Media yang menakjubkan

241 6 2
                                    

_Aku jatuh hati pada pria yang hanya kukenal di udara. Ini tidak benar, aku menolak banyak pria yang sudah jelas nyata di dunia sekelilingku, dan memilih membiarkan rasaku pada pria yang kukenali dari cerita saja._

***

2009

"Bagaimana jika dia laki-laki jelek dan kepala botak? Atau bagaimana jika dia cacat fisik? Apakah kau tetap mau bertemu dengannya? Apa kau yakin?"

Pertanyaan ayah angkatku ini seolah terus terngiang di telinga dan benakku setiap kali aku berbicara dengan Briyan, via telepon. Aku dikenalkan oleh teman sekaligus tetangga sebelah rumah, mbak Nurul. Dia selalu baik kepadaku, dia selalu menjadi teman tempatku berbagi keluh kesah baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Dia lah yang memperkenalkanku pada Briyan, adik sepupunya.

Berawal dari cerita yang selalu mbak Nurul suguhkan setiap kali kami duduk santai berdua dan saling berbagi cerita. Perlahan aku mulai jatuh hati pada Briyan yang diam-diam kami mulai berbicara serius mengenai perasaan kami setelah satu bulan saling mengenal melalui udara (via telepon).

"Bu, Zaraa ke rumah ayah angkat dulu."

"Kau sudah makan siang? Istirahat lah dulu, Nak. Ayah angkat mu tidak akan marah jika kau datang terlambat. Kau baru saja pulang sekolah." Ibu terus berbicara sambil mengikuti langkahku yang terburu-buru hendak keluar dari rumah.

"Ayolah, Bu. Zaraa belum lapar, ibu tau Zaraa tidak suka makan siang."

"Kau sudah kurus kering seperti itu."

Aku memutar balik tubuhku yang semula membelakangi ibu. Aku memelototinya, membuatnya mengatupkan bibir seketika.

"Zaraa terlihat kurus karena badan Zaraa tinggi 'kan, Bu? Berat badan Zaraa saat ini 45kg dengan tinggi badan 169 cm. Ini seksi, dan ideal, hehehe." Aku cekikian memuji diri sendiri untuk menyenangkan hati yang selalu kesal setiap kali mendengar ibu berkata demikian.

"Oh ya ampun, sudahlah. Kau pergi saja, hati-hati di jalan."

"Siap, Komandan!" aku mengangkat satu tangan kanan dan memberikan penghormatan padanya layaknya upacara bendera 17 agustus di lapangan.

Ibu hanya menggelengkan kepalanya melihatku berlalu pergi kemudian. Jalan menuju rumah ayah angkatku melewati rumah mbak Nurul, kulihat dia sedang tertawa riang dengan sebuah ponsel dia tempelkan di telinga kirinya. Aku melambaikan tangan dengan berbicara tanpa suara padanya.

Dia pun membalas dan mengatakan bahwa Briyan sedang menelponnya. Jantungku berdetak cepat mendengar nama Briyan, ini sungguh kacau. Entah aku yang kini mudah luluh telah jatuh hati pada seorang lelaki ataukah ini hanya ekspektasi semata yang terjadi karena aku kerap sekali mendapat pujian dan rayuan gombal Briyan.

Usia kami saat ini hanya berbeda beberapa bulan saja. Briyan duduk di bangku kelas 12 SMA, di sekolah yang tentu sudah nyata elite di perkotaan sana. Sementara aku, hanya gadis desa yang duduk di bangku sekolah swasta yang cukup tersohor di desaku. Aku melanjutkan perjalanan dengan mengayuh sepedaku menuju rumah ayah angkat.

"Salam..." aku mengucap salam sebelum memasuki ruang kerja ayah angkat.

"Masuk!" sahut ayah dari dalam ruangan.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kulihat ayah sedang menatap layar komputer dengan kaca mata kebanggaannya itu. Aku langsung saja duduk di depannya, menunggu ayah untuk memberikan tugas kerjaan yang biasa aku lakukan untuk membantu semua tugas-tugasnya sebagai guru sekaligus kepala desa di desaku.

"Ayah harus pergi rapat desa."

"Siang begini?'

"Hem, sekaligus ada janji di luar."

Berakhir Di SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang