Sang anak dara tengah berkutat di kamarnya dengan setumpukan buku-buku pelajaran. Remaja berusia 14 tahun yang duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama itu memiliki obsesi dan ambisi yang tinggi akan pangkat dan jabatan. Baginya, nomor kesekian adalah pecundang, itu yang kedua orang tuanya ajarkan padanya. Di hidupnya, ia hanya ingin menjadi nomor satu, berharap suatu saat dapat menduduki bangku arasy.
Kriet
Derit pintu kamar yang dibuka perlahan menyita atensinya untuk menoleh, ingin tahu siapa pelaku yang lancang masuk tanpa diperboleh. Seseorang muncul dari balik pintu bercat putih dengan ornamen bunga menjalar. Netra hazel milik si gadis bersirobok dengan manik abu milik si empunya di ambang pintu masuk, dimana adiknya berdiri disana.
"Hai kak," Sapa remaja 13 tahun itu sembari melangkah masuk kedalam kamar, mengabaikan sorot mata nyalang kakaknya yang menatap bagai elang yang siap mencabik mangsa. Berubah menjadi anggara demi makanan saja.
"Siapa yang nyuruh kamu masuk?" Si kakak bertanya dengan enggan, nadanya begitu datar dan dingin tanpa perasaan.
Adiknya hanya terkekeh geli, sudah biasa mendapati sikap tak bersahabat sang kakak padanya. Tanpa izin, ia menjatuhkan tubuhnya di springbed milik yang lebih tua. Membaringkan setengah tubuhnya sedang kakinya masih menjuntai disisi tempat tidur. Tak perduli pada wajah murka yang ditampilkan gadis itu.
"Keluar," Perintahnya penuh penekanan.
"Santai dong kak, aku bawa berita bagus nih," Si adik bangkit menyamping, menumpukan berat badannya pada satu titik tubuhnya yang miring.
"Mulai besok, aku bakal ada dikelas yang sama dengan kakak." Lanjutnya dengan bangga.
"Gak mau kasih ucapan selamat?" Ujarnya dengan nada pongkah. Sengaja memancing amarah.
Tersulut, gadis itu meremat kertas yang telah susah payah ia isi dengan tinta hitam untuk menuliskan angka-angka dan huruf hingga kusut tak berbentuk, darahnya kian bergejolak, sedang amarah telah menguasai benak. Tak terima kembali disaingi oleh adiknya yang kelewat jenius itu.
Si pria muda tertawa, sangat menarik baginya melihat durja berma kakaknya yang dikuasai murka.
"Yah, gak apa-apa kalau gak mau. Aku balik kekamar dulu ya. Sampai ketemu dikelas besok," Ia bangkit dan menepuk-nepuk celana jeansnya yang tak kotor, sebelum akhirnya melangkah pergi menuju pintu asal ia masuk tadi.
"Good night, Gabriella Anastasya Darwin." Ucapnya menutup perbincangan dengan menyebutkan nama lengkap si gadis tanpa embel-embel 'kakak'. Hal yang biasa ia lakukan saat merasa telah mengungguli gadis itu.
Gabriella mengeraskan rahangnya. Emosi kian berkobar dalam dada bak anala merajai daksa. Ia meraih buku tebal di atas meja, mengambil ancang-ancang dan melemparkan kearah pintu keluar. Terlambat, hanya ada kekosongan disana. Adiknya telah kembali ke kamarnya.
"Samuel Alexandrio Darwin!!!" Gadis itu berteriak nyaring, menyapu bersih barang-barang diatas meja hingga berhamburan keatas lantai marmer yang dingin.
Darwin bersaudara kembali mengibarkan bendera perang, sedang baru beberapa hari mereka berbaikan dan berbincang riang. Gaby yang mengurus Sam saat ia demam minggu lalu, sebaliknya Sam juga mengobati luka di kaki kakaknya setelah terjatuh dari tangga kemarin. Kini hal itu hanya terdengar bagai angin lalu.
Mereka adalah dua anak manusia yang saling menyayangi, namun juga saling menyakiti. Mencintai dan juga membenci.
Gabriella Anastasya Darwin
(14)Samuel Alexandrio Darwin
(13).
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN
RomanceAfeksi tertutup oleh pedar, peduli pun saling menyakiti tanpa sadar. Keduanya memiliki sebuah asrar yang sewaktu-waktu bisa saja terbongkar. Dua anak manusia yang terjebak dalam rasa tanpa dasar. Tak ada yang mau mengalah untuk menjadi adikara, mer...