Ketukan high heels pada lantai marmer terdengar nyaring menyapa rungu, wanita dengan surai cokelat sepinggang itu melenggang memasuki sebuah gedung apartemen. Langkahnya terhenti tepat didepan sebuah pintu dengan plat nomor 102, jemarinya terangkat menekan bell demi dapat berjumpa dengan si pemiliknya.Setelahnya ia berdiri disamping pintu, bersandar. Mengangkat kedua belah tangannya untuk ia gosok beradu, mencari kehangatan. Ia lupa ini sudah penghujung Desember, dan ini di San Francisco, bulan depan sudah musim dingin.
Klek
Bunyi pintu terbuka menandakan si pemilik rumah telah keluar dari cangkang. Sedang si gadis masih asik meremat jemarinya yang kian mati rasa.
"E...lla?" Nadanya cukup terkejut, hingga si gadis mau tak mau menoleh.
"Namaku emang ada Ella nya. But i'm not her,"
"Long time no see, Rey."
_
Rey pandang wanita dihadapannya yang masih senantiasa meneguk kopi dari mug. Selembar selimut telah bertengger dibahunya. Tadinya Rey pikir dia adalah fans fanatik yang nekat datang ke apartemennya. Hampir saja ia memanggil security untuk menyeretnya pergi.
Sudah lama sekali mereka tak bersua, wajar jika ia lupa kalau masih memiliki kerabat dekat. Ya, sepupunya yang sangat menyebalkan. Bisa-bisanya ia berpikir itu Ella hanya dari bentuk rambut dan tinggi badannya saja. Sifat mereka 180° bertolak belakang. Sepupunya, Gaby itu egois dan ambisius. Jika Ella-nya adalah malaikat, maka gadis dihadapannya kini adalah iblis.
"Jadi? ada perlu apa lu kesini gab?," Tanya Rey tanpa tedeng aling-aling.
Gaby mendongak, menatap pria jangkung itu sejenak sebelum menghela nafas muak.
"HP mu gak bisa di hubungin," Ujarnya sembari memperlihatkan bukti riwayat panggilan.
"Gue sibuk," Jawab Rey berkelit. Ia sengaja menon-aktif kan ponselnya. Faktanya ia sedang kacau saat ini. Kedua orang tuanya beberapa hari lalu datang dan memberikannya khotbah setelah ia mengaku sebagai penyandang LGBT.
"Segitu sibuknya sampai gak bisa dihubungi walau sekali?,"
"Kamu malah keliatan kayak orang yang lagi menghindar dari kejaran rentenir." Tuduh Gabriella yang tepat sasaran.
"Ck, kalau gak ada keperluan mending lu balik. Gue masih ada urusan abis ini." Rey berdecak malas dan mengusir gadis itu secara verbal. Masih mau menghormatinya sebagai saudara, jika tidak mungkin sudah ia geret keluar dan ia campakkan ke tanah karena sudah mengganggu ketenangannya, terlebih disaat moodnya sedang berada di titik terendah.
Brak!
Rey tersentak kaget mendengar bunyi hantaman mug keatas meja. Lantas ia tatap si pelaku yang kini menatap nyalang padanya. Nah, sudah ia bilang bukan? Wanita ini 180° berbeda dari Ella.
"Lu-
"Menurutmu kalau gak ada hal penting saya mau datang kesini?" Ujar Gaby memotong ucapan Rey yang ia yakini hanya ingin memaki.
Rey terdiam, sepertinya gadis itu sedang sangat kesal sekarang. Terlihat dari sebutan atas dirinya berubah dari 'aku' ke 'saya'. Yah, walaupun ia tak perduli. Sekarang juga ia sedang kesal. Hanya saja kata-katanya barusan, tentang 'hal penting' membuat ia jadi penasaran. Mulutnya baru akan terbuka untuk bertanya, namun ia lihat gadis itu sudah bangkit dan menyampirkan selimut ke sandaran kursi. Sudah jelas hendak berniat pergi.
"Pulang ke Indonesia kalau kamu masih sayang sama orang tuamu, mereka sekarang lagi kritis," Kata-kata gadis itu menguar di udara, terasa sulit untuk Rey cerna. Apakah itu metode baru agar ia mau kembali ke negara asalnya? Tapi kenapa harus dengan berbohong sedemikian rupa kejamnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN
RomanceAfeksi tertutup oleh pedar, peduli pun saling menyakiti tanpa sadar. Keduanya memiliki sebuah asrar yang sewaktu-waktu bisa saja terbongkar. Dua anak manusia yang terjebak dalam rasa tanpa dasar. Tak ada yang mau mengalah untuk menjadi adikara, mer...