Bab 4

0 0 0
                                    

Sebenarnya aku takut kalau Mas Edi marah jika dia datang menjemput, tetapi tidak menemukan aku di sana. Padahal, sudah lebih dari satu jam aku menunggunya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku menerima tawaran bapaknya Ayu untuk pulang bersama.

Sesampainya depan rumah, aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Paklik Sarno atas tumpangannya. Paklik Sarno hanya terkekeh sambil berujar, “Kayak sama siapa aja lo, Rin.” Kemudian, dia memutar balik motornya setelah pamit.

Aku bergegas masuk ke rumah sambil menenteng dua kantong plastik besar berwarna merah. Mita yang sedang menyetrika baju di depan TV, menoleh ke arahku. 

“Mana, jajannya, Mbak?”

“Kayak anak kecil aja, minta jajan. Diajakin, enggak mau.” Aku melewatinya, lalu menuju dapur.

“Lo, aku udah gede, to?” Suara Mita masih terdengar diiringi tawanya yang sengaja dibuat keras.

“Dasar! Anak kecil.” Aku menyahut meski mungkin dia tidak mendengarnya karena suara TV yang lumayan keras.

Dua kantong plastik berisi aneka bumbu dapur dan sayuran serta beberapa bungkus jajanan pasar, aku letakkan di meja dapur samping kompor, lalu bergegas ke kamar. 

Suara Mita yang kembali menanyakan jajan, tidak aku hiraukan. Bukannya marah, dia malah terkekeh. Mungkin merasa senang karena berhasil meledekku.

“Mas Edi, mana?” Aku segera keluar kamar setelah mendapati suamiku tidak ada di sana, lalu menghampiri Mita.

“Ha?” Mita melongo sembari mengangkat dagu.

“Mas Edi, mana?” Aku mengeraskan suara untuk pertanyaan yang sama.

“Emang, yang punya suami, siapa?” Mita malah balik bertanya tanpa melihat ke arahku. 

Dia sibuk melipat baju yang sudah selesai 
di setrika. Kemudian, dia malah kembali bertanya, “Eh, emang, tadi Mbak, pulang ama siapa?” Mita menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh ke arahku.

“Sama Paklik Sarno!” jawabku ketus. Mita malah tertawa seakan-akan aku mengatakan hal yang lucu.

“Baru sekali ini ke pasar enggak tak kawal, Eh, baru sebulan nikah, udah ditinggal di pasar.” Mita kembali tertawa geli sembari memegang perutnya.

“Heh! Kamu ini! Seneng, ya, lihat mbakmu ini susah?” Mita langsung terdiam mendengar bentakanku. Sepertinya dia baru sadar 
kalau aku benar-benar sedang serius.

Aku kembali ke dapur untuk minum, padahal rasa haus sudah dari tadi mencekik tenggorokan, tetapi sampai kulupakan karena sibuk mencari Mas Edi. Setelah menghabiskan dua gelas air, aku bergegas ke gudang 
yang ada di belakang rumah. Aku baru ingat untuk melihat motor Jani, barangkali sudah ada di sana. Namun, ternyata tidak ada juga. 
Artinya, Mas Edi memang belum pulang, lalu kemana, dia?

Akhirnya, aku memilih menyusun bumbu dapur, sayuran, dan jajan pasar yang tadi kubeli supaya nanti pas Mamak pulang, semua sudah rapi. Kata Mita, Mamak sedang ke rumah Bude Jum, kakaknya. Mungkin sekalian mengunjungi Mbah Putri yang tinggal di samping kakaknya tersebut.

Sampai pukul 14.00 WIB, belum terlihat tanda-tanda Mas Edi pulang. Mita berusaha menghiburku dengan mengatakan mungkin 
ada keperluan mendadak. Aku mengangguk, tapi batinku bertanya. Keperluan apa? Dia 
bahkan tidak bekerja setelah kami menikah, hanya sesekali saja ke rumah bapaknya. Apa mungkin, dia, ke rumah bapaknya? Aku baru 
ingat hingga pikiran itu baru muncul sekarang.

Kalau benar ke rumah bapaknya, kenapa tadi dia tidak bilang kepadaku? Apa dia benar-benar marah hingga meninggalkan aku 
di pasar? Ah, mungkin memang ada keperluan mendadak di rumah bapaknya. Aku berusaha menenangkan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Titik Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang