Tidak hanya detak jantungku yang bertambah kencang, kepala rasanya seperti dihantam benda keras hingga sejenak dunia seakan
berputar. Tubuhku bagai terjatuh ke dalam titik hitam yang dingin dan asing.Kami diam beberapa saat. Kemudian aku menatapnya lekat, meminta penjelasan tentang kalimat yang baru saja dia ucapkan. Aku berharap bahwa dia hanya bercanda, tetapi dia malah membalasnya dengan tatapan tajam yang belum pernah aku lihat selama ini.
“Maksud Mas, apa?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya meski sembari memalingkan wajah.
“Ck. Kalo kamu di rumah aja, kita bakal kayak gini terus, enggak akan ada perubahan.” Kalimat itu sungguh membuat aku bingung.
Sejak masih SMP, aku memang sudah terbiasa kerja bantu-bantu di rumah tetangga. Meski Bapak melarang, tetapi aku tidak betah kalau hanya berdiam diri di rumah. Lumayan juga bisa punya uang jajan sendiri, begitu pikirku.
Setelah lulus SMA, aku juga langsung merantau ke Jakarta, tetapi semua atas kemauan sendiri. Jika Bapak dan Mamak saja tidak pernah menyuruhku pergi untuk bekerja, apa mungkin, dia yang jadi suamiku, justru melakukan hal itu? Dia kan, yang seharusnya bekerja untuk mencukupi kebutuhanku? Banyak tanya yang tidak berani aku utarakan kepadanya. Entah karena apa.
Aku bangun, lalu meninggalkan Mas Edi tanpa bicara. Tiba-tiba pipiku terasa hangat oleh air yang jatuh dari pelupuk mata. Setelah keluar kamar, aku melangkah cepat menuju dapur.
“Mbak ....” Suara Mita mengagetkanku hingga tergagap. Aku segera mengusap pipi yang rasanya masih basah.
“Mit, kamu belum tidur?” Aku berusaha bersikap biasa, meski bisa kudengar suaraku sedikit bergetar.
“Belum, Mbak. Biasa ....” Aku mengerti maksud Mita. Dia memang suka sekali menonton sinetron ikan terbang, seperti tidak
pernah bosan meski episode mencapai ratusan.Aku segera berlalu sembari kembali mengusap wajah dengan dua tangan. Sempat kulihat Mita masih mengamatiku sampai aku
berdiri di pintu dapur sembari menoleh ke arahnya. Kemudian, dia buru-buru mengalihkan pandangan ke televisi.Aku duduk di kursi kayu yang biasa untuk makan. Kutuang segelas air putih dari teko berwarna biru muda yang ada di meja
makan, kemudian menenggaknya hingga tandas.Kalimat Mas Edi masih terngiang di telingaku. Tadi aku hampir saja memastikan dengan bertanya lagi kepadanya, apakah dia serius
mengatakan hal itu. Namun, aku tahu sifatnya yang tidak suka dibantah dan sekali bilang begitu, maka dia tidak akan mengubahnya.
Apa lagi, tadi, wajah Mas Edi sangat serius. Sorot matanya yang tajam juga membuatku takut dan tidak berani membalas tatapannya.Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak, hampir setiap jam terbangun, lalu menatap wajah Mas Edi yang tertidur pulas di sampingku. Benarkah apa yang tadi dia ucapkan? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul dalam benak meski kemudian aku meyakini kebenarannya. Lelaki berhidung mancung, alis tebal, bibir tipis, dan
pemilik senyum paling manis itu, ternyata memiliki sisi yang tidak terduga.Apa Mas Edi ingin aku pergi supaya dia bisa mendekati para gadis lagi dan bersenang-senang membonceng mereka secara bergantian? Mungkinkah dia memilki wanita lain? Tetapi kenapa dia rela menjual motornya untuk menikahiku. Itu artinya, dia benar-benar mencintaiku dan rela berkorban agar dapat memiliki aku, iya, kan?
Jam dinding di kamar menunjuk angka dua dini hari, tetapi aku masih saja terjaga. Aku menghela napas sedalam mungkin, lalu
memilih bangun, kemudian beranjak ke belakang mengambil wudu.Aku menghamparkan sajadah yang merupakan mas kawin dari Mas Edi, juga mengenakan mukena yang merupakan satu set dengan sajadah itu. Aku menunaikan salat dua rakaat di samping dipan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tak Terlihat
RomanceRani menikah dengan seseorang yang dicintai banyak gadis. Namun, setelah pernikahan, sifat asli lelaki yang telah berstatus sebagai suaminya itu pun terkuak. Sang suami mampu menyakiti fisik dan batin Rani, bahkan memintanya bekerja ke luar negeri s...