Ungkapan Perasaan

10 2 0
                                    

Setelah duduk berjam-jam bersama Kevin, entah karena tutur katanya yang lembut dan santun, entah dia yang memang pandai mengisi suasana ataukah memang hatiku yang mudah luluh saat rapuh. Aku mulai tertarik untuk terus mengenal serta mengetahui tentang nya. 

Aku mulai merubah nama kontak di ponselku. kebiasaan burukku ini, tidak pernah bisa berubah ketika memberikan nama buruk pada nomor asing di kontak ponselku. Kevin dan Gery sudah pergi, sejak itu pula aku dengan Kevin terus berbalas pesan seolah obrolan kita bersama tadi belum usai dan terus berulang hanya demi untuk kita terus saling berkabar. 

"Zaraa," panggil ibu yang tiba-tiba saja datang dari arah belakangku. "Apakah kau sedang bertukar pesan dengan nak Kevin?" tanya ibu kemudian. 

Aku tertegun sejenak. Mengumpulkan segala pikiran untuk fokus kembali pada pertanyaan ibu. Aku mengangguk pelan menanggapi pertanyaan ibu. 

"Dia, anak kuliahan. Tentu pikiran nya sudah dewasa, dia juga tinggal di kota. Bagaimana menurutmu, Nak?" 

Aku yang mendengar pertanyaan ibu selanjutnya, masih tertegun dengan mengedipkan kedua mataku berkali-kali. "Bu, pertanyaan apa ini?" tanyaku. 

"Gery bilang, dia adalah laki-laki yang pintar dan di gandrungi banyak wanita di kampus nya. Dia juga sangat pintar. Ibu takut…" 

"Bu, tolong." sergahku menyela. "Kita hanya berteman, eh bukan. Kita baru saja saling kenal tepatnya. Jangan berpikir terlalu jauh, Bu. Lagi pula Zaraa belum ingin berpacaran." 

"Tapi, Nak. Sejak kau putus dengan anak kota itu, kau sudah lama menyendiri. Ibu tidak pernah melarang kau untuk mengenal dekat apa lagi berpacaran dengan lelaki manapun asal dia baik dan tau aturan di desa ini." 

"Ayolah, Bu. Zaraa masih ingin perbanyak teman saja." Aku masih terus saja mengelak akan harapan dan ucapan ibu itu. Apakah harus? Aku dan Kevin berpacaran padahal kita baru kenal? Tidak. 

"Baiklah, jika memang itu keputusan mu. Ibu hanya takut, kau akan menutup pintu hati mu hanya untuk satu orang lelaki saja. Terlebih lelaki itu sudah menyakitimu." 

Aku hanya diam, tidak lagi menanggapi ucapan ibu barusan. Setelah ibu pergi meninggalkanku seorang diri di ruang tengah, aku termenung seorang diri. Kembali mengingat masa sulit yang kujalani, hubungan toxic dengan seorang lelaki, lelaki pertama yang mencuri my first Kiss. 

Apakah aku begitu bodoh? Atau aku memang sudah termakan dengan racun teknologi dunia maya yang membuatku harus menyerahkan kepercayaanku, cinta pertamaku, dan ciuman pertamaku? Oleh orang yang dulunya hanya kukenal melalui Facebook. 

Di tengan lamunanku, kembali pesan masuk mendarat di beranda ponselku. 

KEVIN : Aku akan kembali ke Kota besok. Tapi sebelum nya itu, apakah aku boleh bertemu denganmu lagi? Please… Ada yang harus aku sampaikan. 

Aku berpikir sejenak, entah harus membalas apa. Dia memang baik dan sopan, meskipun dia tinggal di kota dan menjadi lelaki idaman banyak wanita di kampus nya. 

Tidak ada pilihan. Lagipula ini hanya akan menjadi akhir dari perkenalan kita bukan? Aku tau, dia memilih datang ke desa ini hanya untuk menikmati liburan nya bersama Gery. Bertemu denganku hanya menjadi pilihan saat dia tidak tau harus apa dan pergi kemana berada di desa terpencil ini. Kemudian aku mengiyakan nya begitu singkat. 

Pagi telah tiba, seperti biasa nya. Aku membantu ibu melaksanakan tugas harian di rumah meski berkali-kali ibu melarangku ikut serta melakukan aktivitas itu. Terkadang aku merasa bosan jika terus saja di manja seperti ini. Aku juga bosan jika terus saja berdiam diri, dengan membaca buku, menulis banyak laporan untuk di sekolah, terkadang sesekali harus membawa laptop ayah angkatku untuk menyelesaikan semua kerjaan dari nya di kantor desa. 

Setelah jam menunjuk angka 9, aku baru saja selesai membersihka diri. Memilih baju yang pantas ku kenakan saat bertemu dengan Kevin nanti. Kupikir tidak apa jika aku berdandan sedikit. Untuk memberikan kesan lebih padanya meski aku hanya gadis desa.

"Zaraa, Gery dan nak Kevin sudah datang. Mereka bilang akan berpamit padamu." ku dengar suara ibu dari luar kamar, aku bergegas menyemprotkan parfum di titik tertentu bagian tubuhku. Rambutku terurai dengan setengah basah, tentu ini akan membuat aroma sampo tercium menyengat. Ah, sial. Kenapa datang nya cepat sekali? 

Kulihat Kevin tampak tercengang saat melihatku berdiri menemuinya. Sedang Gery, sepertinya dia sengaja membiarkan kami hanya bertemu berdua di ruang tengah. Di atas meja sudah tersedia minuman dan cemilan ringan. 

"Apakah sudah menunggu lama?" tanyaku. Melihat ibu sudah menyediakan minuman dan cemilan itu di atas meja. 

"Lima menit yang lalu. Aku… Suka dengan penampilan ku hari ini." akunya padaku. 

Aku terkejut lalu menatap nya. Aku bahkan tidak tau harus memberikan tanggapan dan ekspresi apa padanya. Bukankah ini terlalu mendadak? Secara terang-terangan dia memujiku. 

"Maaf, jika kau tidak menyukai nya." Dia kembali duduk lebih dulu dengan wajah tampak murung setelah aku hanya diam saja dengan pujian nya itu. 

"Jadi, kau sudah akan kembali ke Kota?" tanyaku mengalihkan. 

Dia tersenyum kembali. Senyuman yang menawan dan berkelas terlihat. "Apakah kau ingin aku lebih lama disini?" Dia kembali menggodaku dengan pertanyaan mematikan. 

Aku membalas dengan senyuman kecut. "Lelaki yang terbiasa hidup di kota sepertimu, tentu tidak ingin berlama-lama hidup di desa kecil seperti ini." 

"Aku memang lahir dan tinggal di Kota, tapi aku suka dengan keramahan serta kesederhanaan kehidupan di desa. Gery dan orang tua nya, serta orang tua mu sangat ramah. Mereka menyambut kedatanganku bak seorang raja." 

"Tamu memang raja bagi kami yang hidup di pedesaan."

"Oh ya?" sanggahnya. 

"Hmm…" jawabku singkat dengan anggukan kepala. "Lalu, apa kesan mu sejak tiba di desa terpencil ini?" tanyaku kemudian. Bahkan tanpa sadar aku terus menatap wajah nya yang tampan itu. 

Dia tersenyum sebelum memberikan jawaban. "Kau sudah mulai banyak bicara padaku. Apakah kau sudah bisa menerima keberadaanku? Apakah kau sungguh ingin mendengar bagaimana kesanku di desa ini?" 

Aku terdiam sejenak. Lalu perlahan menganggukkan kepala. "Tentu, itu juga sangat penting bagiku." 

"Zaraa…" Kevin memanggilku dengan lembut. Hatiku bergetar mendengarnya. Entah perasaan gila apa ini? Bahkan bibirku terkunci untuk sekedar menjawab panggilan nya itu. 

Setelah pandangan kami kembali bertemu, sejenak. Aku tersadar kembali lalu menjawab nya dengan pelan. "Katakan!" singkatku.

"Apakah kau percaya dengan kata, jatuh cinta pada pandangan pertama?" 

Deg! Dadaku kian berdebar tidak karuan. Seperti ada magnet yang begitu kuat menarik kedua ujung bibirku untuk tersenyum menanggapi nya. Tentu, aku percaya hal itu. Sebab, aku pernah jatuh cinta pada pandangan pertama saat aku bertemu dengan Bryan kala itu. 

"Senyuman mu itu, aku akan menganggap kau mempercayainya," ucap Kevin kemudian. Akan tetapi, dia tampak gelisah sejak tadi. 

"Tentu. Aku percaya akan kata itu, sebab aku pun pernah merasakan nya. Jadi…" 

"Jadi, apa kau mau menjadi pacarku?" ungkapnya menyela bicaraku saat aku bahkan belum usai menjelaskan maksud dan perkataanku. 

Tunggu! Pacar dia bilang? Apakah dia menyatakan perasaan nya secara langsung?

"A-apa maksudmu?" tanyaku dengan gagap. 

"Aku pikir kau tentu mengerti maksudku. Kau gadis yang pintar dan mudah peka dengan segala sesuatu," pungkasnya. 

"Hei, tapi ini terlalu mendadak. Bukankah kita baru saja saling mengenal?" kilahku. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berakhir Di SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang