Langit yang tadinya berwarna biru, kini berubah jadi jingga. Atau setidaknya akan jadi begitu jika saja awan tebal tak menyelimutinya.
Kakiku melangkah lemas menyusuri trotoar jalanan intrasekolah. Trotoar yang sama di mana aku melihat Ica berduaan dengan pujaan hatinya. Setiap langkah yang kutempuh rasanya makin memperdalam luka di hatiku.
Rumor sialan.
Jalanku kupercepat karena langit mulai menumpahkan air yang tampaknya telah ia kumpulkan sepanjang hari ini. Ah, sial. Kalau begini mau tak mau aku harus naik bus sekolah kembali ke rumah.
Apa yang terasa hanya seperti cipratan air itu kini berubah menjadi guyuran air. Beruntung aku berhasil mencapai halte lebih dulu. Aku mendaratkan pantatku pada bangku halte yang kelihatannya selalu bersih itu.
Angin berembus, melempar masuk air hujan ke dalam halte. Tempias. Aku melepas ranselku, memeluknya, lalu mengubah posisi dudukku jadi membelakangi jalan raya. Dengan begini setidaknya mukaku tidak tampak seperti habis disembur mbah dukun.
Aku mengeluarkan ponselku dengan hati-hati dari dalam tas. Ponselku tidak tahan air. Jika ponselku rusak, aku tak akan bisa membeli ponsel baru lagi. Ingat traktiran bakso waktu itu?
Layar ponsel kunyalakan. Dan notifikasi pertama yang kulihat adalah pesan dari Hakan. Kenapa lagi sih ini anak? Ribet banget. Apa susahnya duduk manis sambil menungguku menyelesaikan penyelidikanku.
Aku hanya membaca sekilas pesan yang ia kirim dari preview notifikasi. Benar saja dugaanku. Ia menanyakan progres terkait pecahnya termometer raksa itu.
Lalu terbersit di benakku: kenapa sih si pelaku tidak mengaku saja supaya semuanya bisa selesai dengan mudah? Maksudku, heck! Harga termometer raksa saja tidak sampai tiga ratus ribu satu batangnya. Aku kemarin malam cek di toko online. Tapi tampaknya anak ini terlalu pelit bahkan sekadar untuk membeli sebuah termometer.
Aku kembali membuka video yang Hakan waktu itu kirimkan padaku. Video lima belas detik itu kuputar sambil kuperhatikan dengan jeli. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu seseorang mencolek bahuku.
"Eh lo biasa naik bus, kan?" tanya cowok itu setelah aku menoleh padanya. Ia sampai berteriak demi mengalahkan bisingnya suara hujan.
"Itu busnya udah sampe," sambungnya tanpa menunggu responsku.
Aku memutar badanku untuk melihat ke arah jalan raya. Akhirnya bus itu sampai juga. Aku berterima kasih pada anak itu, lalu meraih tasku dan berlari masuk ke dalam bus.
Bus itu bodi luarnya dicat kuning, seperti bus-bus sekolah lain yang pernah kalian lihat di acara-acara luar. Di dalamnya, seperti yang bisa kalian duga, ada deretan kursi yang memanjang sampai ke bagian belakang. Satu baris berisi empat kursi. Dua kursi di kanan, dua kursi di kiri.
Aku duduk di barisan yang masih kosong, di sisi kiri mobil, dekat jendela. Setelah mendapat tempat duduk, aku kembali membuka ponselku dan lanjut memerhatikan video itu.
Video TikTok itu adalah video dance. Cewek yang ada di tengah layar menggoyangkan badannya dengan asyik mengikuti alunan musik. Tidak, bukan itu yang kuperhatikan. Aku lebih memperhatikan sekeliling cewek itu, seperti yang selalu kulakukan seminggu belakangan ini.
Semuanya benar-benar normal. Anak-anak yang lain tampak sedang serius melakukan praktikum meski salah satu teman mereka malah asyik berjoget. Lalu empat detik sebelum video 15 detik itu berakhir, terdengar suara kaca pecah. Termometer itu.
Lalu video berakhir. Masih belum ada info yang dapat kucerna dari video itu. Ah! Bagaimana sih ini?! Apa info yang kulewatkan dari video ini? Atau, memangnya enggak ada bukti foto atau video lain dari ketiga puluh anak di kelas itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Relationship Advisor
Teen FictionAku punya beberapa prinsip dalam menangani masalah apa pun: • Makin sedikit orang yang terlibat, makin baik • Tangani masalah yang bisa ditangani • Minta bantuan jika masalah tidak bisa ditangani sendiri • P̶a̶s̶t̶i̶k̶a̶n̶ ̶t̶e̶m̶a̶n̶m̶u̶ ̶h̶a̶t̶i̶...