Acara berlangsung sangat meriah, hidangan yang terlihat sangat lezat menggoda perutku yang memang belum terisi sejak siang. Teman-temanku sudah berpencar-pencar, asyik mengobrol satu sama lain. Wajah-wajah cerah setelah mendapatkan keterangan "Lulus" pada SKL-surat keterangan lulus-dua bulan lalu tercetak jelas. Ternyata teman-teman SD-ku sudah banyak berubah. Teman laki-laki yang menurutku dulu menyebalkan dan jail sekarang menjadi teman bicara yang menyenangkan. Beberapa teman perempuan yang dulu lugu dan polos sekarang mengetahui banyak hal yang tidak diketahui teman-teman lain. Bahkan yang dulu termasuk dalam kategori siswa bodoh sekarang sudah resmi tercatat sebagai mahasiswa universitas negeri ternama. Hidup memang tidak pernah bisa ditebak. Aku jadi teringat lirik lagu Gajah yang dinyanyikan oleh Tulus.
"Kecil kita tak tahu apa apa
Wajar bila terlalu cepat marah
Yang terburuk kelak bisa jadi yang terbaik"
"Woy, Ta!" Kiki menepuk keras pundakku. Membuatku terkejut dan membuyarkan lagu Tulus yang sedang berputar di kepala.
"Jangan ngomong sama gua! Gua lagi marah sama lu." Aku tetap memandang lurus ke depan, tidak menolehnya yang saat ini berada di samping kananku.
"Yakin?" Dia menyeringai-terlihat dari ekor mataku-sambil menyodorkan cokelat kesukaanku. Anak satu ini memang paling tau cara merayuku.
"Awas aja kalo kaya gitu lagi," ucapku menyambar coklat itu.
"Sok sok-an ngambek. Tadi tuh harus ke kasir dulu soalnya ngurus administrasi. Untung si Fahru mau, kalo nggak lu bakalan nunggu lama di sana."
"Nyesel sih gua beli dua ice cream kacang hijau. Tau si Fahru yang jemput kan mending beli satu aja." Satu potekan cokelat mendarat mulus di mulutku. Dan aku segera berjalan menghambur bersama teman yang lain.
"Terus sekarang mana ice creamnya?" tanya Kiki mengikuti langkahku.
"Udah gua kasih Fahru," jawabku santai.
Dan yang terjadi selanjutnya, Kiki mengambil kembali cokelat yang sudah habis setengahnya olehku. Katanya, anggap saja setengah itu adalah ice cream yang seharusnya untuknya. Aku mencoba bernegosiasi dan berhasil mendapatkan kembali cokelat itu dengan syarat dua ice cream kacang hijau selepas reuni. Baiklah tidak apa-apa. Itu tidak sebanding dengan coklat kesukaanku ini.
Dua jam kemudian, satu per satu teman-temanku mulai pamit undur diri, seluruh rangkaian kegiatan juga sudah terlaksana. Aku kira aku dan Kiki menjadi orang terakhir yang ada di tempat itu, ternyata masih ada Fahru di tempat parkir. Aku menyapanya, bertanya kenapa belum pulang dan Kiki masih beterimakasih karena tadi dia mau menjemputku.
"Ta, mau pulang bareng, nggak?" tawarnya.
"Oh iya lupa, gua disuruh jemput mamah, Ta. Lu ikut Fahru aja deh ya." Kiki tiba-tiba menyelak. Kelakuannya hari ini sungguh menjengkelkan. Tanpa menunggu persetujuanku, dia langsung pergi bersama senyum aneh yang mengembang. Sementara Fahru hanya diam menunggu jawabanku.
"Duh, maaf deh, Ru, harus ngerepotin lagi. Si Kiki emang akhlak less banget orangnya."
Fahru hanya tertawa mendengar kalimatku. "Kan gua yang nawarin. Berarti nggak ngerepotin," ucapnya seraya memakaikan helm ke kepalaku dengan santainya.
Anehnya, aku tak berkutik. Tidak bisa menolak sama sekali perlakuan manisnya. Mungkin yang tadi tidak bisa kuhindari karena itu berlangsung sebentar dan reflek, tapi kali ini harusnya aku bisa merebut helmnya, menyatakan aku bisa memakainya sendiri. Namun, yang terjadi aku hanya diam, mematung sampai helm itu terpakai rapi di kepalaku.
"Ayo, naik!"
Aku tersadar dari keterkejutanku. "Eh, iya, tengkyu helmnya, Ru."
Namun aku akui, sebenarnya ini tidak buruk, Sungguh. Aku menyukai waktu-waktu berbincang bersamanya. Seperti yang aku katakan tadi, dia adalah teman berbincang yang menyenangkan. Dan perjalanan hingga tiba di depan rumahku ini juga dipenuhi dengan tawa dan obrolan acak tentang banyak hal. Aku menyukainya. Entah percakapan atau orangnya, intinya aku menyukainya.
***
Mulai dari kejadian-anter jemput saat reuni-yang ternyata disengaja oleh Kiki, akhirnya di sinilah aku berada. Menikmati malam meriah penuh cahaya. Meskipun begitu, tempat ini ternyata bukan hanya untuk orang-orang yang sedang menikmati kebahagiaan, tapi juga untuk orang-orang yang sedang lari dari sepinya kehidupan. Aku menghirup napas panjang, selama dua tahun belakangan, ini kali ke-24 aku menjajaki pasar malam di samping Mall. Ternyata waktu cepat sekali berlalu, beruntungnya tempat ini tidak banyak berubah. Hanya saja semakin kesini, pengunjungnya semakin ramai, permainan dan penjajak makanan juga menjadi lebih bervariasi, selebihnya tetap sama, dan akan selalu menjadi tempat yang menyenangkan bagiku dan Fahru.
Aku sedang asyik mengamati sekitar saat dikejutkan dengan dua benda dingin yang mendarat di pipi kanan dan kiriku.
"Selamat dua tahun, Mba Gito," ucapnya menyodorkan satu ice cream kacang hijau saat aku menoleh. Laki-laki ini selalu saja sederhana, tapi anehnya aku selalu menyukai sisi sederhananya itu.
Iya benar, dua tahun lalu, di tempat yang sama dengan ice cream yang sama juga, Fahru membuatku tidak bisa menolak ajakannya. Tepat satu bulan setelah pertemuan kami di reuni, dia mengajakku ke sini. Semalaman suntuk hanya mengelilingi pasar malam tanpa menaiki permainan dan membeli makanan apa pun. Berbincang sambil bergandengan tangan. Sebenarnya aku kesal, tapi ini juga menyenangkan.
"Ta, tunggu sini dulu, ya." Tanpa menunggu persetujuanku, dia berjalan menuju sebuah warung.
Sebenarnya jika ada warung dia selalu memintaku menunggu, kalau dihitung-hitung ini warung kelima yang dia kunjungi. Anehnya dari keempat warung yang sudah dikunjungi, dia kembali tanpa membawa apa pun. Tapi kali ini dia kembali dengan dua ice cream di tangan kanan dan kirinya.
"Mau, nggak?" tawarnya menyodorkan satu ice cream.
"Nggak bisa nolak lah," jawabku menyambar ice cream itu. "Jadi, dari tadi tuh nyari ice cream kacang hijau ini?"
"Iya. Ternyata susah, ya, carinya. Haha."
"Ini kalo di warung-warung emang jarang. Untung di situ ada, kalo nggak, kayanya gua bakal diajak keliling terus, ya, sampe nemu?"
Dia tertawa mendengar ucapanku "Niatnya, sih, gitu, Ta. Haha"
"Nggak ngerti lagi, deh, gua sama lu, Ru," ucapku geleng-geleng kepala.
"Tapi maksud gua bukan nawarin ice creamnya tau, Ta. Kalo itu mah nggak ditawarin juga lu pasti minta."
"Yeuh sialan lu. Terus nawarin apa?."
"Nawarin buat jadi pacar gua."
Lagi lagi, bagiku dia terlampau santai. Masalahnya adalah aku tidak pernah terbiasa dengan kesantaiannya itu. Aku tetap dan selalu merasa terkejut setiap dia melakukan atau mengatakan ssesuatu yang menurutku harusnya tidak mudah dilakukan dan disampaikan. Sementara dia selalu suka melihat aku terkejut dan mematung.
"Ta! Kebiasaan deh ngelamun," tegurnya melihatku yang terdiam. "Jadi, nggak mau nih?"
"Eh, bukannya nggak mau. Tapi ko lu bisa, sih, ngucapin yang begituan dengan santainya?"
"Berarti mau, kan?"
"Ya... mau," ucapku gugup, "Tapi bisa nggak, sih, sedikit gugup gitu?"
Dia tidak menghiraukan ucapanku. Malah asyik ber-yes yes ria. Mengamit tanganku, berlari menuju bianglala. Menikmati sisa malam dari ketinggian. Malam ini, aku rasa aku akan terus mengingatnya sampai kapan pun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Usia Dua Puluh "Ketika Semesta Mendadak Berpaling Dariku"
Não FicçãoAku Gita. Usiaku saat ini 21 tahun. Satu tahun yang lalu, satu minggu sebelum aku menginjak usia 20, aku mendapatkan kehilangan pertamaku. Dan sialnya, kehilangan-kehilangan lain menyusul menghancurkan hidupku. Cerita ini ditulis dalam rangka berse...