Tentang Dia

48 6 4
                                    

"Pada akhirnya, sekeras apa pun aku berusaha, sekuatapa pun aku menggenggam, yang hilang akan tetap hilang. Bahkan di waktu yangtidak pernah aku sangka."

***

Aku berjalan malas bersama puluhan pasang kaki yang lain. Mencari sandaran yang nyaman untuk menunggu kereta selanjutnya tiba. Hari ini stasiun cukup padat. Wajar saja, ini senin pagi. Kereta di depanku juga sudah penuh. Bersiap untuk berangkat. Membunyikan klakson untuk memberi tanda pada penumpang yang belum naik agar bersegera. 30 detik kemudian kereta menutup pintunya, melesat menjelajahi rel-rel yang bercabang. Seorang laki-laki dengan napas tersengal tiba-tiba berhenti di depanku, bertumpu pada lututnya sendiri.

 "Sial! Malah ketinggalan. Bisa telat kalo gini caranya," gerutunya.

Aku hanya tersenyum simpul melihatnya. Aku tahu betul bagaimana perasaan itu. Pasti dia sangat kesal, padahal hanya telat beberapa detik. Akhirnya dia memilih duduk, menunggu kereta selanjutnya, sepertiku.

Matahari beranjak naik, penumpang perlahan berkurang. Ini kereta ke-tiga yang aku lewati. Aku butuh suasana yang tenang di dalam kereta, tidak banyak manusia. Lagipula aku tidak sedang terburu-buru. Laki-laki yang tadi menggerutu juga sudah pergi sejak kereta pertama datang.

30 menit bersantai melewatkan beberapa kereta, aku memutuskan naik. Mencari gerbong yang paling sepi, berdiri di dekat pintu, memasang headset di telinga, lalu memutar musik keras-keras. Bersiap membodohi diri sendiri yang selama ini terjebak pada sebuah perasaan konyol.

"Pintu akan segera ditutup. Attention door will be closed." Decitan pintu commuter line terdengar, kereta perlahan bergerak menelusuri relnya. Bersama dengan itu, pikiranku juga ikut bergerak, menelusuri kenangan-kenangan bersamanya, yang harusnya aku lupakan

***

Biar aku ceritakan. Laki-laki itu bernama Fahrudiansyah, salah satu teman SD-ku. Padahal dulu, aku sendiri tidak menyadari keberadaannya, hanya sebatas tau. Tidak pernah berinteraksi, apalagi bermain bersama. Bagiku, dia adalah satu dari sekian puluh teman laki-lakiku yang nakal, jail, dan menyebalkan. jadi, aku tidak pernah tertarik untuk bermain bersama dia, bersama mereka. Hingga 6 tahun kemudian, kami bertemu kembali, di sebuah acara reuni.

Aku ingat sekali, sore itu langit cerah merona, meskipun polusi tetap menjadi penghias langit, namun kali ini udaranya sedikit bersahabat. Yah, kalau macet, itu memang sudah menjadi ritual tetap setiap pagi dan sore hari di Bekasi. Rentetan mobil dengan berbagai merek itu menjadi pemandangan yang tidak pernah absen. Kadang dari trotoar tempat aku berjalan, pemandangan itu menjadi penghibur dengan kesabaran pemilik mobil-mobil itu. Tapi kadang juga membuat kesal saat mereka mulai tidak sabar, berlomba-lomba membunyikan klakson, berisik sekali. Sementara motor-motor tidak pernah benar-benar terjebak macet, karena mereka masih bisa mencari celah untuk lewat.

Aku masih asyik memandangi kemacetan itu saat gawai di tanganku bergetar. Ternyata Kiki menelepon. Dia pasti sudah sampai di tempat reuni. 

"Kenapa, Ki?" 

"Gua udah di dalem nih bareng yang lain. Lu dimana?"

"Masih di jalan, gua jalan kaki. Bentar lagi nyampe kayanya. Udah rame?"

"Ish lama. Udah mau mulai nih. Kenapa jalan kaki, sih?"

"Deket, Ki. Males banget naik motor, macet."

"Halah bilang aja pengennya di jemput. Posisi lu dimana?"

"Tau aja dah. Haha. Jemputnya di Alfamart setelah taman yaaa." Aku mengakhiri percakapan itu dengan senyum lebar, bergegas menuju Alfamart.

"Mau sekalian top up pulsanya, Kak?" Mba penjaga kasir yang cantik itu bertanya sambil mengambil dua ice cream kacang hijau yang aku sodorkan.

"Engga, Kak. Ini aja," jawabku dengan senyum tipis, lalu menyodorkan uang pembayaran.

Aku mendorong pintu Alfamart, berjalan keluar dengan dua ice cream kacang hijau favoritku dan Kiki. Aku sengaja membeli untuknya juga. Ya, anggap saja hadiah karena sudah menjadi sahabat yang sangat peka. Untungnya Alfamart sedang sepi, aku bisa duduk di kursi sambil melihat kemacetan yang belum reda juga hingga saat ini. Mungkin baru akan reda sekitar dua atau tiga jam lagi. Yah, pasti sangat melelahkan, terjebak di jalanan dengan rentetan kendaraan lain. Padahal bayang-bayang kasur sudah di pelupuk mata. Apalagi jika mereka sudah memiliki anak, pasti rasanya ingin terbang agar bisa segera sampai rumah dan melihat wajah gemas anaknya. Tak lama kemudian, sebuah motor mendarat persis di hadapanku, membuyarkan lamunanku tentang kemacetan ini.

"Eh, Fahru, kan ya?" Aku reflek bertanya setelah melihat jelas wajahnya.

"Yailah, masa lupa sih, Git," jawabnya santai. Bagiku, terlampau santai malah. Pasalnya kami kan sudah lama tidak bertemu, dan kami tidak pernah seakrab itu. Tapi akhirnya, berkat jawaban santainya itu, perjalanan menuju tempat reuni ini jadi jauh dari kata canggung. Meskipun harus berteriak, berbincang dengannya ternyata menyenangkan. Laki-laki ini lumayan juga.

"Nih deh, Ru, buat lu aja." Aku menyodorkan satu ice cream kacang hijau yang aku beli tadi saat tiba di parkiran cafe.

"Ngasih tapi mukanya bt gitu," godanya sambil menyambar ice cream di tanganku.

"Kirain kan Kiki yang jemput. Ternyata dia malah minta tolong sama lu." Aku mulai membuka bungkus ice cream dan memakannya.

"Ya udah, kan sama aja kali. Yang penting sampe."

"Ya iya sih. Tapi kesel aja sama anak itu."

"Gitaa, Gitaa, lucu banget dah." Dia terkekeh sambil mengacak-ngacak gemas rambutku.

Aku terkejut. Tubuhku seketika membatu. Mana ada laki-laki yang bisa dengan santainya melakukan hal—yang bagiku—manis seperti itu? Dan dia, masih dengan santainya berjalan menuju cafe tempat teman-teman yang lain berkumpul.

Tepat di ambang pintu cafe, dia menoleh ke arahku, "Git! Nggak mau masuk?"

"Eh, iya iya tunggu!" Aku segera menyusulnya

***

Hallo semua👋 

Aku Rizkanda, cerita ini aku buat base on true story. Sebenenernya udah lama banget pengen nulis tentang Gita ini, tapi baru kesampean sekarang. Hehe.

Menurut kalian gimana nih bab pertamanya? semoga nggak bikin kapok buat terus baca cerita ini sampai akhir yaa.

Insyaallah kedepannya aku akan update setiap hari selasa dan kamis. Semoga selasa dan kamis menjadi hari yang kalian nantikan untuk baca lanjutan cerita ini.

terimakasih sudah membaca❤

Komentar dan saran membangun sangat dibutuhkan.

Usia Dua Puluh "Ketika Semesta Mendadak Berpaling Dariku"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang