🌻 9 🌻

1K 129 9
                                    

Bandung, 05 Maret 2010

Jeya hanyalah bocah berumur 5 tahun kala itu, sebagai anak yang dikaruniai kecerdasan dan IQ tinggi, seringkali hal tersebut justru menjadi kekhawatiran Jennifer. Jeya yang terlalu peka, Jeya yang cepat memahami tanpa perlu dijelaskan, dan Jeya yang penasaran akan banyak hal.

Bocah dengan piama motif kucing yang kedodoran ditubuhnya itu, terbiasa bangun tengah malam di jam yang sama, hanya untuk mendapati sang mama menangis di ruang tamu sambil memandangi foto usang di tangannya. Bukan karena foto itu sudah lama, tetapi karena terlalu sering basah oleh air mata mama.

Dan hari ini, untuk pertama kali Jeya kecil mendekati  mamanya yang dalam keadaan rapuh tersebut. Telapak tangan mungilnya yang selalu dingin dan berkeringat menyentuh lengan mama, membuat wanita itu menoleh pada bocah kecilnya.

Jennifer membawa bocah kecil itu dalam pangkuannya, lalu menangis sambil bersandar di bahu kecil Jeya. Anak itu lantas memandangi sosok di dalam foto yang sedari tadi Jennifer pegang. Foto anak kecil yang tampak seumuran dengannya— atau mungkin hanya berbeda beberapa tahun.

"Dia yang bikin Mama nangis, yah? Dia jahatin Mama? Dia ngambil permen Mama kayak Fandi yang suka nyolong permen Jeya, yah?"

Hanya dengan mendengar pertanyaan beruntun Jeya, Jennifer lalu mengangkat wajahnya sembari terkekeh pelan. Anak itu hobi berspekulasi, menyesuaikan kejadian sekitar sama seperti yang sering ia alami.

Wanita itu membawa tubuh Jeya kecil menghadapnya, lalu tersenyum dengan wajah sembab. "Jeya mau punya kakak nggak, Sayang?"

Kedua manik legam bocah itu membola. Sedikit terkejut dengan ucapan mamanya. Namun, detik selanjutnya dahinya berkerut dalam. "Emang bisa? Kalo Mama lahirin kakak Jeya bukannya itu berarti adek Jeya, yah?"

Jennifer tertawa. Sepertinya dia lupa kalau Jeya terlalu cerdas untuk anak seumurannya. Bocah itu mengerjap beberapa kali, kembali menatap Jennifer dengan wajah polosnya. "Tapi ... emang bisa?" tanya Jeya lagi.

Lantas anak itu kembali berucap penuh antusias. "Fandi bilang dia punya kakak di SD, kakaknya suka beliin Fandi snack sama bagi mainan juga, Ma." Dari kalimat Jeya, Jennifer tahu anak itu juga mengharapkan sosok kakak.

"Bisa, dong! Jeya punya kakak. Namanya kakak Ghio."

Jeya masih diam, sepertinya ucapan Jennifer kali ini sulit untuk dicerna oleh otak cerdasnya. Lantas, anak itu hanya bisa terus-terusan mengerjap sambil berpikir maksud ucapan sang mama.

Gimana caranya? Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan mama. Tanpa sosok yang lain. Lalu tiba-tiba mama bilang Jeya punya kakak. Kalau benar, kenapa mereka tidak tinggal bersama seperti Fandi dan kakaknya? Kenapa ... Jeya tidak pernah tahu kalau dia punya seorang kakak?

"Jeya mau ketemu kakak, nggak?" Mendengar ucapan Jennifer, dengan cepat Jeya mengangguk. Bocah kecil itu tersenyum lebar.

Apakah setelah ini dia juga akan punya kakak seperti Fandi? Kalau benar, Jeya sudah tidak sabar menceritakan tentang kakaknya kepada Fandi.

☆.*・。゚☆゚.*・。☆゚.*・。☆

Jeya mengikuti langkah Jennifer yang menuntunnya ikut mendatangi sebuah sekolah SD yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka tinggal. Butuh waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai mobil untuk bisa sampai di sekolah tersebut.

Jeya tidak sabar ingin bertemu seseorang yang ia lihat di foto tadi malam, yang kata mama adalah kakaknya. Suasana sekolah itu sedang ramai-ramainya karena mereka baru pulang sekolah.

Jennifer hanya berani mendatangi Ghio di hari tertentu, yaitu hari Rabu. Sebab, setelah mengawasi anak itu cukup lama, ia tahu Ghio sering di titipkan pada penjaga sekolah sampai sore sekali setiap hari Rabu karena kesibukan Andra di kantor. Maka itu menjadi kesempatan Jennifer.

Hello, Stranger!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang