01

30 10 34
                                    

Jemari lentiknya begitu lihai menggambar sketsa gaun di atas kertas. Ditemani oleh suara rintikan hujan yang turun cukup deras membasahi tanah beserta dedaunan. Sesekali Ayuni pun melihat keluar jendela untuk mencari inspirasi, ataupun hanya sekadar menatap butiran air yang turun dari genting.

Pensil 2B yang ada ditangan, Ayuni ketuk-ketukkan di dagu, mencari ide desain apalagi yang akan ia aplikasikan di gaun itu nantinya.

"Ini bagus nya dikasih renda, bordir, atau payet, ya?" tanya Ayuni pada diri sendiri, sembari melihat bagian dada dari gambar gaun tersebut dengan serius.

"Renda bunga, terus dikasih payet kayaknya bagus." Finalnya setelah beberapa menit beradu dengan pikirannya sendiri.

Setelah yakin, Ayuni pun kembali mengayunkan jemarinya di atas kertas, untuk menggambar beberapa bunga. Setelah dirasa cukup, Ayuni pun berganti mengambil pensil warna untuk memberi sentuhan akhir dari sketsa gaun nya.

"Gambar terus. Jahit terus. Bikin kaya nggak, bikin makin miskin iya!" sindir Astri-Ibunya Ayuni setelah menutup pintu, pulang dari menagih uang kos bulanan.

Payung basah yang sudah ia lipat, di masukkan ke kotak tempat payung, agar airnya tidak kemana-mana.

Senyum kecil muncul dari bibir Ayuni, ia sudah biasa mendapat omelan yang mengarah ke nyindir seperti ini.

"Kan semua itu butuh proses, Bu. Kalau kita sabar dan berusaha, pasti suatu saat nanti akan membuahkan hasil," ucap Ayuni yakin, masih menatap sang Ibu dengan begitu tulus.

Namun, Astri malah sebaliknya, sorotan matanya sama sekali tidak menunjukkan ketulusan, ataupun kasih sayang. Yang terlihat hanyalah sebuah kebencian.

Kebencian yang teramat dalam.

Astri mendecih sembari tersenyum remeh. Sementara Ayuni masih setia dengan senyum manisnya.

"Halah, dari dulu bilang begitu terus, nyatanya? Yang ada malah bikin hidup kita makin susah, gara-gara ngebiayain sekolah kamu yang nggak ada hasilnya ini!" seru si Ibu penuh dengan penyesalan.

Menyesal, karena ia sudah mengikuti kemauan Ayuni untuk bersekolah di jurusan tata busana, yang katanya pasti sudah jelas ada hasilnya. Namun sekarang? Yang ada Ayuni hanya menganggur dirumah sudah hampir satu tahun lamanya.

Tahu gitu, Astri mending menguliahkan Diana anak pertama nya, yang sudah pasti bakalan sukses. Daripada menyekolahkan Ayuni yang tak ada hasilnya ini.

Astri pun pergi ke kamarnya meninggalkan Ayuni yang kini menghela napas panjang. Ayuni tahu kok kalau dirinya hanya membuang-buang uang, tapi kan itu semua untuk bersekolah. Mengenai berhasil atau tidaknya kan nanti, tinggal usaha yang dilakukan seberapa besar. Dan dia yakin, kalau usaha tidak akan pernah menghianati hasil.

Ayuni mengusap sudut matanya yang sedikit berair. Tak masalah kalau dirinya dibilang cengeng, perkataan yang selalu saja dilontarkan sang Ibu, benar-benar sangat menyakiti hatinya.

Setiap hari yang selalu berputar di pikiran Ayuni adalah. Perbuatan kejam apa yang dirinya lakukan waktu kecil, hingga dibenci oleh Ibu sendiri sampai seperti ini?

Sungguh, Ayuni belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang, ataupun sekadar dukungan kecil dari orang tua, terutama Ibu.

Ayah?

Ayah Ayuni sudah meninggalkan dirinya sejak ia umur 10 tahun, karena menjadi salah satu korban dari sebuah kecelakaan beruntun yang terjadi di jalan raya.

Tak ingin lama-lama merasakan sesak di dada. Ayuni kembali fokus untuk memberi warna di sketsa gaun nya. Dan benar saja, setelah beberapa menit dirinya berkutat dengan gambar. Suasana hati kembali membaik.

OVERSIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang