Bab 4: Kabar Pemupus Harap

8 2 0
                                    

Waktu terus berlalu dan kehidupan tetap berjalan. Nissa menyibukkan diri dengan pekerjaan. Toko bunganya yang mulai berkembang pesat mampu mengalihkan perhatian. Dia menyadari, dirinya ibarat duri dalam daging di antara hubungan Dwiki dan Vania. Nissa tak memungkiri, rasa yang tumbuh di hati terhadap Dwiki lahir sebelum mengenal lelaki itu lebih dekat. Kini, dia tak akan membiarkan rasa itu tumbuh dan berkembang. Dia bahkan berharap semua perasaannya kepada Dwiki perlahan hilang dan mati dengan sendirinya.

Akhir-akhir ini Nissa berusaha untuk menghindari Dwiki dan Vania, walau agak sulit dan perlu waktu. Selain menawarkan pasokan tanaman yang berkualitas ke beberapa dunia usaha yang bergerak di perhotelan, rumah makan dan butik-butik terkenal yang menerima pasokan tetap untuk menghias tempat mereka. Nissa juga menerima tender untuk memasok tanaman bagi event-event tertentu, seperti untuk dekorasi pernikahan, pesta, dan sebagainya.

Di setiap acara itu Nissa sering bertemu Vania dan Dwiki. Ketika bertemu Nissa mencoba bersikap biasa, bahkan kadang kala hanya sekedar menyapa atau Say Hallo saja. Vania acap kali menghubunginya untuk menghadiri pesta bersama tetapi Nissa berusaha menolak dan bersikeras untuk tidak mengikuti. Nissa tak mempedulikan kekecewaan Vania kepadanya.

Namun sore ini, setelah dua bulan hampir berhasil menghindar dan melupakan semua. Tiba-tiba Vania mendatangi Nissa di toko. Kali ini tidak untuk meminta tolong atau mengajak menghadiri acara tetapi membawa berita yang membuat patah hati.

"Ini terlalu cepat, Nissa," ujar Vania yang sedari datang berjalan mondar-mandir tidak jelas.

Saat itu Nissa hanya duduk terpaku di meja kerja setelah Vania mengabari. Apalah daya jodoh bukan kehendaknya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalian sudah membicarakan?" tanya Nissa memendam kekalutan.

"Dua bulan yang lalu Mas Dwiki sudah membicarakan masalah ini," jawab Vania gusar.

"Lalu?"

"Aku sudah mengatakan kepadanya untuk memberi waktu." Vania mendesah, "Kini Mas Dwiki tidak mau menunggu, dalam waktu dekat keluarganya akan bersilaturahmi ke rumah Orang tuaku, Nissa,"

Bahu Nissa terkulai lesu, antara lara dan pilu. Dia berpikir akan sanggup menghadapi kenyataan, tetapi ternyata masih sesakit ini.

"Kapan acaranya?" tanya Nissa berusaha agar suaranya terdengar biasa-biasa saja. Apalagi yang bisa dilakukannya sekarang kecuali memberi dukungan.

"Dua hari lagi," sahut Vania. "Tadi pagi mama menghubungi aku, mengingatkan."

Kegelisahan belum hilang di wajah Vania. Nissa terbayang perbincangan terakhirnya dengan Dwiki. Ternyata pemuda itu merealisasikan ucapannya.

"Turuti saja keinginan Mas Dwiki, bagaimana , Vania?" usul Nissa walau setengah hati.

Kepala Vania langsung menggeleng, "Cita-cita ku belum tercapai, Nissa."

Nissa menghembuskan napas resah,,  "Apalagi yang kamu cari, Vania. Semua sudah di tangan. Tidak baik menolak lamaran seorang laki-laki yang baik, nanti akan terjadi fitnah."

"Aku tak peduli dengan semua itu, saat ini aku sedang mengikuti seleksi pemilihan model, Nissa." Vania menyebut nama agency itu.

Mata Nissa melebar menatap Vania begitu mendengarnya, "Bukankah agency itu menangani model-model internasional, Vania."

Senyum Vania melebar, "Iya, dan kamu  tahu, itu adalah salah satu cita-cita ku. Menjadi model internasional."

Pandangan Nissa berubah gundah, dia menggigit bibir bawahnya, "Mas Dwiki sudah mengetahui semua ini?" tanyanya kemudian.

Vania menggeleng, "Belum."

"Mengapa belum kamu beritahu?"

Vania tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Mas Dwiki pernah berkata bahwa dia tidak main-main dengan hubungan kami. Jika aku belum siap untuk serius lebih baik semua sampai disini saja."

Nissa tercekat menelan ludah, jantungnya berdebar, "Lalu, mengapa kamu tidak ambil keputusan sesuai keinginanmu, Vania? Memilih karir dan meninggalkan Mas Dwiki?" tanya Nissa hati-hati sekali, khawatir Vania bisa mendengar degub jantungnya.

Kepala Vania menggeleng cepat, "Tidak,  aku bisa meraih keduanya, tak akan ada yang aku lepaskan," jawab Vania keras kepala. "Kamu tidak tahu kerugian apa yang kualami jika melepaskan Mas Dwiki?"

Kening Nissa berkerut samar, "Apa maksudmu, Vania?"

"Kau pikir aku menjalin hubungan dengan Mas Dwiki hanya semata-mata karena perasaan, Nissa?" kata Vania lugas. "Tidak, kau salah. Melalui Mas Dwikilah aku bisa mengenal pemilik agency ini. Pengaruh keluargaku tidak sebanding dengan pergaulan Mas Dwiki."

Nissa terkesiap tidak menyangka dengan perkataan Vania barusan, "Maksudmu, kamu memanfaatkan Mas Dwiki?" Nissa membuang napas, menggeleng-gelengkan kepala tidak terima. "Kamu keterlaluan, Vania!"

Vania mengakat bahu tanpa beban, sedikitpun rasa bersalah tidak timbul di wajahnya.

"Jika hanya tampan dan mapan prioritasku, Nissa. Lelaki melebihi Mas Dwiki banyak di sekitarku," ujar Vania sombong.

Nissa memejamkan mata, mengepalkan tangan menggeram, menahan diri untuk tidak terpancing. Hatinya teriris, bayangan Dwiki berkelebat. Bisa-bisanya Vania memperlakukan Dwiki seperti itu.

"Kamu tidak boleh seperti itu, Vania!" bantah Nissa menahan emosi. "Orang sebaik Mas Dwiki tak pantas kamu perlakukan seperti itu."

Vania mengibaskan rambut, bersedekap tidak terpengaruh. "Aku datang ke sini untuk bercerita, Nissa, bukan untuk mendengarkan penilaianmu terhadap Mas Dwiki."

"Iya, tetapi aku tidak terima perlakuan mu terhadap Mas Dwiki," sela Nissa.

"Kenapa? Apa pedulimu?" jawab Vania menantang. "Dia bukan siapa-siapa bagimu, atau jangan-jangan....?" Vania menggantungkan ucapannya. Dia menatap Nissa dengan mata disipitkan, "Kamu diam-diam mencintainya, Nissa?"

Nissa tergagap, sesaat tak tahu berkata apa. Dia tidak mengira Vania bisa menebak hatinya.

"Aku akan melakukan hal ini kepada semua orang, Vania. Bukan hanya kepada Mas Dwiki seorang," jawab Nissa membela diri dengan suara meninggi. "Kelakuanmu sudah kelewat batas."

Nissa menghembuskan napas, menenangkan diri yang mulai terbawa emosi. Tangannya bertumpu di atas meja memijit keningnya. Dia harus bisa mengendalikan perasaannya.

"Maaf," gumam Nissa pelan. Menatap Vania yang memandangnya dengan pandangan tidak bisa diartikan. "Semua keputusan ada di tanganmu."

"Aku tak akan memilih salah satu, Nissa. Keduanya sangat penting bagiku," ujar Vania.

Kepala Nissa mengangguk lemah. Mengalah seperti biasa yang dia lakukan apabila berselisih paham dengan Vania.

"Mama menanyakan kamarmu tadi pagi. Dia menyuruhmu datang di acara silaturahmi besok." lanjut Vania kemudian.

Mulut Nissa akan mengucapkan alasan untuk menolak, dia tidak akan sanggup menghadapi kenyataan.

"Tidak ada penolakan, Nissa, aku sudah muak dengan berbagai alasan tak masuk akal mu dua bulan ini," ketus Vania.

Nissa kembali menghembuskan napas, tak berdaya. "Akan aku usahakan." Dia akhirnya berkata lemah.

"Baiklah, aku tunggu. Jika kamu tak datang, aku seret kamu dengan toko ini," kata Vania sembari berlalu ke pintu. Apakah bercanda atau ancaman, entahlah,  Nissa tidak tahu.

Lelah terasa, Nissa menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, menengadah menatap langit-langit ruang kerjanya. Meratapi nasib yang sial kuadrat hari ini. Pupusnya harapan kepada Dwiki dan kembali kalah sama Vania yang suka mengintimidasi.

*****

Cinta Yang TergantikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang