Pura Dalem, Kerajaan Klungkung
1905
Jeongguk
Sekotak keben diletakkan Jeongguk di atas rak. Wangi semerbak kembang dan dupa yang baru dibakar, menguar dan mendayu di atas penciuman. Jeongguk sempatkan untuk sembahyang sebentar. Tidak perlu lama-lama, cukup beberapa menit namun khidmat. Ia resapi setiap hawa damai yang merangsek masuk ke sukma tubuh. Setelah selesai, ia mendongak dan membenahi posisi udeng di atas kepala. Tidak untuk dilepas, cuma sekadar dirapikan saja. Beberapa hari berlalu seolah Tuhan sudah menyiapkan rentetan kejadian untuk membuatnya sakit kepala. Memporak-porandakan kendali diri yang bahkan ia saja baru mulai benahi. Memulai kembali mirip seperti orang membangun rumah roboh akibat gempa atau tsunami.
"Jeongguk," panggil salah satu kakaknya. Setelan warna putih dari atas kepala sampai ujung kaki membuat SeokJin lebih terang dari sekitaran. Otomatis. Bisa mengundang siapa saja untuk mencuri pandang dan tahu kalau SeokJin bukan orang sembarang. "Ci(kamu) apakan lagi anak-anak sanggar?" Ia bertanya sanksi. Jeongguk tahu kalau bligungnya yang satu ini adalah orang yang sabar di hadapan orang lain tapi tidak kalau sudah berhadapan dengan sang adik bontot. Hampir selalu Seokjin bersungut-sungut dan berusaha sekuat tenaga supaya adik laki-lakinya yang terakhir ini tidak kelewat batas. Bahkan berjalan pun Seokjin punya acara sendiri mendisiplinkan Jeongguk yang kadang semaunya.
"Kok, cang(aku (lumayan tidak sopan))?" Jeongguk tidak terima. Baru saja selesai ia memanjatkan doa pada Hyang Widhi, sudah mendapat tuduhan yang tidak enak. "Tanya sama Mingyu sana. Ndak semua keributan itu aku dalangnya."
"Mingyu bilang kalau ci yang mulai duluan."
"Ya, memang selalu begitu," gumam Jeongguk, "kan, memang selalu aku yang disalahkan kalau menyangkut begini-begini." Ia menghela napas berat. Beban itu selalu mengendap di sisi pikiran yang lain. Orang-orang akan saling tunjuk dan berakhir dengan Jeongguk yang seolah ditumbalkan sebagai kambing hitam. Entah apa yang telah ia lakukan sampai dari segelintir orang yang mengenalnya, hampir semua tidak sengaja membuatnya naik pitam. Hampir selalu berhasil menekan tombol amarahnya yang siap lepas landas kapan saja. Jeongguk tidak punya pilihan selain membela diri. Cuma itu yang ia kira, harus ia perjuangkan sampai akhir. "Anak-anak sanggar meneriaki Irene waktu lewat depan bale gong, tadi."
"Terus?"
"Ya, aku ndak suka."
"Apa caranya harus dengan menghajar anak-anak yang bahkan masih pakai baju nari itu?" Seokjin berjongkok di samping sang adik yang masih memperhatikan pelinggih di hadapannya. Beberapa canang yang ada punya dupa yang belum lagi mati. Menyala menjadi titik-titik kemerahan yang mengeluarkan asap wangi dari setiap pembakarannya.
Jeongguk malas menoleh. Ia biarkan Seokjin bersikap semaunya dan mengatakan seperlunya. "Kalau ndak dipukul, ndak kapok. Mereka bisa seperti itu bukan cuma ke Irene, tapi ke orang lain di luar Klungkung," katanya setengah membela diri.
"Tu, dah. Berapa kali aku harus bilang kalau ada masalah itu dibicarakan. Ngobrol sama mereka, kan, ndak ada lima menit. Mereka pasti paham." SeokJin geleng-geleng sambil berdecak. Tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi sang adik yang makin lama makin susah diatur. "Bisa, ndak, kalau kamu kontrol emosi itu sebentar saja? Ngudiang sing ngidang ci(Kenapa tidak bisa kamu) kalau dibilang? Jangan sedikit-sedikit marah."
"Sedikit-sedikit marah?" Nada itu naik. Seiring dengan Jeongguk yang bangkit dari bersimpuh di atas pelataran halaman pura. Niatnya cuma mau bersantai sebentar sebelum ia hantarkan beberapa kembang kembali ke keben di bale gong yang ada. "Bagaimana kalau bli jadi Irene? Risih, ndak, kalau diteriaki banyak orang cuma karena lewat saja di depan mereka?" tanyanya seperti menantang. Jeongguk punya tinggi yang hampir sejajar dengan kakaknya, sekarang. Di usianya yang tidak lagi bisa dibilang muda, ia sadar kalau pertumbuhan ini punya dampak gejolak emosi yang memusingkan. Seokjin di hadapan juga tidak membantu sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...