang, membuat jantungku lama-lama berdetak tidak
beraturan.
Mita datang dengan menyuguhkan teh, lalu melirik ke arahku sembari menaikkan kedua alisnya. Aku bahkan tidak sempat menanggapi ulahnya karena sibuk dengan perasaanku sendiri yang tiba-tiba berubah entah bagaimana.
Malam itu,aku dan Mas Edi mengobrol biasa layaknya anak muda yang baru kenal. Dia menanyakan tentang keberadaanku selama ini. Aku pun memberikan jawaban.“Aku kerja di Jakarta.”
“Pantas,” katanya masih dengan senyum yang mengembang di bibir tipisnya. Anehnya, entah sejak kapan aku begitu menikmati senyuman itu, rasanya seperti terbius.
Katanya, dia dulu sering melihatku waktu masih sekolah. Dia juga sering mendengar namaku disebut oleh anak-anak di desanya yang masih sekolah.Beberapa teman waktu sekolah memang berasal dari desanya
dan aku termasuk salah satu primadona di sekolah. Kulitku putih dan rambutku yang ikal kecokelatan menjadi ciri khas yang tidak dimiliki
oleh teman-teman perempuan. Tinggi badanku juga lumayan, sangat
ideal dengan berat badan yang hampir tidak pernah gemuk meski aku
tidak diet. Tidak jarang mereka melirik dengan tatapan iri.
Tidak sedikit teman laki-laki yang menyatakan cinta kepadaku. Aku juga sempat menjalin hubungan beberapa kali dengan teman laki-laki pilihanku. Namun, hubungan tersebut telah kandas di tengah jalan, tidak ada yang bertahan sampai sekarang. Terakhir, aku menjalin hubungan dengan teman sekolah, tetapi juga berakhir begitu
saja sesaat setelah kami lulus.
Aku sempat terhanyut oleh cerita Mas Edi yang mengandung banyak pujian. Meskipun, pujian tentang fisik tidak lagi terasa asing bagiku, tetapi entah kenapa saat dia memuji sambil tersenyum, rasanya aku tidak mampu untuk tidak tersipu, bahkan pipi juga terasa memanas. Jika saat itu aku becermin, mungkin wajahku sudah seperti udang rebus.
Saat kami sedang asyik berbincang, Bapak memasuki rumah melalui pintu depan. Beliau yang baru pulang dari bekerja, kemudian ikut mengobrol sebentar dengan kami.Bapakku ternyata sudah kenal dengan Mas Edi. Profesi Bapak yang seorang sopir, memang memungkinkan untuk kenal dengan banyak orang. Jadi, aku tidak merasa heran saat melihat Mas Edi menyapa Bapak dengan gaya yang seolah-olah sudah akrab, dan ternyata mereka memang sudah saling kenal.
“Ya udah, dilanjut ngobrolnya.” Bapak pamit hendak membersihkan diri.
Dari perbincangan kami, ternyata usia Mas Edi sembilan tahun lebih tua dariku. Pantas, laki-laki itu tidak hanya terlihat dewasa, tetapi juga pandai merayu. Mungkin karena gombalan Mas Edi itu, jadi banyak gadis yang mengidolakannya. Dia juga mengungkapkan kekagumannya terhadapku dan mengatakan bahwa perempuan sepertiku jarang ditemui.
Aku yang merupakan anak pertama, jarang sekali merasa dimanja
dengan kata-kata seperti yang Mas Edi ucapkan. Selama ini, yang aku
tahu hanya harus bisa memberikan contoh baik kepada adik-adikku.
Sementara itu, Bapakku tidak banyak bicara seperti Mas Edi.
Sejak malam itu, Mas Edi semakin sering datang ke rumah, seminggu bisa tiga sampai empat kali, seakan-akan akulah yang menjadi nomor satu baginya. Sementara Ayu, Upik, Nunik, dan Mbak Marni yang biasanya sering terlihat dibonceng Mas Edi secara
bergantian, tidak dipedulikan lagi oleh laki-laki itu. Dia juga tidak
lagi sering duduk sambil minum kopi bersama bapaknya Ayu.
Suatu hari, aku pernah bertanya tentang para gadis yang biasa
Mas Edi kunjungi secara bergantian. Dia hanya menjawab, “Aku enggak ada hubungan apa-apa sama mereka. Mereka aja yang terlalu berharap padaku.”
Aku sempat kaget. Benarkah? Namun, kata Mas Edi, selama ini dia hanya berkunjung biasa. Mas Edi juga bilang bahwa dia tidak pernah menyatakan cinta kepada siapapun di antara mereka.
Aku hampir tidak percaya, tetapi juga senang. Artinya, mungkin aku memang istimewa baginya. Terbukti hanya aku yang dia datangi hampir setiap malam kala itu. Aku sering menyaksikan raut wajah Upik, Nunik, dan Mbak Marni yang cemberut setiap kali bertemu di
masjid saat salat Magrib.
Sementara Ayu dan keluarganya justru bersikap biasa saja. Mungkin karena Ayu banyak yang suka, jadi tidak masalah baginya meski Mas Edi tidak lagi berkunjung ke rumahnya.
Hanya dalam waktu beberapa bulan, hubunganku dengan MasEdi semakin dekat saja. Dia bahkan sering mengajakku makan bakso di warung Mbak Suci, satu-satunya warung bakso di desaku saat itu. Letaknya di ujung desaku arah menuju ke desanya.
Mbak Suci sering memuji kami dengan mengatakan bahwa kami pasangan serasi. Aku cantik dan Mas Edi gagah, idola para gadis. Aku hanya tersenyum menanggapi pujian Mbak Suci yang tidak pernah absen jika kami makan bakso di warungnya.
Setiap pulang dari makan bakso, sambil memboncengku dengan motor RX King-nya, Mas Edi banyak bicara tentang kami, tepatnya masa depan kami. Dia sangat pandai membuatku melayang dengan kalimat-kalimat yang penuh impian dan harapan indah.
Suatu malam, Mas Edi datang dengan wajah semringah dan senyum sangat manis. Dia juga menanyakan tentang keberadaan Bapak dan Mamak. Aku bilang, Mamak mungkin sudah tidur,
sedangkan Bapak belum pulang kerja.“Mungkin lusa Bapak baru
pulang karena pagi tadi baru saja berangkat membawa muatan kelapa
ke daerah di Pulau Jawa.” Aku memberikan penjelasan.
Desaku berada di Kabupaten Pesawaran, salah satu kabupaten
di Provinsi Lampung. Di sini banyak petani yang menanam kelapa
dan hasilnya Alhamdulillah melimpah. Biasanya petani menjual hasil
panen kepada para tengkulak, lalu tengkulang menjual kepada bos
mereka yang kemudian dikirim menyeberang ke Pulau Jawa.
Kalau membawa muatan ke seberang, Bapak bisa tiga sampai empat hari tidak pulang. Biasanya setelah bongkar muatan, Bapak akan mencari muatan balik dari sana yang akan dibawa ke Sumatra.
“Lumayan, buat tambahan uang jalan.” Begitu kata Bapak.Dengan wajah serius sambil terus menatapku, Mas Edi mengatakan ingin menikahiku. Aku terkejut sekaligus senang, tetapi ada yang mengganjal dalam pikiran. Aku tidak pernah tahu dia kerja apa, yang aku tahu selama ini dia hanya naik motor ke sana-sini.
Kegiatan Mas Edi yang lain, berkunjung ke rumahku atau kadang mengantar siapa saja yang memintanya ke suatu tempat. Entah dia sengaja mengojek atau gratisan, aku juga tidak tahu. Satahu aku, dia hanya tidak lagi membonceng gadis selain aku.
“Mas, kan, enggak kerja. Gimana mau ngelamar aku? Emang, Mas punya uang?” Aku akhirnya melontarkan pertanyaan yang mengganjal di benakku.
“Aku, kan, punya motor. Aku bisa jual motorku buat ngelamar kamu.” Jawabannya yang mantap membuatku kaget sekaligus tersentuh. Dia bahkan rela menjual motornya demi melamar aku.
Waktu kutanya apa dia tidak akan menyesal karena benda itu satu-satunya motor kesayangannya, jawaban yang diberikan selalu
membuatku seakan-akan melambung ke angkasa. “Motor bisa dicari lagi, tapi kamu? Aku bisa dapat di mana lagi? Kapan lagi kalo enggak sekarang? Buat kamu, apa sih, yang enggak?”
Aku kembali merasa naik ke awang-awang mendengar ucapannya, belum lagi, melihat dia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum sangat manis. Suara jantungku seperti bunyi beduk bertalu-talu.
Benar saja, dia menjual motornya untuk melamarku. Kami pun melaksanakan ijab kabul pada tanggal 27 Desember 1999. Kemudian, mengadakan resepsi pernikahan di rumahku dengan pesta yang cukup meriah, tepat pada tanggal 7 Januari 2000.Para gadis yang mengidolakan Mas Edi jadi semakin sinis setiap kali bertemu
denganku, kecuali Ayu. Waktu itu, Ayu sudah menikah terlebih dahulu dengan Toni, laki-laki dari desa tetangga.
Mita berkali-kali mentertawakan aku. “Hmmm, ngatain Ayu, nggak taunya diri sendiri mau.”
“Eh, Mbak. Mungkin pas Mbak bilang Ayu cantik-cantik, kok, mau sama Mas Edi, waktu itu ada malaikat yang lewat kali, Mbak. Terus mengaminkan kata-kata itu buat Mbak. Makanya, sekarang kenyataan malah balik ke Mbak sendiri,” ucapnya saat itu. Aku hanya tertawa menanggapinya.
Setelah menikah, kami masih tinggal di rumah bapakku. Pekerjaan Bapak kebetulan masih ramai, banyak muatan, dan selalu mendapat muatan balik, cukup untuk makan kami bertujuh.
Bapak dan Mamak juga tidak protes soal Mas Edi yang tidak punya
pekerjaan tetap. Toh, sesekali kami berkunjung ke rumah bapaknya
dan saat kembali ke rumahku, bapak Mas Edi selalu membawakan
satu karung beras isi 25 kg untuk kami.
Bapak Mas Edi mempunyai pabrik penggilingan padi di belakang
samping rumahnya. Hasil dari pembagian jasa giling padi yang ramai terutama saat musim panen, selalu sisa karena hanya untuk makan
beliau dan Dewi, adik bungsu Mas Edi. Sementara ibu Mas Edi sudah
meninggal sekitar lima tahun yang lalu.
Satu bulan setelah menikah, aku masih menikmati masa-masa indah dan kemenangan sebagai perempuan yang akhirnya bisa memiliki Mas Edi seutuhnya. Laki-laki yang memang memesona dengan senyum dan penampilannya yang selalu bersih. Mas Edi juga rajin salat dan mengaji. Setiap selesai salat Magrib, dia selalu
membaca Al-’Quran di kamar.
Siapa yang tidak akan bahagia jika menjadi aku? Orang tuaku
pun ikut bahagia menyaksikan anak perempuan pertamanya bahagia.
Sampai pada malam ini, saat kami duduk di tepi kasur dan bersiap untuk tidur, Mas Edi mengucapkan sebuah kalimat yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Dek, kamu kerja ke luar negeri aja, sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tak Terlihat
RomanceRani menikah dengan seseorang yang dicintai banyak gadis. Namun, setelah pernikahan, sifat asli lelaki yang telah berstatus sebagai suaminya itu pun terkuak. Sang suami mampu menyakiti fisik dan batin Rani, bahkan memintanya bekerja ke luar negeri s...