🌻 14 🌻

1K 116 4
                                    

/Sekochi🐱🐰🐹
Me: maaf, Jil @Azril
Me: gra2 gw lo diskors, pdhal lo gausah kyak kmaren.
Me: ntar tugas lo gue bantu kerjain, deh
Me: orgny absen tugasny ga absen
Me: lah! Goib dong haha;((
Me: gw bnran mnta maaf, Jil
Azril: notip w jebol ggra oknum Jeya pls
Me: woeey;'((
Azril: santuy @Jeya w bsa tidur bnyk2 mwehehe
Fajar: sklh ga? @Jeya
Fajar: klo iya gw otw
Me: y
Me: tugas lo amn di gw Jil, janji!

Setelah mengirimkan pesan terakhir di grup milik mereka bertiga, Jeya segera bersiap-siap ke sekolah. Ia tidak ingin membuat Fajar menunggu nanti. Maksudnya ... menunggu di depan rumah. Karena pasti Ghio tidak akan nyaman.

Ah! Menyebalkan ketika Jeya terlalu menjaga kenyamanan orang itu padahal Ghio sendiri terlalu sering menyakitinya. Membuat patah hati berulang-ulang seolah penegasan kalau ... Jeya seharusnya memang tidak pernah ada, atau ada orang lain yang lebih diperhatikannya daripada Jeya yang notabene adalah adiknya.

Oh iya, lupa! Jeya 'kan, tidak dianggap.

Jeya lantas keluar dari kamar, di ruang tamu memakai sepatu dengan lambat karena tangannya yang masih sakit. Padahal hanya tergores, bagi orang biasa mungkin menganggap ini hal sepele. Beda dengan Jeya, juga alasan Mama tidak mengizinkan Jeya memelihara kucing—yang notabene adalah hewan kesukaannya—karena takut cakar kucing bisa bahaya untuk Jeya.

Tiba-tiba mama mendekat. Meletakkan sekotak bekal untuk Jeya. Lantas pergerakan tangan Jeya terhenti, ia mendongak ke arah mama yang tersenyum padanya. Mungkin mama sudah tidak marah lagi.

"Buat sarapan kamu," lirih mama sambil mengusap surai legam Jeya. Orang-orang yang sedang menikmati sarapan di meja makan sepertinya memang tidak peduli pada Jeya. Itu yang Jennifer tangkap sehingga Jeya berhenti dari rutinitas tersebut. Rutinitas ikut hadir di meja makan seperti sebelum-sebelumnya. "Maafin Mama ya, Nak?" Jennifer kembali berucap.

Jeya lantas menggeleng cepat. "Mama nggak salah apa-apa. Kenapa minta maaf?"

Mungkin, orang-orang di meja makan tidak bisa mendengarkan kalimat Jeya.

"Mama belum bisa nepatin janji untuk bahagiain Jeya." Kalimat Jennifer lirih, hampir seperti berbisik dengan kedua matanya yang mulai tergenang.

"Ma, I'm okay," ucap Jeya menegaskan kalau ia baik-baik saja. Yah, setidaknya Jeya masih bisa menahan semuanya. Itu makna baik-baik saja bagi seorang Jeya Kalandra.

Jennifer mengangguk, mengusap air matanya sebelum benar-benar membasahi pipinya, untuk kemudian kembali tersenyum menatap Jeya.

"Aku nggak apa-apa. Jadi Mama juga nggak perlu khawatirin apa pun. Hm?" ujar Jeya yang sekali lagi dibalas anggukan oleh Jennifer. "Kalau gitu aku pamit dulu, Ma." Lantas, Jeya benar-benar beranjak dari dalam rumah tersebut.

Jennifer baru saja hendak kembali ke meja makan saat Ghio tiba-tiba berdiri. Menyudahi sarapannya yang masih tersisa banyak di atas meja.

"Aku berangkat, Ma, Pa."

Mama menatap sulungnya bingung. Tiba-tiba? Padahal ia baru bergabung untuk sarapan belum ada lima menit. "Kamu baru sarapan lho, Nak? Nggak dihabisin dulu?"

"Nggak usah, takut telat," seru Ghio. Buru-buru ia menyampirkan ransel di bahunya, bergegas memakai sepatu meski asal-asalan, lantas menyalami punggung tangan kedua orang tuanya. "Daah, Mama! Daah, Papa!"

"Hati-hati, Nak!" pekik Jennifer saat Ghio sudah menghilang dari balik pintu utama yang terbuka lebar. Lantas menengok jam dinding di dapur. Padahal Ghio biasa berangkat sekolah 15 menit sebelum jam tujuh. Sekarang baru jam 6 pagi.

Hello, Stranger!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang