Libur panjang di sekolah telah tiba, setelah beberapa hari di buat lelah mata dan lelah pikiran dengan segala macam laporan sebagai tenaga pendidik di sekolah. Tidak ku duga, dan aku menganggap semua usahaku tidak sia-sia. Untuk semester selanjutnya, aku mendapat kesempatan terpilih sebagai wali kelas. Semua seolah terbayarkan.
Menikmati hari libur kali ini entah aku harus apa, selain pulang pergi dari rumah ayah angkatku. Waktu ku lebih banyak terbuang dengan berdiam diri di kamar. Terkadang, aku merasa iri pada mereka yang memiliki banyak waktu luang untuk pergi liburan ke luar kota, ke suatu tempat tertentu yang tentunya akan membuat hari-harimu lebih menyenangkan serta menenangkan. Itulah hari libur yang sesungguhnya bukan? Tapi tidak bagiku.
Aku mulai tertarik dan menjadi salah satu hobi ku, mengisi Diary. Meluapkan segala isi hati yang tidak bisa aku ungkapkan pada semua orang. Terkadang aku menghabiskan berjam-jam di depan komputer milik ayah angkatku, hanya untuk mengisi rasa bosanku. Membuka media sosial, yang kini mulai menjadi pelarian saat aku sedang gundah gulana.
Namun, saat aku mengingat kembali kenangan masa lalu bersama Bryan, tak tanggung-tanggung aku menutup akun sosial mediaku untuk sementara waktu. Tapi tetap saja, semua itu tidak juga menyembuhkan rasa trauma ku. Sementara itu, Gery masih saja terus berusaha tanpa menyerah sedikitpun untuk membuatku menerima lelaki yang telah dia kenalkan padaku via telepon.
Dan hari ini, lagi lagi dia menelpon. Untuk mengusir kebosanan ini, kupikir tak apa untuk menerima telepon nya dan kita saling mengenal sejenak.
"Ya, Halo." aku menjawab singkat.
"Ah, ya halo. Zaraa, akhirnya kau menerima teleponku. Setelah ini yang ke 250 kali aku mencoba menelponmu sejak Gery memberikan nomormu padaku."
Suara lelaki itu terdengar gurih di telinga. Sepertinya dia orang yang selalu ceria, gumamku.
"Halo, Zaraa."
Aku tersentak ketika dia memanggil namaku berulang kali. Apa yang aku pikirkan tadi?
"Ah, ya? Hmm, maafkan aku. Aku sedang sibuk, jadi…" ucapanku terhenti sejenak. Alasan apa yang harus aku katakan? Aku tidak pandai berbohong.
Dia terdengar tersenyum di kejauhan sana. "Tak apa, aku mengerti. Lagi pula, zaman sekarang tentu tidak mudah menerima sebuah perkenalan dan pertemanan hanya via telepon. Apakah aku boleh datang ke rumah ku?"
Aku kembali tersentak. "A-apa? Apa maksudmu? Kenapa kau ingin datang ke rumahku?" tentu saja aku terkejut dan melayangkan beberapa pertanyaan padanya.
Dia kini tertawa seolah tanggapanku itu adalah hal lucu baginya. Ingin rasa mengumpat nya saja.
"Hei, apa yang lucu?" tanyaku lagi dengan nada kesal.
"Ups, maafkan aku. Aku hanya baru kali mendengar pertanyaan begitu setelah mengenal banyak wanita via telepon. Karena biasanya mereka lah yang selalu memintaku untuk datang menemui mereka. Kau memang berbeda, Zaraa."
Dia playboy! Umpatku dalam hati. Seketika aku tidak ingin mengobrol lagi dengan nya.
"Aku sedang sibuk, aku akan… "
"Tunggu! Tunggu, please. Aku hanya bercanda saja, ayolah. Aku serius akan datang berkunjung ke rumahmu, apa kamu sungguh tidak mengizinkan?"
Aku terdiam sejenak. Mana mungkin, jarak tempuh dari pedesaan ini menuju kota tempat nya tinggal bersama Gery memakan waktu hampir satu hari perjalanan.
"Terserah kau saja. Aku sedang sibuk, maaf."
Klik! Aku mematikan panggilan telepon darinya, bahkan aku tidak tau siapa nama lelaki itu. Aku kembali berbaring di kasur memanjakan kemalasanku.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Aku beranjak untuk membuka pintu dan melihat ibu tersenyum dengan gelagat sedikit aneh.
"Gery menunggu mu di teras." Ibu tampak tersenyum penuh tanda tanya sembari sesekali menoleh ke arah teras.
Aku mengernyit. "Ada apa lagi sih, itu anak? Tumben gak ngabarin dulu?" balas ku pada ibu. Aku hendak melangkah keluar kamar namun, ibu segera menahanku dan semakin membuatku bingung.
"Ganti bajumu, rapikan rambutmu ini. Apa-apaan anak gadis ibu berantakan seperti ini? Meskipun hari libur kau harus tetap menjaga penampilan. Ayo, cepat!" ibu terus saja mengomel padaku sembari membuka lemari pakaianku serta kemudian menyisir rambutku.
"Bu, apaan sih? Hanya bertemu dengan Gery saja." aku sedikit kesal menanggapi sikap ibu yang ku rasa berlebihan ini. Tapi ibu tetap saja mengomel serta kemudian menyemprotkan parfum kesayanganku pada sekujur tubuhku.
"Ayo, keluar. Temui Gery!" titah nya lagi.
Aku tidak menjawab nya kali ini, serta kemudian berjalan menuju teras depan. Sesampainya di teras depan, aku mematung sejenak. Melihat sosok lelaki yang entah itu siapa, berdiri tegak begitu melihatku datang menghampiri. Tapi tidak dengan Gery, dia berdiri dengan santai, dengan senyuman meledek ke arahku. "Hai," sapa Gery padaku dengan lambaian tangan.
"Eh, Hai. Ger, gimana liburanmu? Bibi pikir kau sudah kembali ke kota." Aku berusaha tetap tenang walaupun dalam hatiku saat ini dipenuhi dengan getaran, dan kurasa Gery menyadari hal itu.
"Mmh… Bi, kenalin. Ini kak Kevin," ucap Gery sambil menunjuk ke arah lelaki yang berdiri mematung dan terus menatapku sejak tadi.
Aku terdiam sesaat. Menatap nya sejenak lalu kemudian memberanikan diri mengulurkan tangan lebih dulu padanya. "Hai, Zaraa."
Dengan cepat dia menerima jabatan tanganku dengan senyuman manis nya. "Kevin, akhirnya kita bertemu," ucapnya.
Dia… Dia tampan. Aku bergumam dalam hati yang tanpa sadar tangan kami masih saling bersentuhan.
"Ehhem. Sepertinya ada magnet disini, sangat kuat saling menempel." Gery mulai menggoda sehingga menyadarkanku untuk segera melepaskan tanganku.
Sejenak kami saling terdiam. Aku bahkan tidak tahu harus memulai bicara dari mana. Dia, Kevin. Lelaki yang selalu aku abaikan setiap kali berusaha ingin mengenalku. Dia sungguh pemberani.
"Kenapa kalian lebih suka berdiri? Apakah duduk di kursi tidak nyaman?" kata ibu yang datang menggoda kami dengan membawakan minuman beserta cemilan.
"Wow, nenek memang paling pengertian. Apakah kue kering ini buatan nenek sendiri? Sudah tentu sangat enak." sambut Gery menerima hidangan jamuan dari ibu.
"Kamu memang pandai sekali membuat hati nenek senang, Gery." ibu tersipu mendengar Gery yang selalu bisa membuat ibu demikian. "Oh ya, nak Kevin, ayo diminum dulu." sambung ibu pada Kevin yang sudah kembali duduk dengan sopan.
"Iya, Tante. Terima kasih," jawab Kevin dengan santun. Sesekali ia melirik ke arahku dan kedua mata kami bertemu. Dengan cepat aku menundukkan kepala. Ini memalukan, dia pasti berpikir aku terus saja memperhatikan.
"Gery, antarkan nenek toko depan sebentar."
Aku gelagapan ketika ibu tiba-tiba saja mengajak Gery pergi, sementara disini ada Kevin. Lalu bagaimana denganku?
"Baik, Nek. Dengan senang hati, tapi Gery mau es krim, oke!" Gery yang dengan sigap berdiri, aku lantas segera menahan tangan ibu.
"Bu, aku saja. Biarkan Gery disini bersama teman nya itu," pintaku pada ibu. Aku menatapnya penuh harap. Berharap ibu mengerti maksudku.
"Eh, enak aja. Nggak, nggak bisa. Nenek sudah memintaku sejak awal, bibi disini saja temani kak Kevin." Gery yang memang sangat menyebalkan itu, menolak permintaanku pada ibu.
"Ta-tapi…"
"Zaraa, ibu hanya sebentar. Kau temani saja nak Kevin, sebentar lagi ayahmu juga akan pulang." ibu seperti lupa akan tradisi dan aturan di rumah ini. Membiarkan lelaki asing bersamaku di teras rumah hanya berdua saja.
Tanpa menungguku memberikan pertimbangan lagi, Gery bersama Ibu pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan Kevin duduk berdua di teras rumah. Suasana canggung mulai menyerang sehingga membuatku kembali mematung, membuat telapak tanganku mulai basah oleh keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berakhir Di Senja
Romantizm21+ ⚠️ (Tahap Revisi) Mencintai seseorang yang hanya hadir di dunia maya, kusadari adalah suatu kebodohan yang hanya membuang waktu di dunia nyata saja. Tapi kenyataannya, apa yang salah dengan suatu perasaan? Bukankah cinta selalu tidak bisa menem...