Aku adalah satu dengan seribu topeng di tanganku
Jadi yang paling bahagia sudah pasti mauku
Sendu masih jadi tarian yang paling lihai
memalu pilu masih jadi urusan yang belum selesai-selesai
Tidak terasa satu tahun telah Risa lewati bersama cerita yang ia buat bersama teman-temannya ketika sekolah. Kini Risa duduk di bangku kelas XI, masih sama. Risa, Lala, Andin, Okta, Salin, Tari, dan Dika serta teman-teman lainnya akan melanjutkan cerita mereka di MIPA 4. Tidak ada yang berubah, Risa masih dengan perilaku ambisiusnya. Lala dengan gaya hidup yang santuy. Andin dengan perilaku yang senang mengamati orang-orang di sekitarnya. Salin si paling bodo amat. Okta si paling rajin. Dika dengan topik pembicaraan yang selalu saja tidak mutu. Terakhir, Tari si paling seniman di antara yang lain.
Satu persatu teman Risa mulai berdatangan memasuki ruang kelas dengan wajah dan semangat yang baru. Ada yang kulitnya makin bersih, ada yang makin cantik, ada yang makin langsing, bahkan ada pula yang sebelumnya tidak pernah pakai bedak kemudian mencoba merias tipis wajahnya dengan bedak. Orang itu Risa. Aneh bukan? entah maksud dan tujuannya apa, tapi pasti ada yang ingin didapatkan oleh Risa. Mungkin saja perhatian, dari siapa? entahlah.
"Risa, bedaknya berapa kilo itu? tebel banget"
"Cie Risa, mau caper sama siapa sih?"
"Mukamu abu-abu tuh, Ris"
Sayang sekali respon dari beberapa teman-temannya cukup ampuh membuat hati Risa tercabik-cabik. Ia memang tak pandai mengaplikasikan make up ke wajahnya. Tapi, perkataan teman-temannya sudah terlanjur keterlaluan.
"Heh, kalian kenapa sih? nggak ada kerjaan atau gimana sampai harus komentarin penampilan orang?" sahut Lala dengan nada yang sangat marah.
"Udah, La. Nggak papa kok. Yuk temenin aku ke kamar mandi" Risa dengan tersenyum menahan malu
Kemudian, Lala menemani Risa ke kamar mandi. Entah apa yang ingin dilakukan Risa di sana, Lala cukup bijak untuk menjadi penenang Risa setiap mendapati masalah. Diantara keenam temannya hanya Lala yang menurut Risa paling bisa mengerti perasaannya dan nyaman untuk menjadi telinganya. Karena saking seringnya mereka jalan berdua, banyak orang-orang yang sulit membedakan keduanya karena dikira mirip.
"La, kenapa ya yang aku lakuin itu selalu salah di mata temen-temen sekelas?"
"Nggak semua temen sekelas kamu itu kayak gitu, Ris. Lihat Aku, Okta, Andin, Tari, Salin, sama Dika. Kami selalu support kamu, selalu ada buat kamu, kamu mau nangis juga kami temenin kan?"
"Iya, La. Makasih banyak, tapi tetep aja sakit rasanya tiap kali digituin"
"Udah, nggak usah dipikirin. Inget ya, mereka itu cuma oknum masih banyak yang sayang sama kamu. Jangan hanya lihat satu musuh yang ada di depan kamu, sesekali tengok ke belakang ada ribuan manusia yang sayang sama kamu"
"Makasih banyak ya La masih mau temenan sama manusia cengeng kayak aku sampai sekarang"
"Bukan apa-apa Ris, mau gimana lagi yang mau temenan sama aku ya cuma kamu ahahahaha" tawa Lala berusaha untuk menyudahi kesedihan Risa.
"Bisa aja, yuk balik ke kelas"
Risa memang memiliki kulit yang cukup gelap, jika dibandingkan dengan teman-teman satu grupnya dialah yang paling gelap. Sudah bertahun-tahun Risa masih saja minder dengan fisik yang ia punya. Menurutnya, orang berkulit gelap itu jelek dan tidak enak dilihat. Selalu saja seperti itu pikiran Risa. Selama ini Risa hanya fokus dengan satu kekurangannya daripada harus melirik seribu kelebihan yang ia punya. Sepertinya, Risa perlu waktu untuk dapat mengenali dirinya lebih baik lagi dan Deryl masih menjadi sosok yang terus membuatnya menjadi orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. A
Teen FictionKetika rangkaian kata berkelut di kepala, dan mulut tidak tau cara kerjanya