I

46 8 0
                                    

Musik berdentum-dentum melalui speaker besar yang terpasang di ruang tamu dan sedikit membuatku pening, tak lupa dilengkapi dengan lampu sorot berwarna warni yang membuat ruangan ini menjadi dua kali lebih bercahaya. Tipikal pesta anak kuliahan yang cukup diminati karena melibatkan alkohol dan permainan truth or dare.

"Dokyeom sedang menatapmu." Bisik Nayoung.

Aku mengikuti arah pandang Nayoung, memang benar Dokyeom sedang menatapku tapi itu bukanlah apa-apa. Ia tidak mengenalku begitupun sebaliknya, namun dalam lubuk hati yang terdalam, aku menaruh perasaan padanya.

"Ayo, kau harus mengobrol dengannya."

Apakah Nayoung gila? Mengajak ngobrol Dokyeom yang notabenenya adalah incaran hatiku di tengah pesta bukanlah ide bagus. Terlalu banyak pasang mata yang akan menimbulkan asumsi, apalagi teman-teman Dokyeom yang terlampau berisik seperti Seungkwan dan Hoshi.

"Ayolah."

"Tidak mau, itu memalukan."

"Setidaknya buat ia terkesan." Nayoung bangkit dari duduknya, "Tunggu di sini."

Belum sempat aku bertanya, Nayoung telah menghilang begitu saja dan meninggalkanku sendirian di atas sofa beludru ini. Dokyeom tak lagi menatapku, kini ia sedang berbincang dengan teman tiangnya yang kuketahui bernama Mingyu.

Singkat cerita, aku telah memendam perasaan pada Dokyeom selama kurang lebih satu tahun. Ia lelaki yang menarik dan baik hati, setahuku begitu. Dokyeom adalah tipe manusia yang selalu dipenuhi humor ke manapun ia pergi, tak heran mengapa jumlah temannya banyak sekali. Berdasarkan informasi yang kudapat dari Nayoung, ia tidak mempunyai pacar sekarang. Entah Dokyeom yang terlalu pemilih atau memang tak ada yang jatuh cinta padanya, kecuali aku.

Malam ini, Wonwoo mengadakan pesta di rumahnya yang dihadiri hampir seluruh mahasiswa dan mahasiswi populer di kampus kami. Sebelum kalian bertanya-tanya, aku tidak termasuk ke dalam orang-orang ini tetapi sahabatku iya. Siapa yang tidak mengenal Lim Nayoung? Ia terkenal karena mengikuti banyak organisasi di kampus, berbeda denganku yang masuk kuliah saja enggan apalagi bergabung dengan organisasi.

Nayoung tahu aku menyukai Dokyeom dan ia berbaik hati mengajakku ke pesta ini padahal Wonwoo hanya mengundang dirinya. Tapi sejauh ini tak ada yang mengusirku jadi aku pikir aman-aman saja. Wonwoo sang tuan rumah juga tak keberatan, meski ia sempat menatapku aneh saat di pintu depan tadi.

"Ini." Nayoung kembali dengan segelas minuman bening di dalam cup plastik, "Minumlah."

"Hah?"

"Minum saja, Luna."

"Bagaimana cairan ini bisa membuat Dokyeom terkesan?"

"Kau akan merasa keren setelah meminumnya."

Umurku 21 tahun dan sudah legal untuk meminum alkohol jenis apapun termasuk yang Nayoung tawarkan. Tapi aku tidak pernah meminum alkohol sebelumnya, selain karena tidak bermanfaat aku berpikir bahwa membeli liquid beraroma tajam ini cukup menguras isi dompet.

"Nayoung, aku tidak--"

"Dokyeom sedang menatapmu sekarang."

Kulirik dengan ekor mata dan pria itu memang menatapku, tapi aku tidak tahu artinya. Apakah aku terlihat aneh? Apakah warna bajuku terlalu gelap? Apakah riasanku jelek?

Sebelum pikiran-pikiran buruk itu mengambil alih isi kepalaku, tangan kananku bergerak lebih cepat untuk meneguk alkohol tersebut. Kurasakan kedua mata Nayoung berbinar dan ia tersenyum.

Namun, belum sampai lima menit, kurasakan perutku bergejolak dan rasa pahit memenuhi lidah dalam sekejap. Kusodorkan gelas plastik itu pada Nayoung dan berlari ke luar ruangan, melewati beberapa pasang mahasiswa yang sedang berdansa dan berciuman. Kepalaku pening, ditambah dengan musik yang mengaung keras dan pencahayaan yang minim. Jantungku berdenyut-denyut ketika aku tersungkur di pekarangan rumah Wonwoo, beberapa orang menatapku khawatir dan dengan cepat menyingkir ketika aku memuntahkan isi perut.

Wonwoo, aku minta maaf, aku minta maaf. Kurapalkan kata-kata itu dalam hati berulang kali sambil berharap muntah ini segera berakhir. Sudah kuduga aku payah dalam hal ini, bukannya membuat Dokyeom terkesan aku malah mempermalukan diri sendiri dengan mengeluarkan isi perut di halaman rumah orang lain. Air mataku merebak, perutku diliputi gelombang rasa mual, minuman sialan itu benar-benar nyaris membunuhku. Nayoung berbohong tentang alkohol yang membuatku keren karena aku layak dinobatkan sebagai pecundang menyedihkan sekarang.

Sampai kurasakan seseorang merangkul pundakku dari belakang, satu tangannya memijit pelan tengkukku agar rileks.

Kuharap itu Dokyeom.

Dan muntahku berhenti. Aku hampir limbung jika saja orang itu tidak merengkuhku lebih dulu, ia memakaikan jaketnya pada tubuhku yang masih gemetar. Wangi parfum maskulin bercampur aroma musk dan cengkeh yang menguar dari jaketnya membuatku tersadar dalam hitungan detik.

Ia bukan Lee Dokyeom, melainkan Choi Seungcheol.

*****

"Kau butuh sesuatu?"

Aku menggeleng dengan mata terpejam, menikmati alunan musik jazz yang terputar di radio.

Sehabis kejadian mengeluarkan isi perut dengan tidak etis sepuluh menit yang lalu, Seungcheol membantuku berdiri dan memapahku ke dalam mobilnya. Ia mengelap bibirku dengan tisu serta memberi sebotol air mineral dingin yang menyegarkan. Kini, aku terduduk di kursi penumpang dengan Seungcheol yang mengemudi di sebelahku, bersedia mengantarkanku pulang ke rumah.

"Bagaimana bisa kau muntah separah itu?"

"Nayoung memberiku segelas alkohol entah jenis apa."

Seungcheol mendecih, "Benar-benar sahabat gila, di mana ia ketika kau muntah tadi? Jelas-jelas ia yang membuatmu seperti itu!"

"Jangan berteriak, kepalaku sakit."

"Maaf," Seungcheol berdeham, "Aku tidak bisa mengendalikan diri."

"Kenapa kau ada di sana?"

Seungcheol termasuk mahasiswa populer namun ia jarang mengikuti pesta-pesta seperti itu. Bersahabat dengannya selama kurang lebih enam tahun membuatku hapal bahwa ia lebih memilih merakit gundam di depan meja belajarnya ketimbang meneguk vodka.

"Aku diundang Wonwoo."

"Tapi kau tidak berniat untuk datang, kau tiba-tiba datang hanya untuk mengurusi diriku yang muntah. Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sana?"

Hening beberapa detik dan Seungcheol menjawab, "Karena ada Dokyeom, kau ada di sana karena ia juga berada di sana, benar kan?"

Pertanyaan itu sederhana dan aku cukup mengangguk mengiyakan, tapi tak kulakukan. Seungcheol termasuk salah satu orang yang mengetahui tentang rasa terpendamku pada Dokyeom, ia tak pernah mengatakan apapun sekaligus tak pernah mendukungku, berbeda dengan Nayoung yang mengupayakan segala cara agar Dokyeom menyadari keberadaanku.

"Aku khawatir jadi aku datang untuk menemuimu tapi ternyata kau sedang tersungkur di halaman dan--"

"Jangan membahas hal itu lagi." Wajahku sudah memanas oleh rasa malu sekarang.

Seungcheol menghela napas, punggung tangannya mengusap pipiku singkat dan hal itu menimbulkan rasa hangat, "Jangan memaksakan dirimu hanya untuk diakui oleh orang lain."

Pernyataan itu menggantung di udara dan aku memilih untuk pura-pura tidur agar Seungcheol tak melihat kedua mataku yang sudah basah.

*****

To be continued...

A/N :

Halo, selamat datang di buku keempat aku. Fyi, sebenernya aku udah jadi Carat jauh sebelum jadi Atiny tapi baru sekarang bisa bikin buku dengan tokoh utama dari member Seventeen yaitu Choi Seungcheol alias S.Coups 😍

Btw lagu yang aku taruh di mulmed baik di chapter ini atau chapter-chapter berikutnya, liriknya relate sama isi ceritanya hehe 😉

Semoga kalian suka sama buku ini ya, sampai jumpa di chapter selanjutnya ❤

MUSK & CLOVE // Choi Seungcheol ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang