Chapter 3

4.8K 678 136
                                    

Keringat dingin bergulir deras di punggungnya.

Cale merogoh saku mantelnya, berharap menemukan mata uang korea disana.

Anehnya, sensasi itu sama seperti menangkap udara, kosong.

Ketika bibir pucatnya hendak mengatakan sesuatu, ujung jarinya menangkap benda keras yang dingin.

Fyuhh...

Hampir saja ia menjadi gelandangan miskin, pikirnya.

Senyum merekah dari bibir Cale, membuat para pelanggan dan pemilik tersipu malu melihatnya.

Saat tangannya keluar dari saku mantelnya sambil membawa benda keras yang dingin, pemilik restoran mau tak mau mempertanyakan penglihatannya.

Hal yang sama berlaku bagi para pelanggan sekitar.

'Seperti yang dirumorkan, dia adalah seorang Tuan muda keluarga kaya!'

Benda keras dan dingin tertampil cantik di atas meja, itu emas batangan. Tak perlu dipertanyakan keasliannya lagi karena kilau yang dipancarkan menyatakan dengan jelas jika itu asli.

Ketika orang-orang mulai mengambil gambar sambil berwajah bodoh, orang yang dengan santainya mengeluarkan emas itu memasang ekspresi wajah bermasalah.

"Maaf, saya tidak punya uang tunai. Apa bisa dibayar dengan ini?"

***

Akhirnya ia keluar dari restoran tanpa membayar sambil memegang beberapa kotak makanan di tangannya.

Mengingat ekspresi tertekan pemilik tadi, Cale mulai khawatir bagaimana cara ia bisa menghasilkan uang.

Tapi pertama-tama, ia kembali mengalami krisis sebelum khawatir masalah uang.

Aku nggak punya tempat tinggal( ̄ー ̄;)

Oh benar, sebelum mencari makan, bukannya ia sedang dalam perjalanan mencari apartemen tempatnya tinggal sewaktu korea belum diserang monster?

Haha, ia mengingat lagi rencana awalnya. Apapun itu, mau pindah dunia lagi kek, masuk dunia novel kek, yang penting punya tempat tinggal dan tidur dulu. Masalah nanti, pikirin aja nanti.

Sungguh, jika kita punya waktu nanti, kenapa harus repot sekarang? Cale tidak paham cara berfikir anak jaman sekarang.

Cale sangat ngantuk sekarang.

Melihat langit berwarna gelap, rasa ngantuknya meningkat dua kali lipat.

Lenggok kiri, lenggok kanan...

Siip, nggak ada orang.

Cale mengaktifkan kekuatan kuno anginnya untuk terbang. Mungkin karena selalu dikerubungi orang-orang kuat yang sakit jiwa, ia menjadi terbiasa dengan pola pikir para pembunuh.

Berjalan di atas atap di malam hari menjadi satu-dua hal yang menyenangkan untuknya. Setidaknya ini lebih cepat dari pada harus berjalan lambat sampai ke apartemen.

Langkahnya ringan, seringan pikirannya untuk segera tidur saat ia sampai.

La-la-la~

Melompati atap, pohon, gedung, hingga tiang listrik, Cale melihat gedung besar bertingkat di kejauhan. Sinar menyilaukan muncul di matanya. Segera, langkahnya terhenti di depan pintu salah satu kamar apartemen.

No. 123

Nomor yang terukir jelas di ingatannya.

Rasa haru serta perasaan nostalgia bercampur aduk. Meski tak sebagus kemewahan Henituse, tempat itu memiliki banyak makna untuknya.

Why is it so hard to make my dream come true?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang