Drama Bumil pt 1

151 21 8
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak

HAPPY READING...

***

Bodohnya Zaia yang baru mengerti kata menginginkan yang didefinisikan oleh Jiro. sejak kembalinya mereka dari pemeriksaan kandungan pertama kalinya, suaminya menjelaskan segalanya. membuat wanita berbadan dua itu sampai tidak bisa berkata-kata, hanya dapat menitihkan air matanya haru, bagaimana tidak dibalik wajah dingin itu tenyata sejak lama Jiro sudah lama menginginkan dirinya. Fakta terbaru adalah ternyata Jiro adalah kakak kelasnya dulu saat masih duduk di bangku SMP. Jiro bahkan sejak itu sudah sering memerhatikannya, bedanya Jiro seperti pasrah dengan takdir. Kepasrahannya pada takdir membawanya pada Zaia, hingga pria itu mengukuhkan niatnya untuk menikahi sang pujaan hati, si cinta pertamanya.

"Aku masih nggak menyangka kalau Abang sudah sebucin itu sama aku, lama banget. Aku aja baru tahu Abang saat lamaran tiba-tiba kemarin, kalau saja Abang nggak datang saat itu aku nggak bakalan tahu juga," tutur Zaia. Sepasang suami istri itu tengah berbaring di ranjang mereka, Zaia semakin mendekatkan tubuhnya pada sang suami, wajahnya ia tenggelamkan pada ketiak Jiro, tempat favoritenya sekarang, apalagi kalau Jiro belum mandi. Katanya bau kerigat Jiro candu. Agak lain tapi namanya juga Ibu hamil apapun itu turuti saja, asalkan tidak membahayakan Ibu dan Janin.

"Ya, mau bagaimana lagi... asal kamu tahu, untuk dapatin kamu Abang harus benar-benar berjuang, karena si gadis ceroboh ini banyak sekali yang menginginkan dia juga. Syukurnya Allah sudah lebih dahulu mendengar doaku, doa yang belasan tahun aku langitkan."

Zaia tersenyum mendengar ucapan Jiro, pria baik ini yang menjadi suaminya. Pria yang mau menerima dirinya yang bukan siapa-siapa.

"Aku mau tanya lagi..."

"Apa?" balas Jiro.

"Kenapa Abang memilih menjadi seorang illustrator?"

"Karena suka.. " jawab Jiro cepat, "Tahu nggak dulu saat masih sekolah aku nggak begitu pandai mata pelajaran yang paling dielu-elukan, bahkan sangat didewa-dewakan. Tahukan, Matematika dan Sains. Kalau ada siswa yang bisa dalam kedua mata pelajaran itu saja, maka segala akan terasa mudah. Sempat frustasi, merasa minder dan rasa nggak enak lainnya. Tapi suatu hari Bang Fadil ngomong sama aku kalau setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, mungkin aku nggak pandai di Matematika dan Sains, karena potensi aku dibidang lain, aku berusaha buat mencari-mencari itu. Tanpa aku sadari ternyata hal itu sudah sering aku geluti, yaitu menggambar, sedari kecil. Aku selalu menuangkan segala isi pikiran dalam sebuah gambar, setelah tahu kalau potensi aku dalam hal itu, aku lebih sering mengasah dan mencari tahu. Makin banyak, makin sering akhirnya bisa sampai dititik ini. Dan aku senang dengan itu." jelas Jiro dengan senyuman lebar, seolah-olah, menggambar adalah salah satu bagian dari jiwanya.

"Abang keren," ucap Zaia dengan nada kagum. Jiro mengelus kepala Zaia pelan, setela itu tangannya beralih pada perut sang istri mengusap perut yang sebentar lagi akan buncit itu, membuatnya tak sabar semenggemaskan apa seorang Zaia.

"Haii Dek, kata Mama, Papa keren. Mama kamu bisa aja ya buat Papa jadi salting," kata Jiro sambil terus menatap mata Zaia. Tangan Zaia bergerak menaruh diatas tangan besar milik Jiro yang masih terus mengelus perutnya.

Mereka sepakat untuk memanggil calon anak mereka dengan sebutan Adek, karena menurut mereka itu panggilan yang tepat untuk sekarang.

"Dek, Mama juga salting, masa ngomong sama kamu tapi sambil natap Mama sih," balas Zaia.

"Gimana ya, Mama kamu sulit gak diacuhin gitu aja, apalagi di depan mata gini. " Setelah mengatakan itu, kepala Jiro langsung menunduk mengecup bibir Zaia, kecupan yang perlahan merambat pada lumatan tipis-tipis.

OrphicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang