Bab 3: Sepanjang Perjalanan

9 2 0
                                    

"Pestanya meriah, ya."

Nissa meluapkan perasaannya, dia tak bisa menutupi rasa senang di hati karena telah menghadiri perayaan ulang tahun Hafiza. Tuan rumah yang ramah dan anaknya yang  lucu menggemaskan langsung membuat Nissa jatuh cinta. Dia mengakui untuk pertama kalinya betah berada di lingkar pertemanan Vania. Jika tidak diingatkan Dwiki, dia tidak tahu kalau hari sudah mulai gelap.

"Hafizha menyukai coklat pemberianmu. Sudah tidur pun dia masih menggenggam coklat itu," tanggap Dwiki yang duduk disebelahnya.

Nissa tersenyum kecil mendengar tanggapan Dwiki," Iya, padahal coklat itu sudah dimakannya separuh," tanggapnya

Dia melirik lelaki yang sekarang duduk disampingnya kini. Sewaktu akan pulang tadi, Dwiki menawarkan untuk ikut mobilnya. Awalnya Nissa menolak karena mengira hanya berdua saja, tetapi setelah tahu ada sopir. Nissa akhirnya menumpang mobil Dwiki.

"Vania rugi tidak datang hari ini," gumam Nissa pelan namun tertangkap juga oleh telinga Dwiki.

Kernyitan samar terlintas di wajah  Dwiki, tetapi hanya sekilas. Raut wajahnya kembali datar.

"Kalaupun dia punya waktu, dia tetap tidak akan datang," sela Dwiki ringan. Dia menoleh memandang Nissa. "Vania tidak menyukai acara-acara seperti tadi."

Nissa bergeming, berpikir akan menjawab apa. Dia harus hati-hati, Vania adalah sahabat karibnya dan dia juga memahami, bahwa Dwiki lelaki yang sangat berarti bagi Vania.

"Vania sudah mengorbankan banyak hal untuk meraih apa yang telah dicapainya sekarang. Jadi wajar jika dia lebih memprioritaskan karir daripada menghadiri acara-acara yang menurutnya tidak penting," jelas Nissa membela.

Dwiki mengakat bahu, acuh tak acuh." Sudah berapa lama kamu mengenal Vania?"

Nissa diam sejenak, mencoba mengingat, "Sedari kecil, kalau dekat ketika masuk SMP."

Dwiki diam mendengarkan.

"Kami tetangga," lanjut Nissa. "Rumah orangtuanya dekat dengan rumah bibiku."

"Rumah bibimu?" tanya Dwiki menoleh menatap Nissa.

Nissa mengangguk, "Iya, aku tinggal dengan bibi dan paman," jawab Nissa. Wajahnya merubah mendung, "Orang tuaku meninggal karena kecelakaan."

Hening mengudara, Dwiki menyesal telah mengajukan pertanyaan yang membangkitkan kesedihan Nissa.

"Di daerah kami, kakek Vania orang yang terpandang dan mempunyai pengaruh penting. Ekonomi keluarga mereka diatas masyarakat sekitar. Jadi, untuk berteman dengan Vania sewaktu kecil bukanlah mudah," jelas Nissa beberapa saat kemudian. "Waktu SMP bisa dekat karena duduk sebangku."

"Dan aku yakin, dia mau duduk denganmu karena tidak ada yang mau duduk dengannya," sela Dwiki.

Alis Nissa terangkat heran, menoleh ke arah Dwiki, "Dari mana Mas Dwiki tahu? Apa Vania cerita?"

Dwiki menggeleng dan tertawa kecil, "Aku mengenalmu sewaktu kita bertemu di pesta itu, Nissa. Vania tidak pernah bercerita tentang kamu. Selama ini aku hanya bertemu dengan teman-temannya yang berbeda dengan kamu, makanya aku heran saat itu dia berbicara denganmu yang dari cara berpakaian saja tidak masuk perhitungan dia," jelas Dwiki. Dia menyandarkan dirinya ke sandaran mobil, membuang pandangan dan mendesah, "Tidak perlu mengenal lama untuk mengetahui sifat Vania, Nissa."

Mendengar kata-kata Dwiki, Nissa mengalihkan pandangan ke depan. Menatap jalanan di samping supir, membenarkan perkataan Dwiki barusan.

"Ceritakan padaku, apa yang membuat kamu betah bersama Vania, Nissa?"

Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Nissa tidak mau terjebak. Bagaimanapun status Dwiki adalah pacar sahabatnya. Vania memang memiliki kepribadian yang tidak semua orang suka, tetapi bukan berarti semua  Nissa belum lama mengenal Dwiki dengan dekat. Jadi, tidak semua informasi harus diberikan.

Mata Nissa kembali menatap Dwiki, "Mas Dwiki sendiri, mengapa mau jadi pacar Vania?" jawab Nissa dengan pertanyaan.

Dwiki menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan, lalu menatap Nissa, "Entahlah," jawabnya.

Alis Nissa berkerut, memandang Dwiki heran, "Entahlah?"

Dwiki mengangkat bahunya dengan gerakan sambil lalu, "Semuanya terjadi begitu saja, Nissa. Aku bertemu Vania di suatu pesta, kemudian sering bertemu lalu kami makan bareng dan tahu-tahu Vania mengklaim kami pacaran," jawab Dwiki ringan.

Penjelasan Dwiki semakin membuat Nissa bingung, tidak mengerti. "Maksudnya?"

Dwiki tidak langsung menjawab. Ia berpikir lagi, lalu berkata, "Aku ini sibuk, Nissa. Dengan pekerjaan yang seabrek dan jam kerja yang tak menentu, aku nyaris tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan dunia di luar pekerjaan. Bahkan tujuanku menghadiri acara-acara itu, selain memenuhi undangan aku gunakan juga untuk menemui klien. Jadi, aku tak punya waktu untuk memikirkan apa alasanku menjadi pacar Vania."

"Apa!" sahut Nissa kaget mendengar penjelasan Dwiki. Alasan tidak masuk akal, bagaimana mungkin sebuah hubungan dibangun tanpa ada landasan.

"Jadi, apa mas Dwiki tidak mencintai Vania," tanya Nissa blak-blakan. Dalam hati dia tidak terlalu juga seandainya Dwiki mempermainkan Vania.

"Cinta itu hadir sesudah menikah, Nissa. Itu prinsipku, beberapa orang terdekatku sudah mengalaminya. Aku mengambil pelajaran dari mereka."

Nissa tertegun, semua ini sungguh di luar perkiraannya. Seorang Dwiki punya prinsip seperti itu. Lelaki yang dari penampilannya saja, orang akan menilai dia mempunyai pikiran maju serta modern dan paham kebebasan pasti mempengaruhi.

"Jadi, akan dibawa kemana hubungan Mas Dwiki dengan Vania?"

"Mengalir saja, Nissa, seperti air." Dwiki menjawab tegas. "Kalau sudah bertemu ujungnya dia akan berhenti di muaranya."

Nissa menahan napas yang mendadak terasa sesak, "Apa, Mas Dwiki, berniat menikahi Vania?" tanya Nissa hati-hati.

"Kenapa tidak," jawab Dwiki mantap. "Usia ku sudah pantas untuk berumah tangga, umur Vania pun pas bila diajak menikah. Jadi, kalau sudah sampai waktunya kenapa harus ditunda."

Kalimat itu membuat Nissa membeku dan dia kehabisan kata-kata yang akan diucapkan dari lidahnya tercekat. Ia menundukan wajah, perkataan Dwiki barusan menambah kekagumannya. Pada zaman ini banyak laki-laki sukses seperti Dwiki yang menghindari ikatan pernikahan, tetapi Dwiki sudah mantap memasuki jenjang itu.

"Hidup ini pilihan, Nissa. Baik dan buruk itu ada di tangan kita. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Pertemuan, rezeki, jodoh serta maut sudah ada yang mengatur. Saat ini kita hanya proses menjalankan takdir."

Mata Nissa terpejam, betapa beruntungnya Vania. Dwiki merupakan sosok idaman semua wanita termasuk dia. Jika jatuh ke tangannya, Nissa berjanji tidak akan melepaskannya.

*****

Cinta Yang TergantikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang