Jangan pergi, tunggu sebentar maka segalanya akan aku perlihatkan.
🍥
Jangan lupa tinggalkan jejak
Happy Reading!🥐
Zaia menatap murung pada punggung pria, yang sedang sibuk dengan kerjaannya. Jiro, pria yang menikahinya dua bulan lalu. Bukan karena perjodohan, perjanjian aneh hingga pernikahan kontrak, bukan. Hidup Zaia memang penuh drama tapi kalau soal itu, bukan Zaia banget.
Mereka menikah karena Jiro menginginkannya, namun hingga kini Zaia masih belum mengerti arti menginginkan yang didefinisikan oleh pria itu. Tapi, anehnya Zaia juga yang mengiyakan keinginan Jiro. Satu minggu setelah menikah, Zaia memang berpikir sepertinya Jiro pakai pelet, iya pelet dengan wajah tampan suaminya itu makanya Zaia nggak munafik mau menerima Jiro. Selain itu faktor utama dan poin plus sosok Jiro Fiqar Ardensyah si pekerja keras, yang berwajah dingin, meski tidak romantis-romantis juga, Jiro dapat mengimbanginya, begitu juga sebaliknya. Meski hubungan kedua orang itu terlihat dingin.
Masih dengan keranjang pakaian di tangannya, Zaia memang baru selesai menjemur pakaian mereka. Namun saat akan ke kamar mereka untuk menaruh kembali keranjang pakaian, yang kebetulan melewati ruang kerja Jiro karena bersebelahan dengan kamar tidur mereka.
"Kamu ngapain di situ?" tanya Jiro yang sudah berdiri depan Zaia.
"Loh kok, Abang udah disini. Nggak lanjut menggambar?" Zaia agak terkejut memang. Mungkin karena dia terlalu lama melamun. Sejak awal Jiro sudah memberi ultimatum bahwa Zaia harus memanggilnya Abang, perintah seorang Jiro adalah mutlak. Meski begitu apapun permintaan Zaia akan dia turuti, apapun itu. Kecuali perpisahan baginya, jika mereka sudah memulai maka akan terus berjalan apapun yang akan terjadi ke depannya.
"Belum. Ngapain disini sambil megang keranjang?" tanyanya lagi, Zaia mulai gugup karena Jiro semakin mendekatkan dirinya ke arah Zaia.
"Abang jangan dekat-dekat, aku belum mandi, masih bau keringat habis jemur pakaian di halaman belakang tadi," ucapnya dengan nada gugup seraya memundurkan tubuhnya. Pria itu terkekeh karena Zaia yang sudah gugup, padahal mereka bahkan sudah melakukan hal lebih dari ini. Tapi Zaia selalu saja gugup. Tangan Jiro terangkat mengusap pucuk kepala Zaia.
"Kamu wangi kok," balasnya
"Hah?" Zaia mengangah.
"Wangi matahari tapi." Usai mengatakan itu Jiro berjalan kembali masuk ke dalam ruangannya, mengerjakan lagi tunggakan yang harus dia selesaikan hari ini.
Sedangkan Zaia, masih mematung di tempatnya dengan wajah cengo khasnya.
"Kenapa sih! Nggak jelas." Zaia berlalu ke kamar, sekalian mau mandi juga.
Usai melakukan ritual membersihkan diri, wanita itu bergegas untuk masak, jika jadwal mencuci maka masak menjadi pekerjaan kedua. Untuk bersih-bersih rumah itu tugas Jiro, sudah menjadi kesepakatan mereka sejak memilih satu sama lain.
Dengan baju kaos lengan panjang berwarna biru serta bawahan celana pendek selutut berwarna putih, Zaia mulai mempersiapkan bahan-bahan apa saja yang akan dia buat menjadi makanan untuk hari ini, wanita itu tidak terlalu bingung karena setiap minggu. Dia dan Jiro akan diskusi soal masakan apa saja yang disiapkan setiap hari untuk mereka makan mulai dari senin sampai minggu. Bahkan menu siang dan malamnya pun berbeda. Terlihat seperti pasangan impian pada umumnya.
"Menu siang ini ada Ayam goreng lengkuas, sambal bawang, sayur labu siam. Sama buahnya semangka," monolog Zaia, yang baru saja mengeluarkan beberapa potongan Ayam yang memang selalu dia restock dari dalam lemari pendingin bersama dengan persedian lainnya untuk satu minggu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orphic
ChickLitRomance alert!!! Orphic... Semisterius itukah suaminya? Itulah yang membuat Zaia bertanya-tanya, alasan apa yang membuat Jiro menikahinya? Sungguh segalanya terlihat misterius.