SN - 2

490 55 2
                                    

Haii ...
Malam!






BAB 2 ( Apakah Orang yang Sama? )

***


Suara napas tak teratur berasal dari sepasang kakak adik yang saling bersender. Bangku panjang tanpa sandaran itu membuat kepala keduanya saling bertumpuk. Bila ada yang bertanya, apa karena kelelahan mendorong motor? Jawabannya iya.

Gara-gara ban motor Anka tiba-tiba meletus, mengakibatkan keduanya harus rela mendorong motor sejauh tiga kilo meter dari tempat meletusnya. Beruntung tidak sampai kecelakaan.

Mengingat banyaknya bengkel tetapi tidak ada jasa tambal ban, membuat kepala Anta dan Anka serasa mau meledak. Sedangkan jika ban tersebut diganti, uang mereka tidak cukup. Sepenuhnya uang Anta ada di ATM dan kebetulannya kartu ATM tidak dibawa, sedang uang Anka sendiri memang sudah habis untuk jajan dan isi bensin.

Haaa! Kalau mengingat bensin Anka akan terus-terusan menggerutu. Anta memang pelit, tidak mau membelikan bensin. Ya, setidaknya itu pendapat Anka terhadap sang kakak.

Selain itu, ponsel Anka tidak dibawa, jadi tidak bisa menghubungi bengkel langganan ayahnya. Anta sendiri yang pada dasarnya jarang membawa kendaraan tidak punya nomor orang bengkel tersebut. Terlepas dari itu, pulsa telponnya juga habis.

Kalau boleh, mereka berdua ingin nangis gulung-gulung di aspal. Hari ini benar-benar hari sial sepasang adik kakak itu.

"Mbak bawa uang nggak?" tanya Anka bernapas besar.

"Bawa, sisa dua puluh ribu belum ambil lagi," jawab Anta membuat Anka menghela napas.

"Mbak-mbak. Kerja berapa lama sih pake gaya-gaya belum ambil uang, berasa jadi sultan, ya? Ini Indonesia loh, kencing aja bayar tunai kok. Uang dua puluh ribu dapet apa Mbaaak," keluh Anka, langsung mendapat jorokan di kepalanya. Tapi dengan cepat Anka kembali tiduran dipundak sang kakak.

"Ngirit, Ka, ngirit. Kalau nggak gitu pengeluaran Mbak bakal jebol. Suka kasian gitu kalau mereka di sempen di dompet terus takut jamuran, kalau di bank-kan baru terus uangnya. Temennya juga banyak, beranak pinak."

"Alah, bilang aja Mbak medit, takut tak mintak ii to?" Anka mencebik, "riba Mbak, riba. Mending tak mintak ii malah pahalamu nambah," lanjut Anka.

Anta memukul lengan Anka. "Idih! Ya, nggak gitu juga, Ka. Kalau nggak ada bank kamu mau mupuk uangmu di mana? Kamu loh Ka, kalau minta sama kalap matanya Mbak aja lebih besar kamu minta. Nggak tau diri emang."

"Nggak tau diri mana, minta bonceng terus tapi nggak pernah beliin bensin?" Anka mendengkus lalu duduk tegak, "tekor aku Mbak-mbak. Lak ini aku juga yang bayar, padahal uangku juga habis, tet. Tinggal si parang penjaga dompet."

"Yawes. Berapa sih bayar tembel ban tuh, pake uang Mbak ini palingan kembali."

"Kembali permen?" Anka menanggapi sambil merucutkan bibirnya, "Mbak pulang aja deh, pesen taksi kek apa ojek gitu. Di sini malah buat aku pengen hujat."

"Mulutmu, Kaaa."

Lagi, Anta memukul lengan Anka dan langsung diusap-usap oleh si empu.

"Bener loh aku itu. Udah Mbak, pulang sana."

Anta di dorong Anka sampai berdiri, bahkan hampir masuk dalam genangan air berwarna hitam. Yang Anta taksir adalah oli kotor.

"Beneran mau Mbak tinggal? Emang punya uang?" Anta setengah menjarak setengh meringis, membayangkan adiknya bernego dengan si bang bengkel.

Silent Notice (ON GOING) #UR4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang