Facebook

63 3 1
                                    

_Selalu lah berpikir positif, jangan menjadikan Facebook sebagai dunia kalian seperti di dunia nyata. Ambil sisi positif nya, dan JANGAN MU-DAH PER-CAYA pada seorang laki-laki yang akan kalian temui di Facebook._

* * *

"Apa yang kau cari, Nak?" tanya ayah yang entah sejak kapan dia sudah memasuki ruangan, dan aku sungguh terkejut karena nya.

"Hei, kenapa kau terkejut seperti itu?"

"Ayah bilang dua jam akan pergi bukan?" jawabku melempar tanya kembali pada nya.

"Oh..." sesaat ayah tergelak. "Beruntung sekali rapat selesai lebih awal karena kekompakan semua kader di desa kita ini."

Aku hanya mengangguk sambil mencari charger kembali.

"Apa yang kau cari?"

Aku membuang napas dengan kasar. "Kenapa di ruangan ini tidak ada satupun charger handphone?"

"Oh, astaga. Charger ayah simpan di dalam laci meja kerja ayah," jawab ayah sambil menepuk pelan keningnya.

Aku bergegas membuka laci meja kerja ayah dan segera menggunakannya. Kemudian kuhempaskan tubuhku di atas kursi kembali dan mendongakkan kepala ke atas. Aku membuang napas perlahan, lega rasanya. Aku kembali membuka mata dan melihat ayah masih berdiri di depanku.

"Apakah ini karena anak kota itu?"

Aku tersentak duduk tegak dan berpura-pura kembali memainkan sepuluh jemariku di atas keyboard. Aku mengacuhkan pertanyaan ayah, dan melanjutkan tugas kerjaan yang dia berikan padaku tadi. Hanya beberapa kolom saja, semua akan terselesaikan. Kemudian ayah duduk di kursi yang ada di depanku, dia diam tanpa kata sembari membuka lembar per lembar halaman dari dokumen yang dia pegangi.

"Ayah, buatkan Zaraa akun Facebook." Aku mulai berbicara setelah kerjaanku akan terselesaikan.

Ayah mengangkat kedua alisnya dan menatapku sambil membuka kaca mata yang di pakai nya sejak tadi. "Apakah anak kota itu yang meminta mu bermain Facebook?'

"Ayolah, Ayah. Kenapa ayah selalu menyalahkannya setiap kali aku ingin tau sesuatu," jawabku mengalihkan.

"Zaraa, ayah tau betul kau ini gadis lugu dan kau tidak pernah berpikir untuk mengetahui hal yang tidak penting. Kau hanya fokus pada sekolah untuk meraih cita-cita, sebentar lagi kau akan menghadapi ujian."

"Ayah, please... Zaraa tidak ingin terlihat terlalu gaptek tentang teknologi canggih itu." Aku menatap wajah ayah dengan memelas. Berharap dia akan mengabulkan inginku.

"Apa kau tau dampak besar bermain Facebook itu?"

Aku menggelengkan kepalaku dan menatap wajah ayah masih dengan penuh harap padanya.

"Saat kau memainkannya kau tidak akan ingat waktu, Nak. Kau hanya akan terus menerus menatap layar komputer atau beranda ponsel mu nanti. Kau bahkan akan menjadi pribadi yang berbeda, ayah tidak mau itu terjadi padamu. Kau anak ayah yang lugu, pintar, cekatan, kau juga tidak memiliki pergaulan bebas."

Tok tok tok...

Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan di saat ayah berbicara serius padaku. Aku bergegas berdiri dan melangkah untuk membuka pintu.

"Eh, kebetulan sekali kakak disini."

Echa, putri kandung ayah yang pertama masuk ke dalam ruangan. Saat ini dia duduk di bangku kelas 8 SMP, tapi dia memiliki postur tubuh yang gempal dan berparas cantik serta dia memiliki lesung pipi di kedua pipinya.

"Hai, Cha. Baru pulang sekolah?" sambutku padanya sambil menutup pintu ruangan kembali.

"Hem, Kakak masih lama 'kan disini?" tanya Echa padaku.

"Mmh..." aku enggan segera menjawab pertanyaannya dan mengalihkan tatapanku ke arah dimana ayah sedang duduk saat ini.

Sepertinya Echa mengerti jika sedang ada keseriusan dalam obrolan kami di dalam ruangan. Dan entah apakah ini suatu kebetulan ataukah memang sudah tersirat dalam rencana Tuhan.

"Ayah, buatkan Echa akun Facebook."

Aku melongo dan kemudian melotot ke arah Echa. Aku seperti mendapatkan dukungan dalam hal ini melalui Echa.

"Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua hah?" tanggap ayah sambil memijit-mijit kening nya lalu kemudian menatapku dengan Echa bergantian.

Echa tampak kebingungan lalu menatapku. "Apakah kakak juga ingin bermain Facebook?" tanya Echa padaku.

Aku mengangguk dengan cepat.

"Yes! Lihat, Ayah! Bahkan kakak Zaraa juga ingin bermain dengan Facebook itu, ayolah buatkan kami akun Facebook." Echa merengek manja pada ayah, tentu dalam hati aku sangat senang karena ayah tidak akan bisa menolak keinginan Echa, putri kandung nya sendiri.

"Siapa sebenarnya yang menyebarkan tentang media sosial itu, kenapa anak-anakku jadi bersamaan menginginkannya. Zaman sudah mulai berubah dan di pengaruhi oleh teknologi canggih masa kini."

Aku dan Echa tertawa cekikian melihat ayah mengomel seperti itu sambil mengutak atik keyboard komputernya, kami sudah tidak sabar menunggu untuk mempermainkannya. Hanya butuh waktu lima menit saja, ayah sudah menyelesaikan untuk membuatkan akun Facebook untukku dan Echa.

"Hore..." sontak saja aku dan Echa berpelukan dengan riang gembira ketika ayah mengatakan bahwa kami sudah resmi memiliki akun Facebook dan kami sudah bisa memainkannya saat ini.

"Eeeh, tunggu! Echa, berhenti disitu!" ayah langsung saja menghentikan langkah Echa saat hendak keluar dari ruangan. Dan seketika pula Echa menghentikan langkah kaki nya dan berbalik badan dengan menatap wajah ayah.

"Mau kemana kamu?" tanya ayah pada Echa.

"Echa mau ambil laptop," sahut Echa terbata-bata.

"Duduk! Kemari! Dan kau, Zaraa duduk juga." Kata ayah sambil menatapku serius.

Aku dan Echa menurut dengan duduk berdua di hadapannya, kami seolah sedang duduk di meja hijau dan tatapan ayah kali ini sungguh serius, tidak seperti biasanya. Entah apa yang salah dari sebuah permainan itu, bukankah harusnya ayah senang karena kami anak-anaknya memiliki sebuah pengetahuan tentang canggihnya teknologi di zaman masa kini, pikirku.

"Kalian, berjanjilah satu hal!" ujar ayah.

Aku dan Echa tidak ada yang berani lebih dulu bersuara, kami hanya diam menunggu ayah menyelesaikan bicaranya kali ini.

"Selalu lah berpikir positif, jangan menjadikan Facebook sebagai dunia kalian seperti di dunia nyata. Ambil sisi positif nya, dan JANGAN MU-DAH PER-CAYA pada seorang laki-laki yang akan kalian temui di Facebook. Kalian paham?"

"Apakah separah itu?" tanya Echa bersuara. Aku masih terdiam, aku tau apa yang ayah katakan barusan ialah di tujukan padaku saja tentunya. Apakah memang separah itu media Facebook?

"Echa, ambil laptop mu dan bawa kemari. Dan kau Zaraa, pakai komputer ayah dulu. Saat ini Facebook hanya bisa di akses melalui komputer atau laptop saja."

Ayah berdiri dari kursi kerjanya, sedang Echa sudah secepat kilat keluar dari dalam ruangan untuk mengambil laptop milik pribadinya. Aku masih duduk di kursiku sejak tadi, aku tidak tau harus berkata apa lagi pada ayah.

"Zaraa, kau sudah beranjak dewasa saat ini. Kau harus bisa jadi contoh untuk adik mu, Echa. Kau mengerti?"

Aku menatap ayah sejenak. "Terima kasih, Ayah. Sudah mengizinkanku bermain Facebook, aku akan mengingat pesan ayah tadi."

"Bagus, ayah hanya tidak ingin kalian menjadi pribadi yang berbeda dan rusak pola pikirnya hanya karena adanya Facebook. Ayah sungguh takut, beruntunglah saat ini media Facebook hanya bisa di mainkan dari komputer saja, jika tidak mau jadi apa bangsa kita ini? Para remaja tentu akan semakin susah di atur untuk menjadi bibit yang bagus dalam negara ini."

Lagi dan lagi ayah mengomel tanpa henti hanya karena adanya media itu, bukannya menurut. Aku justru semakin tidak sabar ingin memainkannya, terlebih aku ingin segera bisa melihat sosok Briyan. Ya, Dia! Siapa lagi?

Berakhir Di SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang