Gedung bertingkat dengan jumlah lantai tidak lebih dari lima itu begitu hening. Hanya tinggal beberapa lampu saja yang menyala. Termasuk salah satu ruangan yang dikhususkan memang hanya untuk melakukan rapat.
Ruangan yang semula cukup ramai karena saling melempar tanggapan, beberapa menit ini sunyi. Zayden–laki-laki yang memimpin rapat malam ini menatap arloji silver di lengan kirinya, menghela napas, lantas menarik kursi untuk ia duduki.
“Untuk meeting kita malam ini, mengenai project kerja sama dengan perusahaan mode milik Pak Fahar, cukup sampai disini. Kita lanjutkan besok. Terima kasih,” ucap Zayden tegas seraya merapikan berkas-berkas, ia melirik seorang lelaki paruh baya yang kini tengah tersenyum bangga kepadanya.
Sementara rekan kerja yang dipercayakan untuk ikut andil dalam project ini pun perlahan mulai meninggalkan ruangan. Menyisakan pemimpin mereka, bersama dua orang laki-laki muda berumur dua puluh dua tahun yang tak lain adalah sang putra.
“Kerja bagus Zayden, kamu sepertinya memang sudah pantas menggantikan Papa untuk memimpin perusahaan,” ucap Dafar–Papa dari Zayden, sembari menepuk-nepuk pelan punggung lebar milik putranya. Ia tak menyangka, putra pewaris hartanya nanti, kini sudah sebesar ini, rasa-rasanya baru kemarin tubuh Zayden muat di telapak tangannya.
“Aku nggak mau gegabah gara-gara pengen dipanggil CEO muda, Pa. Aku masih perlu banyak belajar,” tolak Zayden dengan tatapan serius. Baginya memimpin perusahaan itu tidak segampang yang dilihat, banyak sekali pekerjaan ini itu yang harus dikerjakan sekaligus diurus. Lengah sedikit bisa-bisa data penting perusahaan bisa bocor.
Jadi laki-laki berperawakan tinggi itu memilih untuk membantu Dafar sebisanya dahulu, dengan pengawasan dari Dafar langsung, ataupun dari orang kepercayaan.
Bukan karena Dafar tidak percaya. Justru ia sangat mempercayai putra semata wayangnya itu. Namun, Zayden sendiri yang ingin mendalami pekerjaannya dahulu sebelum benar-benar menggantikan posisi sang Papa sebagai seorang CEO.
Sementara laki-laki sebaya yang ada di depan samping kanannya mengangguk setuju. Ia lalu menatap sang papa dengan wajah masam. “Nah, bener apa kata Zayden, Pa. Makanya jangan maksa aku buat ngurusin perusahaan nya Papa dulu.”
Ponsel yang sejak tadi dilihat Fahar, kini ia matikan lalu dimasukkan kedalam jas. Setelahnya ia menatap Candra–sang putra, dengan tangan dilipat di atas meja.
“Ya ya, terserah kamu, Can. Yang penting project kali ini kamu sama Zayden yang ngehandle. Bukan begitu, Daf?” tanya Fahar kepada Dafar, rekan sekaligus temannya dengan wajah sumringah.
“Ya, benar. Kali ini tidak ada penolakan. Papa, dan Om Fahar, percaya kamu sama Candra bisa mengurus ini,” ucap Dafar penuh keseriusan.
Zayden menghela napas panjang, masih dengan pandangan menatap sang Papa. “Tapi, Pa––,”
“Nggak ada tapi-tapi, Papa percaya kamu bisa. Nanti kalau perlu Papa bantuin cari perancang busana lewat Mama, siapa tau di konveksi ada karyawan yang cukup mahir dibidang itu,” jelas Dafar.
Kalau sudah seperti ini Zayden tidak bisa berbuat apa-apa. Untungnya yang jadi partner kerjanya itu Candra, kalau bukan? Tidak tahu akan berjalan seperti apa, karena ini adalah project pertama yang ia tangani. Jadi, semoga saja tidak gagal.
⋇⋆✦⋆⋇
Mentari menyapa begitu hangat pagi ini. Berbeda sekali dengan kemarin yang hujan terus-terusan.
Gadis berambut hitam panjang itu membuka jendela, lalu menghela napas dalam sembari menutup mata sejenak, untuk menikmati udara di pagi hari.
Mengesampingkan aroma bumbu dapur yang menyeruak masuk ke hidung.

KAMU SEDANG MEMBACA
OVERSIZE
Fiction généraleDiibaratkan sebuah ukuran. Mungkin perjalanan Ayuni untuk meraih mimpi di depan mata bisa dibilang seperti sebuah angka. Dekat, namun sulit digapai. Belum lagi dirinya juga dihadapkan oleh kisah hidup, dan perjalanan cinta yang sama sekali tidak per...