🌻 6 🌻

951 110 1
                                    

"Papa kalian belum pulang karena ada meeting mendadak lepas Magrib tadi. Mungkin sampai sekarang masih lanjut," ujar Jennifer sambil melirik sekeja pada jam dinding di ruang makan. Wanita itu sibuk menyiapkan makanan, di depannya baru ada Jeya, Ghio yang dipanggil berkali-kali entah kenapa masih belum muncul.

"Ini kenapa kakak belum nongol, yah? Mama panggil dulu sebentar, ya, Nak." Jeya mengangguk singkat.

Lantas, setelah Jennifer berlalu, ia ikut menoleh pada pintu kamar di lantai dua yang terus tertutup. Mungkin karena ada dirinya di meja makan? Mungkin Ghio tidak nyaman jika harus makan malam bersamanya.

Namun, dugaan Jeya memudar kala dilihatnya Jennifer turun bersama Ghio. Entah sedang bercakap apa, tapi keduanya tertawa bersama sambil membahas sesuatu.

Sampai di meja makan, alih-alih duduk di tempat biasa ia duduk, Ghio justru memilih duduk di samping Jennifer. Mereka makan malam dalam keadan hening, tanpa kehangatan sebagaimana keluarga seharusnya. Hanya Jennifer yang terus berusaha memecah hening di antara mereka.

Padahal, dulu waktu masih berdua dengan Jeya, mereka sering sekali bertukar cerita tentang apa yang terjadi di sekolah dan apa yang Jennifer alami di tempatnya bekerja. Bahkan keduanya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbagi kisah setelah makan malam sebagai ibu dan anak.

Setelah mama menikah, Jeya seperti kehilangan rutinitas itu.

"Gimana sekolah barunya, Ghi? Kamu suka?"

"Suka, Ma. Temen-temen baru Ghio baik semua," jawb Ghio antusias.

"Bagus kalau kamu betah. Nanti Mama titip liatin Jeya, yah? Adek kamu ini pendiam banget, Mama takut dia nggak punya teman trus dibully di sekolah."

Jeya yang sibuk pada makanannya kini mendongak, menatap Jennifer. "Aku punya Fajar sama Azril, Ma."

"Iya Mama tau! Tapi yah, nggak apa dong kalau kakak kamu juga mau ngawasin adeknya, 'kan?"

Menggelikan! Entah kenapa Ghio merasa tidak senang disebut-sebut sebagai kakak dari anak itu. Ghio hanya tersenyum canggung sebagai jawaban, itu pun terpaksa. Dia tidak bisa mengiyakan, bukan tidak bisa, Ghio bisa saja mengiyakan, tapi anak itu tidak mau. Tidak akan pernah mau. Catat itu!

Jennifer ikut tersenyum kecut melihat respon Ghio, lalu beralih ke Jeya di depannya. "Tadi di sekolah baik-baik aja, Sayang?"

Ghio sempat mendongak, ikut melihat ekspresi Jeya yang di luar dugaannya. Ia tersenyum lebar, tulus, lantas mengangguk mantap. "Aman, Ma!"

Seolah memang benar seperti itu. Padahal, kenyataan yang Ghio saksikan, Jeya seperti menjadi korban perisakan Keita. Ghio masih memperhatikan, hingga tepat ketika anak itu menunduk, senyumnya lenyap begitu saja.

Selesai makan malam, Jeya segera bangkit untuk kembali ke kamarnya. Diikuti Ghio dari arah belakang. Sedang Jennifer, wanita itu sudah sibuk membereskan dapur.

Tepat ketika Jeya hampir mencapai kamarnya, Ghio lebih dulu menarik bahu anak itu.

"Heh!"

Dengan malas Jeya tetap menoleh.

"Lo nggak usah cari masalah lagi sama Kei," ucap Ghio sinis.

"Apa urusannya sama lo?"

"Dia itu adek temen gue. Mending lo jaga sikap depan dia. Nggak usah sok kayak tadi!"

Diam-diam tangan Jeya mengepal di sisi tubuhnya. Sebelumnya, Jeya tidak pernah sakit hati dengan semua perbuatan Keita, tapi detik ini, saat nama itu bahkan ikut dalam kalimat sarkas Ghio untuknya, entah mengapa rasanya begitu menyakitkan.

Hello, Stranger!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang