Kotak-kotak yang berisi panganan yang dibutuhkan untuk acara malam ini dikeluarkan Nissa dari mobil pamannya. Dia membawa barang-barang tersebut melalui pintu dapur ke dalam rumah bertingkat yang mewah. Beberapa pelayan membantu pekerjaan Nissa.
"Nissa, letakan kotak-kotak itu di atas meja. Tinggalkan pekerjaan ini biar yang lain saja mengerjakan, kau ke depan. Periksa persiapan di ruangan depan," perintah seorang wanita cantik dan anggun dengan pakaian beludru yang elegan.
"Baik, Tante," jawab Nissa. Menoleh ke arah mama Vania yang hampir setengah abad tetapi kecantikannya belum memudar.
"Perhatikan dekorasinya, Nissa. Tante mau menelepon Vania, kemana anak ini, ah. Di telepon dari tadi tidak diangkat," kata mama Vania gusar sembari sibuk dengan ponselnya.
Nissa meletakkan beberapa barang yang masih dipegangnya, merapikan sesaat di atas meja.
"Jika tidak memikirkan kamu dan pamanmu, bibi malas ikut ke sini, Nissa," sungut seorang wanita yang sebaya dengan mama Vania. Bi Aini, wanita yang membesarkan Nissa sesudah orangtuanya meninggal.
"Bibi tidak suka dengan gaya si Murni itu yang main perintah saja sama kamu," lanjut bi Aini lagi.
"Sudahlah, Bi, itu sudah biasa," jawab Nissa. Memahami apa yang dirasakan wanita separuh baya itu. "Aku ke depan dulu, Bi."
Nissa meninggalkan dapur yang sibuk itu, menuju ruang tamu melewati mama Vania yang masih sibuk dengan telepon genggamnya.
Kombinasi ungu dan putih serta rimpel keemasan menghiasi ruangan yang mulai ramai. Semua sudah tampak sempurna, berbagai hiasan bunga lily dan anggrek putih yang dibawa dari toko Nissa mendominasi sehingga suasana tampak mewah dan indah.
"Sudah datang anakmu itu, Bahtiar?" terdengar suara menggelegar. Membuat Nissa sontak menoleh ke arah laki-laki tua yang berjalan memasuki ruangan. Nissa mengenal lelaki itu, kakek Vania yang telah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun tetapi masih kelihatan tegap.
"Ini akibat anak selalu dimanja dan dituruti kehendaknya, membuat malu orang tua. Orang-orang sudah berdatangan tetapi dia entah kemana." Suaranya terdengar lagi.
Papa Vania yang sedang mengobrol dengan paman Nissa dan beberapa tamu segera mendekati, memberi penjelasan.
"Non Vania, memang keterlaluan."
"Iya, pihak laki-laki sudah dalam perjalanan. Kabarnya hampir sampai."
"Pergi sedari tadi malam belum pulang juga."
Terdengar suara-suara dibelakang Nissa, para pelayan yang sedang merapikan barang yang tidak diperlukan.
Nissa membuang napas, matanya menatap papa Vania, pamannya dan beberapa orang sedang berkumpul di dekat kakek Vania. Dia membuka ponselnya, membaca pesan dari Vania. Sebelum datang ke rumah Vania tadi, gadis itu sempat menghubungi dan mengabarkan dia sedang dalam proses penyeleksian.
Di saat mereka sedang sibuk, dari pintu dapur, mama Vania keluar dengan tergopoh-tergopoh, berjalan mendekati papa Vania. Kepanikan tampak melanda, mama Vania menuju ke arah Nissa.
"Nissa, siapkan dirimu. Sambut tamu yang akan datang, keluarga Dwiki sudah di depan pintu," perintah Mama Vania yang terlihat gelisah. "Tante mau ke kamar mengambil cincin yang telah dibeli Vania kemarin."
Napas Nissa tertahan dan matanya melebar. Cincin, bathinnya. Berarti malam ini bukan sekedar silaturahmi saja, tapi sekalian acara pertunangan.
Langkah kaki Nissa terasa berat, tetapi dia berusaha menggerakkannya. Dari kejauhan serombongan orang berjalan memasuki rumah.
Kakek Vania terlihat bersungut-sungut, ditemani papa Vania, paman Nissa dan beberapa orang yang dituakan di daerah ini menyambut kedatangan rombongan. Nissa berdiri diantara wanita-wanita yang masih punya ikatan saudara dengan Vania.
Dwiki terlihat gagah dengan koko Navy nya. Didampingi dua wanita yang tidak dikenal Nissa. Mereka bersalaman dengan tuan rumah, bercekrama dengan ramah.
"Mengapa berbeda calon menantu mama dengan aslinya, Dwiki?" tanya wanita yang mendampingi Dwiki saat berdiri di depan Nissa. Nissa kaget dan tersenyum kaku, Dwiki segera menoleh dan menatap Nissa dalam.
"Ini Nissa, Mama. Bukan Vania. Dia sahabat Vania," jawab Dwiki sembari memandang Nissa. Kerutan tipis tampak di dahinya. Sedangkan Mamanya menatap Nissa lama membuat gadis itu salah tingkah.
"Silahkan masuk, Tante, semua sudah menunggu." Nissa mempersilahkan dengan canggung.
Mama Dwiki tersenyum tulus dan tetap memandang Nissa dengan pandangan tidak bisa diartikan, lalu berjalan msuk ruangan. Nissa memutar mata dan menghembuskan napas lega.
"Aku tak menyangka kesukaanmu sama coklat bukan hanya pada makanan tetapi juga pakaian, sehingga yang memandang merasa hangat dan nyaman."
Mata Nissa terbelalak dan mulutnya ternganga, namun hanya sesaat dia segera menutupnya. Dia menoleh ke arah Dwiki yang tersenyum manis dan segera berlalu dari hadapannya. Nissa mengerjabkan mata menenangkan jantungnya yang berdegub lebih kencang.
Berbagai alasan dikemukakan oleh orangtua Vania atas ketidakhadiran anak mereka. Kekecewaan tergerai jelas di wajah Dwiki.
Acara terus berlangsung, perbincangan mewarnai awal acara. Kakek Vania mendominasi keadaan, menguasai pembicaraan. Nissa mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu membantu pelayan menghidangkan makanan dan minuman. Dwiki terlihat bosan, berulang kali lelaki itu melirik jam tangannya.
Di dapur ketika Nissa sedang menyusun makanan, dia tidak tahu Dwiki menyusulnya. Muka pemuda itu memerah, seperti menahan marah.
"Mana Vania?"
Nissa terlihat bingung, "Mengapa mas Dwiki bertanya sama aku, bukankah dia pacar mas Dwiki?" jawab Nissa balas bertanya.
Dwiki membuka kacamata dan memijit pangkal hidungnya. Cara yang sama dilakukan Nissa kalau dia juga gelisah.
"Aku sudah mengatakan kepadanya untuk menyelesaikan semua jika dia tidak siap," ujar Dwiki muram dan mengambil tempat duduk di meja makan di hadapan Nissa. "Dia memang keras kepala."
Pekerjaan di depannya dijadikan Nissa pengalihan dari kehadiran Dwiki. Sekilas dia melirik pemuda yang sedang mengusap kasar mukanya. Pembicaraan dengan Vania kemarin membayangi Nissa.
"Sebagai model, mas Dwiki harus memahami jadwal Vania yang tidak menentu." Nissa mencoba memberi pemahaman.
Desahan tidak sabar terdengar, Nissa mengakat wajah menatap Dwiki. Sesaat pandangan mereka bertemu, Nissa segera membuang pandangan.
"Aku tak meminta dia untuk memilih, Nissa, yang aku inginkan dari dia, tegas bersikap dalam hubungan kami. Dia boleh bertindak semaunya kepadaku tapi tidak kepada Orang tuaku." Dwiki berkata tegas.
Nissa tertegun, menghargai lelaki dihadapannya yang memikirkan perasaan orang tua.
"Mas Dwiki sudah meneleponnya?" tanya Nissa mencoba meredam suasana.
"Sudah, ponselnya sekarang mati," jawab Dwiki kesal.
Nissa terpekur, merutuki perbuat Vania. Apalagi rencana gadis itu sekarang. Membuat bingung banyak orang.
"Dalam waktu setengah jam, jika dia belum datang. Batalkan saja acara pertunangan ini." Dwiki sekali lagi berkata tegas dan berdiri dari tempat duduk.
Nissa kaget berjalan mengikuti Dwiki, "Mas Dwiki tidak boleh seperti itu," bantah Nissa.
Mereka menghentikan langkah, sekarang berdiri berhadapan. Nissa mendongak menatap Dwiki yang lebih tinggi darinya.
"Apalagi yang ditunggu, Nissa, dengan bersikap seperti ini Vania sudah menentukan pilihannya," jawab Dwiki tinggi.
"Beri Vania waktu, Mas Dwiki."
"Aku sudah memberinya waktu dua bulan dan dia melanggar kesepakatan kami."
"Tapi, Mas Dwiki....
Kata-kata Nissa yang akan terucap terpotong oleh suara pintu terbuka dan dihempaskan. Serentak mereka menoleh dan terkejut melihat siapa yang datang.
"Vania!"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Tergantikan
RomanceAnissa Rahmah tidak pernah mengira kedatangannya di pesta pernikahan sahabatnya akan merubah jalan hidupnya.