2

18 8 0
                                    

Bukti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukti




























tiga minggu sebelum hari ini.

.

"Ya Tuhan, apa aku menyerah saja?" Wonyoung mengeluh seraya mengusap-usap debu di pinggangnya. Ini baru permulaan, tetapi Wonyoung bahkan tak dapat menghitung dengan jari berapa kali ia terjatuh. Dentingan piano yang Doyoung mainkan pun tidak sempat mencapai bait akhir.

"Kau sudah sampai sini, bagaimana kau bisa menyerah begitu saja?"

Setelah perkataan Doyoung barusan menggema di kepala, Wonyoung jadi teringat akan masa kecilnya. Bagaimana suara kikikan Wonyoung menguar hingga membuat kepangan rambut itu bergerak riang. Dari balik jendela, sesosok gadis mungil menjatuhkan kedua fokus manik coklatnya ke sang ibu yang nampak sibuk.

Kaki-kaki pendek itu lantas membawa Wonyoung ke arah dapur. Dirinya ingat betul radio perekam usang yang ia simpan dengan sangat baik di balik tumpukan kayu. Bahkan suaranya masih Wonyoung ingat dengan jelas hingga kini. Tak ada sedikit pun yang berbeda. Romeo and Juliet bagian balcony pas de deux, karya milik komposer terkenal Rusia itu masih berdengung indah di telinganya.

Hanya ini satu-satunya cara Wonyoung menghibur diri. Karena orang tua gadis itu tidak pernah setuju putri semata wayangnya mengikuti kelas balet. Sejauh ini, Wonyoung masih belum tahu pasti apa alasan di balik ketidaksetujuan orang tuanya.

Wonyoung pernah diam-diam mengikuti kelas balet. Gadis itu mengakui jika dirinya memang senekat itu untuk mewujudkan keinginannya. Hingga suatu saat, orang tua Wonyoung mengetahuinya dan berakhir dengan tamparan keras di pipi Wonyoung. Tapi, siapa yang akan menduga bahwa itu semua adalah awal mula ia dipertemukan dengan Kim Doyoung.

Tiga tahun bersama Kim Doyoung sebenarnya sudah cukup untuk dikatakan usaha. Benar, banyak waktu yang telah Wonyoung luangkan untuk menekuni apa yang ia inginkan sejak kecil. Bagaimanapun, dirinya di masa lalu pasti merasa terkhianati jika Wonyoung meyerah hari ini.

"Kau benar-benar akan menyerah sekarang?" tanya Doyoung sekali lagi.

Wonyoung diam mematung. Pandangan ia jatuhkan ke pointe shoes merah muda miliknya yang sama sekali belum lusuh. Bayang-bayang mengenai dirinya yang tersenyum bangga di depan banyak orang, membakar hangus keraguan dari dalam jiwanya. Wonyoung harus bangkit —setidaknya hingga pointe shoes itu tak lagi terlihat berharga. Lagi pula, Wonyoung juga menginginkan suatu hal.

"Tidak. Aku harus membuktikan kemampuanku pada orang tuaku." Wonyoung menatap barre di depannya penuh keyakinan.

Sosok di depannya tersenyum puas. "Bagus. Beristirahatlah dulu." Doyoung lalu menyamakan tinggi dengan piano tua tersebut. "aku akan memperbaiki piano ini sebentar. Bunyinya sedikit kurang sedap."

Fouettés [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang