Keinginan
besok.
.
Semua orang tahu, hanya ada tiga waktu di dalam kehidupan. Kemarin, hari ini, dan besok. Di mana kemarin adalah cerita, hari ini adalah hidup, dan besok adalah harapan —seperti yang banyak orang katakan. Ketiganya memiliki ikatan yang amat erat dan tak dapat dipisahkan.
Namun sayangnya, kenyataan bahwa besok ialah suatu hal yang samar dan abu-abu membuat sebagian orang tak terlalu memikirkan sesuatu yang mungkin terjadi, entah itu baik atau bahkan buruk sekalipun. Dengan kata lain, mereka tak peduli dan berpikir bahwa mereka hanya perlu menjalaninya. Membiarkan semua mengalir begitu saja hingga besok lainnya.
Terkadang, manusia melupakan satu fakta bahwa hari besok tak datang untuk semua orang.
Hari kemarin pun bukan hanya sebatas cerita. Jika Wonyoung bisa menuangkan kisah kemarinnya ke dalam sebuah kertas, maka hanya tulisan-tulisan abstrak dan tidak beraturan yang tergores di sana. Karena sesungguhnya, Wonyoung tak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dirinya belum cukup siap untuk menerima semua itu.
Entah sudah di menit ke berapa Wonyoung mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sempit itu dengan brutal. Sesekali kain putih yang menyelimuti piano tua di sudut ruangan tertangkap oleh kornea matanya, lalu disusul benda-benda usang lain yang tampak mengabur di penglihatan. Wonyoung biarkan sekujur tubuhnya terus berputar seakan menandingi bagaimana bumi berotasi selama ini.
Segala cara Wonyoung lakukan supaya kaki kirinya tetap kokoh menyangga beban yang ia pikul, kemudian terhempas ketika fouettés menjadi pusat atensi benda mati di ruangan tersebut. Menjadi saksi seberapa putus asanya Wonyoung hari ini.
Rasa kebas mulai menjalar ke seluruh kakinya —setelah suara tubrukan menggema sampai ke sudut ruangan. Faktanya, menyiksa diri dengan harapan-harapan yang tak menentu, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali rasa sakit. Wonyoung tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia telah melakukan apa yang pernah Kim Doyoung katakan. Bahkan gadis itu sampai tak tahu sudah yang ke berapa kalinya tubuh ringkih itu menghantam lantai dingin. Tak tahu telah sedalam apa luka di kakinya saat ini.
Yang ada di otaknya kini hanyalah perasaan ingin kembali ke hari sebelum hari ini. Barangkali terselip kesalahan yang ia perbuat hingga membuat pemuda Kim pergi.
Meski tahu keinginan Wonyoung mustahil terjadi, tetapi gadis itu bersumpah. Jika waktu kembali berwujud hari kemarin, ia pasti akan memperbaiki segalanya. Mengembalikan dentingan piano tua itu bersama si pemilik dan juga menghidupkan keinginan yang belum ia jemput bersama Kim Doyoung.
Jika pun itu sulit, setidaknya Wonyoung ingin Kim Doyoung masih memiliki peran di dunia hari ini. Mengomelinya habis-habisan karena mengacaukan kompetisi kemarin dan kemudian kembali berbaikan seperti biasa.
krak!
──────────── .
Cerita ini mungkin cuman aku buat empat sampai lima chapter aja. Soalnya klo panjang2, gabisa janji bakalan sampe tamat :")