Andira meremas rok birunya kuat. Sedetik setelah ia memasuki ruang kelas dengan tulisan 'Gugus Satu Bangsa' di pintunya, pandangannya langsung bertemu dengan manik kelam yang sangat dibencinya.
Sial! Meta bilang, Jehian melanjutkan sekolahnya di SMA Mandala, bukan di SMA Garuda seperti dirinya. Tapi melihat presensi laki-laki itu di ruangan ini sekarang membuat Andira merengut kesal.
Dengan perasaan berantakan, Andira memaksakan kakinya melangkah menuju bangku kosong yang tersisa, yang sialnya berada tepat di depan Jehian.
Ya Tuhan! Haruskah Andira mengulang penderitaannya karena Jehian lagi? Tiga tahun itu sudah sangat cukup membuat hidupnya kacau balau. Ingin rasanya ia pulang ke rumah, mengadu pada mamanya untuk dipindahkan ke sekolah mana saja asal tidak ada Jehian. Namun sama saja, itu namanya ia membawa dirinya sendiri ke malaikat maut. Karena mamanya tidak pernah mengajarnya menjadi seorang pengecut yang senang lari dari masalah.
Andira menoleh saat dirasanya seseorang mencolek lengannya. Perlahan ia mengendurkan wajahnya yang tanpa disadarinya mengeras sejak tadi. Ia menatap gadis di sebelahnya itu dengan alis yang terangkat, yang membuatnya terlihat sangat sombong.
"Gue Hana dari SMP 27. Salam kenal," sahut gadis di sebelah Andira seraya tersenyum lebar.
"Iya," jawab Andira seadanya lalu kembali menoleh ke depan. Melihat respon Andira, Hana mengerutkan kening. "Hm, nama lo?"
"Andira."
Singkat. Cukup singkat untuk membuat Hana akhirnya diam, tidak bertanya atau mengobrol lebih lanjut. Gadis itu nyatanya cukup segan pada Andira yang terlihat sedang tidak mood mengobrol.
Sementara laki-laki yang duduk persis di belakang Andira hanya menatap jengah punggung gadis itu. Ia terlalu peka untuk menyadari bahwa Andira kini menahan kesal karena melihat dirinya ada di kelas dan sekolah yang sama dengan perempuan itu. Sampai sekarang pun ia tidak pernah tau alasan kenapa Andira sangat membencinya. Gadis kekanakan itu membuat Jehian bingung sekaligus kesal.
Siapa yang tidak kesal saat tahu ada orang yang terlihat sangat tidak menyukaimu yang bahkan kamu sendiri tidak tahu apa salahmu.
Seingat Jehian, di awal-awal kelas tujuh kemarin, ia sempat dekat dengan Andira. Mengingat bagaimana keduanya akrab karena sering mendiskusikan materi pelajaran bersama, atau bahkan saling bertanya tentang materi yang mereka tidak pahami, membuat Jehian tidak pernah mengira Andira akan berbalik sangat membencinya hingga sekarang.
Ah dasar gadis kekanakan itu!
***
Andira berjengit kaget ketika seseorang tiba-tiba menahan lengannya. Gadis itu menoleh lalu melengos begitu saja saat mengetahui siapa yang menahan tengannya.
"Lepasin!" katanya lalu menyentak tangan Jehian yang mencengkram lengannya, membuat Jehian melemparkan tatapan tajamnya.
"Lo keliatan ga seneng tau kita satu sekolah lagi."
Itu bukan sebuah pertanyaan tentu saja. Dan mendengar kalimat yang keluar dari mulut Jehian itu membuat Andira tersenyum miring, gadis itu mengangkat kedua tangannya di depan dada, menatap Jehian dengan pandangan benci. "Seneng ga senengnya gue, urusan gue. Bukan urusan lo!"
"Lo tau? Lo itu childish banget tau, egois, ambis-"
"Gue rasa gue ga butuh penilaian lo!" Andira segera menyela perkataan Jehian. Gadis itu memandang tidak suka ke arah Jehian. "Lo sama gue ga sedeket itu buat saling ngomentarin sikap masing-masing."
Setelah mengatakan itu, Andira segera melangkah meninggalkan Jehian sebelum interaksi mereka ini dilihat oleh kakak kelas atau siapapun warga sekolah ini. Andira tidak mau mereka berpikir ia akrab dengan Jehian.
Gadis itu kemudian memasuki mobilnya yang sudah menunggunya di gerbang sekolah. Setelah ia berhasil mendudukkan dirinya di dalam mobil, Andira meminta ponselnya yang ia titipkan pada pak Sardi, supirnya, karena siswa baru dilarang membawa ponsel saat kegiatan PLS atau ospek masih berlangsung.
Andira buru-buru mencari kontak Meta dan mengirimi pesan pada gadis itu.
Dira: metaaa
Dira: jehian kok ada di garuda
Dira: katanya dia di mandala, gimana sih
Meta: hah?
Meta: gue yakin banget gue liat dia ambil formulir di mandala bareng radit
Meta: duh sorrrryyyy dir huhuh
Andira hanya bisa menghela napasnya. Ia kemudian membalas pesan Meta, mengatakan bahwa ia tak apa dan gadis itu tidak perlu merasa bersalah.
Namun pada kenyataannya, ia tidak baik-baik saja. Jehian adalah mimpi buruknya selama tiga tahun ini. Seandainya ia tahu Jehian akan memilih SMA Garuda juga, Andira tidak perlu susah payah memohon-mohon pada mamanya agar ia diizinkan sekolah di SMA Garuda kemarin.
***
"Katanya hasil tes ujian masuk SMA Garuda baru diumumin setelah PLS 'kan. Mama harap kamu ga bikin mama malu lagi dengan posisi andalan kamu itu. Ingat, harus jadi nomor satu, Dir."
Andira menghentikan kegiatan menyuap nasi ke dalam mulutnya ketika Helena, mamanya berkata dengan nada dinginnya tanpa repot-repot menoleh padanya.
Gadis itu lupa, kapan terakhir kali mamanya memandangnya dengan sorot penuh kasih, kapan terakhir kali mamanya berbicara dengan nada lembut padanya.
"Iya, ma. Andira janji sama mama," jawabnya seadanya. Meski dalam hati ia sudah ketar ketir saat ini. Jehian adalah saingan terbesarnya, penghalangnya menjadi nomor satu di sekolah menengah pertama kemarin. Dan keberadaan Jehian di sekolah yang sama dengannya, sedikit banyak membuat Andira cemas.
Helena meletakkan sendoknya. Netra coklat gelapnya menatap anak perempuannya yang sedang menikmati makanannya dalam diam. "Untuk les privat kamu, kita akan bicarain lebih lanjut setelah proses pembelajaran di sekolah kamu udah aktif."
"Iya, ma," jawab Andira lagi.
Wanita awal 40-an itu sadar, bahwa ia memang terlalu keras pada Andira. Tapi semua untuk Andira sendiri, untuk menjamin hidupnya di masa depan. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa, Helena beranjak begitu saja, membuat Andira memandangnya dengan sorot sendu.
"Dira kangen banget sama mama," batinnya.
Andira menelan makanannya dengan susah payah. Ia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh, karena mamanya benci air mata dan Andira tidak ingin mamanya semakin tidak menyukainya.
🎑
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ambang Karam
Teen Fiction"Lo pengen jadi orang tua yang gimana, Dir?" Perempuan yang ditanya itu mengulas senyum tipis, lalu, berdehem singkat sebelum mulai bersuara. "Gue pengen banget jadi orangtua yang setiap hari ga segan buat meluk dan bilang sayang ke anak-anak gue, g...