Delapan

527 114 29
                                    

Jimin

Ia ditinggalkan di kamar kos sendirian pukul delapan pagi. Jeongguk berpamit untuk ke kantor dan berpesan kalau Jimin boleh menitip apa saja selama tubuhnya belum stabil. Beberapa botol cairan vitamin C sudah tergeletak di atas lantai dan malas betul membuangnya ke tempat sampah. Tenaga yang tersisa untuk Jimin sekarang beraktifitas adalah bangun dari kasur, mandi sebentar, dan kembali tidur. Menggulung diri di dalam selimut. Benar kata Jeongguk, suhu tubuhnya sudah mulai menurun akibat dipeluk semalaman oleh pemuda berbadan gempal itu. Awalnya memang tidak nyaman, Jimin akui. Sudah lama rasanya ia tidak tidur sendirian. Terakhir kali adalah dengan sosok yang entah ada dimana, sekarang. Eunwoo sendiri tipikal yang menghargai batas privasi. Laki-laki itu bahkan lebih memilih tidur beda ruangan ketimbang mengganggu Jimin yang kelihatan ingin sendirian. Entah dalih atau memang wajah Jimin selalu kelihatan garang saja.

Ketukan pintu beberapa kali memaksa Jimin untuk bangkit sedikit dari kasur. Menggenggam kenop pintu dan membukakan untuk siapa saja masuk dan bersuara. Aroma jeruk nipis dan mint yang sejuk menyambangi penciuman Jimin yang setengah-setengah. Ingusnya memang tidak mau mengalah.

"Ada apa kemari, Hoseok?" tanya Jimin sambil kembali merebahkan diri di atas kasur. "Kamu tidak ke kantor?"

"Ya, menyambangi ke, lah." Hoseok melipir masuk. Tubuhnya berhenti di ambang pintu serupa patung. Seperti seseorang yang baru saja dikutuk jadi batu. Diam ditempat. "Ke ngapain saja, kok, berantakan sekali kamarmu? Ndak seperti biasanya."

"Karena aku sedang sakit," jawab Jimin sekenanya. Tidak mau ambil pusing. "lagipula bersih-bersih juga buat apa? Tidak ada tamu yang bakal datang kecuali kamu yang mendadak begini. Jadi pasrah saja mau kayak apa rupa kamarku."

Pandangan mata Hoseok memincing. Bersorot pada Jimin yang ada di atas kasur, samping tempatnya berdiri sekarang. "Siapa yang baru kemari?"

"Tidak ada," jawab Jimin tidak acuh, "jangan mulai tanya aneh-aneh, deh."

"Kamu kayak sedang berbohong."

"Aku sedang sakit. Tidak ada tenaga buat bohong."

Hoseok berjalan cepat-cepat. Mendekat pada gelang tali yang bercampur perpaduan antar sembilan warna berbeda. Bahkan Jimin sendiri tidak pernah mengira kalau kumpulan benang itu ada di atas meja sedari tadi. "Ini?" pekik Hoseok, "punya siapa? Kan, kamu belum pernah aku ajak melukat? Ndak mungkin kalau punya gelang ini."

"Punya teman," kilah Jimin, "aku pinjam. Dia juga bilang, kok, kalau itu dari pura."

"Jim, kamu memang bukan orang Bali dan ndak tahu cara dapat gelang ini bagaimana. Jadi bohongmu sangat kelihatan."

"Cuma gelang biasa, kan? Kenapa kamu curiga ke gelang, Hoseok?" Jimin mendengus geli. "Setidakpernah itu, kah, kamu melihat aku pakai gelang?"

Hoseok diam. Sorot matanya makin menghakimi saja seiring berjalannya tubuh itu mendekat. "Kamu tahu ini gelang apa?" tanyanya. Ia tentu sudah tahu jawabannya sendiri tanpa Jimin repot-repot menjawab.

Jadilah ia diam membisu. Menyelamatkan diri sendiri supaya tidak dianggap lebih bodoh.

"Ini sangadatu." Hoseok angkat gelang warna-warni yang masih ada di genggaman tangannya. "Cara mendapatkan gelang ini adalah kamu harus ke Besakih. Pura Agung yang jaraknya lebih dari lima puluh kilometer. Satu jam setengah dari Denpasar."

Jimin masih bungkam.

"Kamu belum pernah kemana-mana karena aku bisa pastikan kalau temanmu cuma aku disini," kata Hoseok. "Jadi ini punya siapa? Berebut gelang ini juga ndak main-main susahnya, lho, Jim."

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang