28 | Semua Bersalah

91 31 2
                                    

"Lu bisa ngupas kulit buah, No?" ujarnya dari atas kasur. "Gila! Gua kelewatan apa aja pas seminggu lebih gua koma?"

"Sekolah kita kebakaran," sebutku asal. Kedua matanya membulat sempurna. Haha, aku bahkan tak sadar kalau aku merindukan saat-saat seperti ini.

"Serius lu, No?" Lalu aku menyembur tertawa. "Hah? Apaan sih lu, No? Seriusan nih!"

"Kagak, kagak. Bercanda doang itu," kataku di sela-sela derai tawa. Kami berbincang seakan aku sudah memaafkannya setelah ia berbohong padaku. Padahal yang terjadi lebih ke aku yang tak bisa memaafkan diriku sendiri karena tak menahannya supaya tak menyeberang jalan pada hari nahas itu.

"Emangnya gua ketabrak apa sih waktu itu?" tanyanya sehabis beres tertawa.

"Bus sekolah, gila! Bus kuning yang biasa gua naikin itu," ujarku. Ia kembali tertawa, kali ini lebih keras.

"Sumpah, lu? Gila," balasnya. "Besok gua udah bisa berubah jadi transformer, nih."

"Lo nge-joke?" Aku menahan tawa. Bukan karena leluconnya lucu, tapi karena leluconnya garing kriuk kress. "Joke lo jelek banget, gila."

"Ketawa aja sih No," gerutunya. Seakan menurut, aku tertawa terbahak-bahak. Padahal karena lucu saja melihatnya menggerutu seperti itu. Bahkan mantan pacarnya pun tak pernah bertingkah seperti itu. Setidaknya sejauh pengetahuanku.

"Eh, gua serius nih, No. Gua kelewatan apa aja gua dua minggu bobo cantik?" ulangnya. Kali ini nadanya menanjak tinggi. Peralihan antara bercanda dan meledak marah-marah. Namun, oh boy, aku belum puas main-main dengan anak ini.

"Ya, kagak ada yang macem-macem sih. Paling cuma orang-orang pada ngomongin soal lo yang ketabrak bus sekolah," paparku. "Gak lucu kalo lo beneran modar gara-gara bus sekolah."

"Kurang ajar, lo!" Kenapa seakan-akan semua orang jadi mendengar omonganku dengan lebih baik kalau perkataan itu kugumamkan?

"Canda," sambarku, lalu membentuk simbol damai dua jari dengan tangan kananku.

"Terus apa lagi?" Ia seakan melupakan apa yang kukatakan barusan. Baguslah kalau begitu.

"Mmm, bentar gua inget-inget dulu." Aku memegang kepalaku seakan sedang berpikir berat. Padahal mau dipikirkan bagaimana pun tak akan mengubah fakta kalau memang tak terjadi apa pun yang luar biasa selama dua minggu ini.

"Kayaknya kagak ada, dah," kataku pada akhirnya. "Paling ya, biasa lah. Drama anak OSIS sama MPK yang lo tahu sendiri kayak gimana."

"Ooh," balasnya.

Ia lanjut bertanya, "Oh iya, terus si Putri gimana? Dia nyariin gua, enggak?"

"Soal itu, gua enggak tahu juga, sih. Dua minggu ini gua gak ada kontakan lagi sama dia. Enggak ngerti juga dah, gua. Dia tiba-tiba kayak ngilang gitu aja," jelasku.

"Serius lu, No?"

"Ngapain juga sih gua bohong? Gua mah jujur orangnya."

"Oh, lu nyindir gua?" Kok jadi begini sih, bicaranya?

Aku lantas menggeleng. "Kagak, kok."

"Kirain," gumamnya, lalu kembali pada ponselnya. Aku mengikutinya. Setelah beberapa saat saling mendiamkan, seseorang mengetuk pintu kamar rawat inap itu. Tanpa menunggu diizinkan, orang itu membuka pintu kamar.

Putri?

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, lalu berhenti ketika penglihatannya mendarat padaku. Ia seakan membeku, terkejut akan kehadiranku di kamar ini. Sama sepertiku yang tak menyangka kalau cewek ini akan datang juga.

Personal Relationship AdvisorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang